Friday, October 06, 2006

Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia

Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia

Indonesia yang memiliki Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat.

Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang ‘steril’ dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, dan beberapa kawasan konservasi lainnya di Indonesia.

Sementara di tingkat daerah, pengelolaan kawasan konservasi menjadi bagian yang dianggap tidak penting dan tidak diperhatikan, karena saat ini dipandang bahwa kawasan konservasi merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan wisata, yang merupakan wewenang pemerintah daerah, mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan. Pola pengelolaan yang digunakan juga tidak berbeda dengan pola pengelolaan kawasan konservasi, dimana di dalam kawasan hutan, tidak dibenarkan rakyat berada di dalam kawasan.

Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia saat ini tengah mengalami desakan kuat ke arah kerusakan yang menjadikan kawasan konservasi sebagai jarahan dari penebangan hutan tak terkendali, terutama ketika otonomi daerah dimulai. Hal ini diakibatkan oleh tidak terlibatnya masyarakat sekitar hutan dalam mengelola hutan dan di masa lalu sebagian rakyat yang tinggal di kawasan konservasi justru dikeluarkan dari kawasan kelola mereka.

WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.

Beberapa kasus yang terjadi di kawasan konservasi antara lain adalah pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di Taman Nasional Komodo, Operasi Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, pengusiran masyarakat Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu dan pengusiran rakyat Moronene di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai.

Kasus Kasus Taman Nasional di Indonesia :

Pembangunan Jalan Ladia-Galaska: Kepentingan Rakyat atau Penguasa?

Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bersama dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah sangat antusias membangun jalan Ladia-Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka), dimana sebagian ruas jalannya melintasi kawasan taman buru dan hutan lindung. Pada ruas-ruas tertentu, jalan Ladia-Galaska akan melakukan pembukaan hutan untuk pembangunan ruas jalan baru. Bahkan ternyata Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harusnya dibuat sebelum pelaksanaan proyek dilakukan, baru disetujui pada pertengahan tahun 2003 dimana sebagian besar ruas jalan telah dikerjakan.

WALHI menilai bahwa dalam Pembangunan Jalan Ladia-Galaska hanyalah untuk kepentingan sesaat pemerintah Propinsi NAD dan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Walaupun dalam beberapa kesempatan Gubernur NAD selalu mengatakan bahwa pembangunan jalan adalah untuk kepentingan rakyat, namun secara nyata tidak banyak masyarakat yang akan menikmati jalan tersebut untuk mereka.

WALHI menggugat Pemerintah untuk menghentikan pembangunan jalan Ladia-Galaska dan mendorong pemanfaatan ruas jalan yang telah ada guna memenuhi keinginan adanya akses jalan di Propinsi NAD.

Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan

Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).

Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan “favorit” bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah “terlarang” di TNK.

Penderitaan masyarakat kian menjadi ketika pemerintah (Dirjen PHKA) melakukan kesepakatan kerja (MOU) dengan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 1995, penderitaan tersebut tidak terlepas dari pola dan faham pengelolaan TNK yang dibawa TNC, walaupun pada awalnya TNC hanya merupakan bagian dari supporting system dalam pengelolaan TNK namun karena dukungan dana serta fasilitas yang cukup besar ia telah menghegemoni Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). TNC telah membuat BTNK berada dalam gepitan ketiaknya.

Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu didengungkan oleh BTNK/TNC adalah karena penggunaan destructive fishing oleh nelayan, hal yang sangat miris jika solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber kehidupannya, lalu TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah TNK kulturnya merupakan nelayan, tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural, apalagi dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 11.000 jiwa ditambah banyaknya larangan bagi penduduk, seperti memanfaatkan hasil hutan, batasan alat penangkap ikan (sesuai Perda No. 11/2001) dan lain-lain. Semua itu hanyalah akal-akalan TNC untuk melakukan pengusiran secara perlahan dan sistematis.

