Thursday, March 22, 2007

Draft Final RUU PB versi pemerintah 15 Maret 2007 -02

From: hening purwati <hening_parlan@yahoo.com>
-----------------------------------------------------------

Dear all,

terlampir adalah draft RUU PB versi terakhir tanggal 15 Maret 07 yang merupakan draft hasil Timus dan Tim Sinkronisasi yang kemudian akan dibawa ke Bamus DPR.

saya akan berikan up date bila ada perkembangan.

salam.
hening

Hening Parlan
MPBI Program Manager
Jl. Kebon Sirih No.5G
Jakarta 10340-Indonesia
Tel: +62-21-3147321
Fax: +62-21-3103535
Hotline: +62-93220102
Mobile: +62-81310360759
email: hening@mpbi.org
hening_parlan@yahoo.com
Website:http://www.mpbi.org

==========================================


RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN

TENTANG

PENANGGULANGAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan termasuk pelindungan atas bencana, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan
terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor
nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan
hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia
sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana,
terkoordinasi, dan terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penanggulangan Bencana;

Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.

2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.

3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.

4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

5. Konflik sosial adalah pertentangan fisik antara dua pihak atau lebih yang
mengakibatkan hilangnya hak dan aset kelompok masyarakat, timbulnya rasa takut,
terancamnya keamanan, ketentraman, keselamatan, dan/atau terganggunya martabat dan
keseimbangan kehidupan sosial masyarakat.

6. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

7. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

8. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.

9. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.

10. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.

11. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.

12. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

13. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan
pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

14. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

15. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.

16. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.

17. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

18. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.

19. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.

20. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.

21. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari
tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana.

22. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.

23. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana.

24. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

25. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

26. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus
menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

27. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah
dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa.


BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 3

(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
yaitu:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif; dan
i. nonproletisi.

Pasal 4

Penanggulangan bencana bertujuan untuk:

a. memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Pasal 5

Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.

Pasal 6

Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil
dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Pasal 7

(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain,
badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang
melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.


(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:

a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda; dan/atau
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 8

Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:

a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai
dengan standar pelayanan minimum;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja
daerah yang memadai.

Pasal 9

Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan
kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi
dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang
melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f. penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya.

BAB IV
KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Pasal 10

(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.

(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri.

Pasal 11

Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
terdiri atas unsur:

a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.

Pasal 12

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:

a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan
sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan
internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan badan penanggulangan bencana daerah.

Pasal 13

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi meliputi:

a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 14

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
a mempunyai fungsi:

a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. pejabat pemerintah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional.

(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipilih
melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.

Pasal 15

(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf b merupakan kewenangan Pemerintah.

(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi koordinasi,
komando, dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
profesional dan ahli.

Pasal 16

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, unsur
pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:

a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.

Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata
kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana diatur dengan peraturan presiden.

Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Pasal 18

(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk badan
penanggulangan bencana daerah.


(2) Badan penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:

a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
gubernur atau setingkat eselon Ib;
b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

Pasal 19

(1) Badan penanggulangan bencana daerah terdiri atas unsur:

a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.

(2) Pembentukan badan penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Pasal 20

Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai fungsi:

a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 21

Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas:

a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana
yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan belanja daerah; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf a mempunyai fungsi:

a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah.


(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

1. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
2. anggota masyarakat profesional dan ahli.

(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipilih
melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 23

(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.

(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:

a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.

(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
profesional dan ahli.

Pasal 24

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), unsur
pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:

a. prabencana;
b. saat tanggap darurat;dan
c. pascabencana.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata
kerja badan penanggulangan bencana daerah diatur dengan peraturan daerah.


BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 26

(1) Setiap orang berhak:

a. mendapatkan pelindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan
penanggulangan bencana.

(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar.

(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang
disebabkan oleh kegagalan konstruksi.


Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 27

Setiap orang berkewajiban:

a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan,
keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.


BAB VI
PERAN PALANG MERAH INDONESIA, LEMBAGA USAHA,
DAN LEMBAGA INTERNASIONAL

Bagian Kesatu
Peran Palang Merah Indonesia

Pasal 28

(1) Palang Merah Indonesia berperan melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
sesuai dengan norma kepalangmerahan.

(2) Palang Merah Indonesia sebagai mitra masyarakat dan Pemerintah berperan dalam
kegiatan penanggulangan bencana.