Dari aspek sosial pun kini telah terjadi banyak benturan sosial baik antar masyarakat didalam kawasan maupun dengan masyarakat luar kawasan, hal ini tidak terlepas dari strategi yang dimainkan TNC yakni dengan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok kecil binaannya, bibit konflik sosial pun telah disebarkan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti pemisahan Komodo dengan masyarakat di TNK, perlu diketahui bahwa antara masyarakat Komodo dengan binatang komodo mempunyai keterkaitan sejarah yang sangat erat, bentuk intervensi yang dilakukan bahkan hingga ke pelarangan bermukim di wilayah TNK bagi masyarakat di TNK yang menikahi “orang luar” TNK.

Hal yang patut pula “ditentang” dari misi TNC adalah rencana collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah menjadikan masyarakat sebagai subyek. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, indikasi ini dapat jelas terlihat dari proposal TNC yang akan menjadikan TNK sebagai “lahan konsesi” yang dikelola secara eksklusif. Format kolaborasi yang diusungnya pun tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terang-terangan TNC juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata.

Taman Nasional Wakatobi: Surga Dunia, Bukan Surga Rakyat

Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI menyetujui Kontrak Kerjasama pengelolaan kawasan perairan Kepulauan WAKATOBI (Kepulauan Tukang Besi) hingga tahun 2020 (25 tahun) pada sebuah perusahaan dengan nama Badan Pelaksana (BP) Wallacea yang berkedudukan di Jakarta dan berpusat di UK–Inggris, yang selanjutnya beroperasi dengan nama Yayasan Wallacea. Kemudian disebutkan bahwa BP Walacea akan melaksanakan serangkaian kegiatan riset di kawasan tersebut dengan nama ‘Operation Wallacea’ dengan fokus pada riset jenis spesies flora dan fauna di dalam areal perairan dengan luas total 1.390.000 hektar. Untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah pusat menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan WAKATOBI melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 31 Juli 1996. Kawasan tersebut dibagi menjadi lima zona.

Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di kota Baubau. Praktis kawasan yang telah dibagi dalam beberapa zonasi tersebut (tanpa musyawarah mufakat dengan masyarakat lokal) membawa segudang masalah dengan masyarakat nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut. Mulai dari larangan memasuki zona terlarang, zona riset, zona pemanfaatan hingga tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan pola pengelolaan kawasan TN tersebut. Belum lagi adanya upaya melaksanakan kegiatan Illegal Ecotourism berkedok riset di kawasan ini oleh pengelola BP Wallacea. Tak kurang dari 100 orang peneliti dari berbagai negara Eropa datang di pulau ini dan secara bergantian melakukan kegiatan ‘riset’ di kawasan TN Kepulauan Wakatobi.

Masuknya LSM internasional TNC (The Nature Concervacy) dengan menggandeng WWF Indonesia sejak permulaan tahun 2002 di kawasan ini melalui serangkaian program konservasi kawasan Taman Nasional berdampak luas pada perubahan kultur masyarakat Wakatobi.
Sebuah gelar operasi dengan sandi ‘Operasi Napoleon’ oleh Tim gabungan keamanan laut TNKW rencananya efektif dilakukan pada tahun 2004. Walaupun mendapat sorotan dari banyak kalangan Ornop dan gerakan mahasiswa di Sultra dan nasional, rencana pengelolaan kawasan TNKW dengan pola Collaborative Management (Co-Management) tetap dilakukan. Operasi sejenis dapat dilihat juga pada pola pengamanan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Umumnya beranggotakan satuan Polisi (Polairud/Shabara Perintis/Brimob), Polisi Khusus Kehutanan (Polhut), satuan tentara dari Angkatan Laut (TNI AL) serta pihak birokrasi kecamatan/kabupaten (Staf Pemerintah Kabupaten atau kecamatan setempat).

Empat kecamatan/pulau di wilayah ini -Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko- telah disepakati oleh DPR RI untuk ditingkatkan statusnya menjadi wilayah Kabupaten, terpisah dari kabupaten induk, Buton. Pro kontra perebutan pengelolaan kawasan TNKW makin meluas, setelah kelompok-kelompok Ornop dan Gerakan Rakyat dan Mahasiswa lokal di Buton dan Kendari gencar menggalang dukungan penolakan kehadiran berbagai NGO konservasi internasional di kawasan ini. Saat ini operasi Opwal berada di P. Hoga Kecamatan Kaledupa, sementara kantor operasi TNC berada di kota Baubau. WWF Indonesia sendiri belum dapat terdeteksi kantor operasinya, sebab senantiasa bersamaan aktivitasnya dengan staff/volunteer TNC.

Taman Nasional Lore Lindu: Ketika Rakyat Dongi-Dongi Menuntut Hak

Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.

Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti: Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.

Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da’a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.

Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B.

Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70-an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng), pernah menawarkan lahan alternatif ketika terjadi pendudukan lahan untuk kedua (2) kalinya pada tahun 1999. Lahan alternatif yang ditawarkan kala itu Manggalapi. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang pindah ke Manggalapi, namun tidak lama kemudian, mereka kembali lagi ke kampungnya. Mereka menyatakan sikap untuk kembali kampung semula, karena pada lokasi ini (Manggalapi), tidak terdapat sarana yang dibutuhkan, seperti jalan menuju lokasi ini. Untuk menuju Manggalapi yang berbatasan dengan Desa Sausu, Kecamatan Parigi, membutuhkan waktu satu hari, dengan medan yang cukup sulit, sebab belum adanya sarana jalan.

Sejak tuntutan masyarakat akan permintaan lahan kembali mencuat pada 18 Juni 2001. Pemprov Sulteng kembali menawarkan lahan alternatif, seperti lahan Areal Penggunaan Lahan (APL) di Lembangtongoa, dan lahan lain di Uenuni. Namun, masyarakat kembali menolak mentah-mentah kedua lahan alternatif tersebut. Karena menurut mereka, kedua (2) lahan ini tidak layak untuk dikelola, karena terdapat pada kemiringan yang cukup terjal. Menurut masyarakat, di kedua lahan ini pula telah dimiliki oleh masyarakat dari desa lain.

Tapal batas TNLL di keempat (4) desa ini begitu dekatnya dengan areal perumahan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa pintu rumah penduduk yang langsung berhadapan dengan TNLL. Sehingga muncul rumor: “Begitu pintu rumah dibuka, maka langsung berhadapan dengan tapal batas TNLL”.

Sempitnya lahan untuk mencari nafkah, juga kebiasaan untuk mencari hasil hutan, mengakibatkan masyarakat masuk pada areal TNLL. Tindakan represif berupa pengusiran, penangkapan bahkan pembakaran sabua (pondok) yang mereka buat dalam areal TNLL. Tidak menyurutkan kebiasaan mereka untuk tetap mencari nafkah didalam TNLL. Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Kadidia, Pak Lili, yang pernah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) mesa selama empat (4) bulan tanpa ada proses hukum sebelumnya, hanya karena tertangkap Polisi Hutan (Polhut) ketika berada dalam areal TNLL. Setelah Peristiwa pengusiran mereka terdahulu (tahun 1998, 1999-red), kini, Juli 2001 mereka kembali melakukan pendudukan lahan di Dongi-dongi.

Berbagai macam project pun digulirkan di desa-desa sekitar TNLL, dengan harapan, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Seperti salah satu project Asian Development Bank (ADB) melalui Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservancy Project. Namun, target project yang sejak awalnya memang tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak, melahirkan masalah dikemudian harinya. Dapat dikatakan bahwa project Loan ini gagal total. Project yang lebih menekankan implementasi project dari pada memperhitungkan dampak, melahirkan berbagai masalah baru baik bagi masyarakat maupun TNLL sendiri. Karena implementasi project di keempat (4) desa ini, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, misalnya pembuatan jalan, sarana air bersih, pengadaan bibit. Seperti pengadaan bibit, masyarakat mempertanyakan untuk apa memberikan bibit, sementara mereka tidak memiliki lahan.

Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai: Meniadakan Hak-hak Rakyat Moronene

Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur Sulawesi tenggara pada tanggal 5 Mei 1983 no 522.51 kepada menteri kehutanan c.q Dirjen PHKA. TN RAW memiliki empat tipe ekosistem yakni: savana, rawa laut (bakau), rawa darat dan ekosistem dataran rendah.

Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi tenggara dan salah satu kampung (tobu) tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa. Menurut sebagian antropolog asal usul nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. secara administratif perkampungan Orang Moronene meliputi 7 wilayah kecamatan yang tersebar di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur, Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 Km2.

Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan di antaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbu dan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya.

Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses Orang Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi di antaranya:

* Pengambilalihan wilayah adat Orang Moronene secara paksa
* Pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk
* Pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen
* Penangkapan hingga ke penahanan Orang Moronene
* Penghilangan mata pencaharian masyarakat

Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim surat ke pemerintahan termasuk kepada balai taman nasional RAW, namun tidak ada tanggapan dari semua instansi yang dikirimi surat tersebut. Karena tidak adanya respon serta berlarut-larutnya maslaah tersebut maka pada tanggal 15 – 18 Februari 1996 sebagian warga Hukaea Laea dan Lampola memasuki tobu mereka

Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik “perlindungan kawasan konservasi”. Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang moronene.

Tindakan represif pemerintah tersebut dijabarkan serta diimplementasikan dalam bentuk Operasi Sapu Jagat (OSJ), yang dilaksanakan secara berturut-turut pada tanggal 16 Desember 1997 (OSJ I), tanggal 23 Oktober 1998 (OSJ II), tanggal 23 – 25 November 2000 (OSJ III) dan tanggal 28 April 2002 (OSJ IV). Kerugian yang diderita masyarakat diantaranya: rumah penduduk yang dibakar dan dihancurkan tidak kurang dari 200 rumah, ratusan alat perkebunan disita serta barang-barang berharga masyarakat lainnya.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Rully Syumanda
Pengkampanye Isu Hutan
Email Rully Syumanda
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:
Fax: +62-(0)21-794 1673
Tanggal Buat: 21 Jan 2003 | Tanggal Update: 21 Jan 2003

Wednesday, October 04, 2006

Undangan WALHI 26 Tahun

From: Randu (randu@walhi.or.id):
-----------------------------------------------

Salam lestari kawan-kawan di seluruh nusantara,

Di antara semburan lumpur, hutan yang terbakar (dan dibakar), rakyat
yang diusir dari kampung halamannya, sawah yang retak di kemarau
(terlalu) panjang, laut biru yang disetubuhi merkuri, hingga negeri
ini terus menyulam bencana demi bencana seperti mata rantai sila ke
lima tanpa keadilan, selama 26 tahun tak lelah berdiri, berteriak,
dan melawan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan terhadap
lingkungan hidup dan hak-hak rakyat. Selama 26 tahun, WALHI tumbuh
dewasa dan terus mengembangkan sayap-sayapnya.

Untuk mensyukuri semua itu, Eksekutif Nasional WALHI mengundang
kawan-kawan untuk hadir dalam syukuran ulang tahun WALHI ke 26 yang
akan diadakan pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 12 Oktober 2006
Pukul: 15.00 - Selesai
Tempat: Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Jl. Jenderal
Gatot Subroto No. 40, Jakarta Selatan

Acara:
1. Sambutan Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad
2. Launching dan Bedah Buku "Singkap Buyat" yang ditulis oleh P Raja Siregar
3. Launching dan pameran foto Buyat "Eksodus ke Tanah Harapan"
(fotografer: Denny Taroreh, Sulawesi Utara)
4. Pemutaran Film "Indonesia Sebentar Lagi"
5. Buka Puasa Bersama
6. Makan malam dan wisuda alumni WALHI
7. Ramah tamah.

Terima kasih atas perhatian kawan-kawan semua. Kehadiran kawan-kawan
sangat kami harapkan.

salam adil dan lestari,
Panitia HUT WALHI ke 26

Anastacia Dyah E.R (Randu)

Telapak: Rencana Uni Eropa-Malaysia Memperdagangkan Kayu Legal

PRESS RELEASE

Rencana Uni Eropa-Malaysia Memperdagangkan Kayu Legal Terancam Gagal Mengatasi Penyelundupan Kayu Illegal

3 Oktober 2006, London/Jakarta:-Rencana yang dibuat oleh Uni Eropa dan Malaysia untuk menegosiasikan perjanjian yang memastikan kedua pihak untuk hanya memperdagangkan kayu legal secara mendasar tidak akan berhasil sepanjang kedua belah pihak tidak menetapkan langkah tegas yang secara ketat mengawasi penyelundupan kayu curian. Hal ini diingatkan kelompok peduli lingkungan, Telapak dan EIA (The Environmental Investigation Agency) menyambut dimulainya negosiasi Uni Eropa dan Malaysia tentang Voluntary Partnership Agreement (VPA atau Perjanjian Kemitraan Sukarela).

Pada akhir September ini, Menteri Komoditas dan Industri Perkebunan Malaysia dan Komisi Eropa mengumumkan dimulainya negosiasi VPA guna memastikan bahwa Malaysia hanya mensuplai kayu legal ke pasar Eropa. Negosiasi ini direncanakan akan selesai pada akhir tahun 2007.

Telapak dan EIA yang selama satu dekade ini menyelidiki perdagangan internasional kayu illegal meyakini bahwa hanya dengan aturan wajib yang tegas yang akan efektif membersihkan perdagangan kayu illegal. Sembari menyambut negosiasi tersebut, EIA/Telapak mendesak kedua belah pihak untuk mengambil langkah lebih jauh guna membendung aliran kayu illegal, karena pendekatan sukarela saja dikhawatirkan tidak akan efektif. Illegal logging merupakan kejahatan lingkungan global yang besar yang bernilai Rp 150 triliun per tahun. Kejahatan tersebut menghilangkan pendapatan yang sangat besar bagi negara produsen, mengancam keberadaan biodiversitas dan ekologis, serta memupuk korupsi.

Uni Eropa sendiri saat ini mengimpor sekitar Rp 30 triliun kayu curian per tahun, yang menunjukkan bahwa pemerintah Uni Eropa telah gagal menerapkan aturan baru untuk menekan import kayu illegal. Tanpa aturan yang jelas dan tegas, pasar Eropa tetaplah terbuka luas bagi kayu illegal yang murah dan pedagang kayu tak bermoral akan terus beroperasi tanpa tersentuh hukum.

"Meski rencana Uni Eropa mengurangi konsumsi kayu illegalnya telah memadai, pendekatan sukarela yang ditawarkannya tetap tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan ini. Adanya tambahan aturan yang baru sangat mendesak untuk menghentikan aliran kayu illegal, sekaligus untuk memberikan pesan yang jelas bagi para pedagang bahwa bisnis kayu illegal tidak diterima", demikian Julian Newman, Direktur Kampanye Hutan EIA.

Malaysia sendiri adalah pemain kunci dalam perdagangan global kayu haram. Sejak tahun 2001 penyelidikan EIA/Telapak telah berulangkali membuktikan bagaimana kayu illegal Indonesia "dicuci" di Malaysia yang kemudian dijual ke pasar internasional.

Bukti baru dari penyelidikan lapangan Telapak/EIA mendokumentasikan impor ramin yang dilindungi dari Sumatera, Indonesia yang bahkan sesungguhnya bertentangan dengan hukum Malaysia. Telapak/EIA telah mengirimkan buktibukti keterlibatan perusahaan-perusahaan Malaysia di balik jaringan penyelundupan ini ke otoritas Malaysia. Bersama itu juga disampaikan informasi keterlibatan politisi Malaysia Datuk Mohd Said Yusof dalam hal memfasilitasi import kayu illegal tersebut.

Sejauh ini, pejabat senior pemerintah Malaysia bahkan menolak larangan impor kayu gergajian Indonesia, padahal di Indonesia sendiri sudah diterbitkan larangan ekspor kayu gergajian sejak tahun 2004. Kayu-kayu jarahan ini diselundupkan dalam jumlah besar ke Malaysia, baik ke Semenanjung Malaysia maupun ke Sarawak.

Kegagalan mengatasi persoalan seperti ini dalam negosiasi kerja sama Uni Eropa
- Malaysia membuat setiap perjanjian yang bersifat sukarela akan tetap tidak berdaya menghadapi sindikat penyelundup yang sangat kuat.

"Sepanjang negosiasi, pihak Uni Eropa harus bersikeras bahwa Malaysia harus berhenti berurusan dengan kayu illegal Indonesia. Tanpa itu perjanjian apapun akan tidak berguna dan hutan Indonesia tetap akan terancam", demikian Yayat Afianto, juru kampanye hutan Telapak.
Pernyataan bersama Uni Eropa - Malaysia saat memulai negosiasi resmi tentang VPA menyebutkan: "kedua belah pihak bersama-sama bertujuan melindungi hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan, dan juga untuk memastikan keduanya hanya memperdagangkan kayu legal". EIA/Telapak sungguh-sungguh mendukung maksud tersebut, akan tetapi tanpa langkah tegas untuk menutup perbatasan keduanya dari kayu curian sama saja dengan melibatkan diri dalam penghancuran secara mengerikan hutan tropis dunia melalui illegal logging.


CONTACT

Informasi lebih lanjut, silakan kontak:
Julian Newman, EIA: +44 7966 171191 (mobile)
Mardi Minangsari, Telapak: +62 811 111918 (mobile)


EDITOR'S NOTES

" EIA adalah organisasi non-profit lingkungan independen yang berkedudukan di London dan Washington. Informasi lebih lanjut mengenai organisasi ini dapat dilihat di www.eia-international.org
" Telapak adalah organisasi non-profit lingkungan independen yang berkedudukan di Bogor, Indonesia. Keterangan lebih lanjut mengenai organisasi ini dapat dilihat di www.telapak.org
" Dalam aturan tentang Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Uni Eropa tahun 2005, VPA akan dinegosiasikan dengan negara penghasil kayu untuk memastikan hanya kayu legal yang diekspor ke Uni Eropa
" Pada tanggal 25 September 2006 Menteri Komoditas dan Industri Perkebunan Malaysia dan Komisi Eropa mengumumkan memulai negosiasi formal tentang VPA
" Sebagai informasi pendukung penyelundupan kayu Indonesia ke Malaysia, dapat dilihat pada laporan EIA/Telapak berjudul "Profiting from Plunder" (tersedia di www.eia-international.org atau www.telapak.org)
" Sebagai informasi pendukung tentang impor kayu illegal dari Indonesia ke Uni Eropa, dapat dilihat pada laporan EIA/Telapak berjudul "Behind the Veneer" (tersedia di www.eia-international.org atau www.telapak.org)



Perkumpulan Telapak
Sekretariat
Gedung Alumni IPB Lt. Dasar
Jl. Padjajaran No. 54
Bogor 16144, Jawa Barat
Indonesia
telp= +62 251 393 245
fax= +62 251 393 246
Website= www.telapak.org

Tuesday, October 03, 2006

Environmental Assessment Hot Mud Flow East Java, Indonesia

kawan-kawan miliser,

saya baru saja menerima laporan ttg lumpur panas lapindo yg berjudul :

Environmental Assessment Hot Mud Flow East Java, Indonesia
Final Technical Report: United Nations Disaster Assessment and Coordination mission in June & July 2006 and Follow-up mission in July 2006 UNITED NATIONS
Published in Switzerland, 2006 by the Joint UNEP/OCHA Environment Unit
Copyright © 2006 Joint UNEP/OCHA Environment Unit
http://ochaonline.un.org/ochaunep

Executive Summary

Overview
Since 29 May 2006, a mud volcano has been emitting ‘hot mud’ in Sidoarjo district in East Java, Indonesia. Mud volcanoes are geological phenomena due to subsurface over-pressurized mud layers. The cause of the eruption has not yet been established. However, it may be linked to the gas exploration activities by Lapindo Brantas at the Panjar Banji I well.
The mud volcano emits mud at an average rate of more than 40,000 m3/day, and has inundated 4 adjacent villages, displacing nearly 7,000 people. Almost 12,000 (accumulative) medical treatments have been carried out, mainly for people affected by the release of hydrogen sulphide gas.
On 20 June, the Indonesian Ministry of Environment (KLH) made a request for technical assistance with the identification of environmental impacts of the ‘mud flow’ to the United Nations Office of Humanitarian Affairs (OCHA). OCHA Environmental Emergencies Section in collaboration with the OCHA Field Coordination Support Section deployed a United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC) team with five environmental experts from 25 June to 6 July 2006. Following a second request made by the Indonesian Ministry of Environment at the end of the UNDAC emergency mission on 27 July 2006, an environmental expert was redeployed to Indonesia. The government of Switzerland kindly provided the expert for this follow up mission.
This report contains the technical findings, conclusions and recommendations,
including results of analysis by the Institute for Public Health and the Environment in the Netherland from the first mission, as well as the report of the follow-up mission.
The latter is in Annex 4.

Summary of findings, conclusions and recommendations

Findings and conclusions
The following is a brief summary of the findings and conclusions. More detail on each of these conclusions can be found in section 3 of this report.
• The current impact on human health and the environment is low due to containment of the mud in above ground basins.
• The above-ground basins are not a sustainable solution.
• Sudden release of the mud into an aquatic environment will kill the aquatic ecosystem and have serious humanitarian consequences.
• Normal levels of organic compounds (including phenols) have been found in the mud.
• Air samples and measured air quality do not show concentrations of toxic gasses (including hydrogen sulphide) above expected levels.
• Risks from reccurent toxic gas emissions, earthquakes and subsidence are unknown, but should be considered.
More research and monitoring of the quality of the mud is needed before final statements can be made on the toxicity of the mud. However, organic compounds, and heavy metals including phenol and mercury are not found to be above normal levels.

Recommendations
The following is a brief summary of the recommendations. More detail on each of these recommendations can be found in section 3 of this report.
• Reinforcement of the above-ground basins is urgently needed.
• The local environmental authorities should strengthen their coordination, analysis and interpretation capacity focusing on heavy metals (in particular mercury) and salinity/conductivity (as an indicator for the dispersion of the mud).
• Developent of a medium term strategy based on a number of options, including a worst case scenario is urgently required.
• Measurement of the radioactive isotopes is required to determine the re-usability of the mud.
• The UN agencies currently involved should continue to monitor the humanitarian impact on the affected population.

file dlm format PDF sebesar 450 kb. kalo ada yg tertarik silahkan kontak saya di : djuni_prist@yahoo.com

tengkyu.

salam,
djuni

Monday, October 02, 2006

Mencermati Kembali Parpol LSM

Mencermati Kembali Parpol LSM

Oleh Melvin P Hutabarat

Tulisan Boni Hargens (SH 13/2) tentang penolakannya terhadap gagasan Ivan Hadar (SH 19/1) tentang pembentukan partai politik (parpol) oleh LSM menarik untuk dicermati. Ivan Hadar melihat keabsenan partai politik (parpol) melindungi rakyat dan mewacanakan pembentukan parpol oleh dua LSM, Walhi dan Bina Desa. Sedang Boni Hargens lebih mengarah kepada ketidaksesuaian LSM menjadi parpol karena kelompok penekan berbeda dengan pencari kekuasaan.

LSM di Indonesia dan mungkin di seluruh dunia memiliki dua karakter berbeda. Di satu sisi bisa membonsai perlawanan rakyat dengan mengatakan gerakan massa sudah tidak relevan lagi dan memilih menjadi agen demokrasi liberal dengan mengkompromikan kepentingan kelas-kelas yang pastinya bersifat antagonistik. Pada sisi yang lain, bisa mengambil karakter perlawanan dengan kampanye negara harus bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat.

Dalam kacamata Antonio Gramsci, LSM dengan karakter perlawanan menganjurkan kombinasi strategi perang manuver dan perang posisi ketika sistem politik semakin kuat dan kompleks. Strategi ini untuk memenangkan banyak ruang pertarungan bukan memisahkan gerakan perlawanan massa yang radikal dengan strategi elektoral (orientasi kekuasaan). Rakyat harus sedekat mungkin dengan kekuasaan itulah logika yang benar tentang demokrasi bukan malah menjauhkan rakyat dari dinamika politik riil.

Peran pemberdayaan masyarakat yang dijalankan LSM muncul karena kegagalan pemerintah dan partai-partai yang telah ada selama ini melakukan pemberdayaan politik. Untuk memberdayakan, rakyat harus dibawa sedekat mungkin dengan kekuasaan. Bukankah hanya kekuasaan yang dapat membuat rakyat semakin berdaulat. Alur berpikir LSM bertransformasi menjadi parpol bukan karena merasa dirinya bersih dan populis tetapi karena kebutuhan dan tantangan yang terus berubah.

Partai berbasis LSM harus kita maknai sebagai alternatif. Apabila sistem politik semuanya sudah rusak dan korup maka pilihan rakyat tentu bukan membuat partai alternatif tetapi melancarkan revolusi sosial. Mumpung belum terjadi frustasi yang massal dan meluas, kita harus mendorong segala alternatif bagi rakyat untuk bertarung melalui kompetisi politik perebutan kekuasaan. Rakyat sudah terlalu sabar memberi kesempatan kepada partai-partai yang sudah ada yang ”isinya” sama saja cuma beda ”merek”.

Berbenturan dengan Politik

Kritikan yang mendasar bagi gerakan politik berbasis LSM adalah keengganan mereka membangun parpol walaupun sedari awal mereka sudah berbenturan dengan politik, atau dalam bahasa Ivan Hadar disebut aktivis ”alergi politik”.

Mereka akan terlihat naïf dengan seolah-olah tidak menyadari kelemahan mereka yang mendasar yakni ketiadaan akses langsung kepada kekuasaan. Mungkin mereka merasa sudah terlalu nyaman menikmati posisi ”aktivis mengambang” yaitu berpolitik tanpa partai politik.
Dari pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, ada dua kenyataan besar yang harus disikapi Walhi dan Bina Desa.

Pertama, secara umum mayoritas parpol gagal memperjuangkan kepentingan rakyat yang mendasar seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua, Walhi dan Bina Desa sendiri gagal memberikan alternatif pilihan kepada basis-basis pengorganisasiannya (terutama gerakan petani, lingkungan dan masyarakat adat) yang pada akhirnya memilih tetap mempercayai partai-partai yang ada.

Fakta-fakta tersebut akan membuat Walhi dan Bina Desa dalam posisi yang terjepit antara dua pilihan untuk tetap menjadi LSM yang politis atau bertransformasi menjadi parpol. Apabila Walhi dan Bina Desa memilih berubah menjadi parpol hambatannya kemudian ada pada tiga level, ideologi, program politik dan bangunan organisasi.

Pada level ideologi, Ivan Hadar cukup membingungkan dengan menyatakan ideologi sosial demokrasi dan kerakyatan sudah cukup jelas bagi Walhi dan Bina Desa tetapi meminta keduanya membedakan diri dengan asas kerakyatan yang dianut semua parpol di Indonesia saat ini.

Walhi dan Bina Desa menurut hemat penulis bisa mencantumkan ideologi yang tegas seperti demokrasi partisipatif atau sosialisme partisipatif (anti stalinisme) untuk menunjukan resistensi mereka kepada neoliberalisme.

Kemudian pada level program politik apakah Walhi benar-benar mampu menerapkan segala konsekuensi green politics yang secara tradisional mendukung perjuangan ”pembebasan nasional” dan apakah Bina Desa benar-benar konsisten memperjuangkan program utama partai petani seperti revolusi agraria yang dapat mempertajam konflik kelas di Indonesia.

Di samping itu Walhi dan Bina Desa juga dituntut agar mau mengisi absennya oposisi sejati yang membela kepentingan masyarakat bawah. Menjadi oposisi yang kuat mendorong pemerintah menghormati kedaulatan rakyat

Penulis adalah alumnus FISIP UI