(3) Palang Merah Indonesia berperan aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana sesuai
dengan norma universal yang dianut.

(4) Dalam menjalankan kegiatan penanggulangan bencana, Palang Merah Indonesia dapat
bekerja sama dengan berbagai badan kemanusiaan dalam dan luar negeri, termasuk
perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dari berbagai negara.


Bagian Kedua
Peran Lembaga Usaha

Pasal 29

Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.

Pasal 30

(1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana.

(2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau
badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta
menginformasikannya kepada publik secara transparan.

(3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
fungsi ekonominya dalam penanggulangan bencana.


Bagian Ketiga
Peran Lembaga Internasional

Pasal 31

(1) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dapat ikut serta dalam
kegiatan penanggulangan bencana dan mendapat jaminan pelindungan dari Pemerintah
terhadap para pekerjanya.

(2) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam melaksanakan
kegiatan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan secara sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama dengan mitra kerja
dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan agama
masyarakat setempat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana oleh
lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


BAB VII
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 32

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 (empat) aspek
meliputi:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.

Pasal 33

(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat:

a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk
permukiman;dan/atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas
suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.


Bagian Kedua
Tahapan

Pasal 34

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi:

a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.


Paragraf Kesatu
Prabencana

Pasal 35

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf a meliputi:

a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Pasal 36

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi:

a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. pensyaratan analisis risiko bencana;
f. penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Pasal 37

(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikoordinasikan oleh Badan.

(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu
tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan
bencana.

(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan
f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

(5) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu meninjau dokumen
perencanaan penanggulangan bencana secara berkala.

(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat mewajibkan pelaku penanggulangan bencana
untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan bencana.

Pasal 38

(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b dilakukan
untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbal, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Pasal 39

Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c meliputi:

a. identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman
bencana;
b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-
tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana;
c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur
berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana;
d. pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup; dan
e. penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Pasal 40

Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur
rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah.

Pasal 41

(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3)
ditinjau secara berkala.

(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Badan.

(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan
bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha
penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.


Pasal 42

(1) Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e
disusun dan ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

(2) Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjukkan dalam dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

(3) Badan Penanggulangan Bencana melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan
analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43

(1) Penegakan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang tata
ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.

(2) Pemerintah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar keselamatan.

Pasal 44

Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf g dan h dilaksanakan dan ditetapkan oleh Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b meliputi:

a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.

Pasal 46

(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dilakukan untuk
memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana.

(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap
darurat;
e. penyiapan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.

Pasal 47

(1) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b dilakukan untuk
pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana
serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.


(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengamatan gejala bencana;
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan
e. pengambilan tindakan oleh masyarakat.

Pasal 48

(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.

(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan tata ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan;
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern;
d. penentuan status keadaan darurat bencana;
e. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
f. pemenuhan kebutuhan dasar;
g. pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
h. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.


Paragraf Kedua
Tanggap Darurat

Pasal 49

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi:

a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Pasal 50

Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dilakukan
untuk mengidentifikasi:

a. cakupan lokasi bencana;
b. jumlah korban;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

Pasal 51

(1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan mempunyai kemudahan
akses yang meliputi:

a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
i. penyelamatan; dan
h. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 52

(1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh
Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan
oleh bupati/walikota.

Pasal 53

Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf c
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang
terjadi pada suatu daerah melalui upaya:

a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan/atau
c. evakuasi korban.

Pasal 54

Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf d meliputi
bantuan penyediaan:

a. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b. pangan;
c. sandang;
d. pelayanan kesehatan;
e. pelayanan psikososial; dan
f. penampungan dan tempat hunian.

Pasal 55

Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan
meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.


Pasal 56

(1) Pelindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf e
dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan,
evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.

(2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat; dan
d. orang lanjut usia.

Pasal 57

Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f
dilakukan dengan memperbaiki dan/atau mengganti kerusakan akibat bencana.

Paragraf Ketiga
Pascabencana

Pasal 58

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf c meliputi:

a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.

Pasal 59

(1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan melalui kegiatan:

a perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial ekonomi budaya;
i. pemulihan keamanan dan ketertiban;
j. pemulihan fungsi pemerintahan; dan
k. pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 60

(1) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, dilakukan melalui
kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,
dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.


BAB VIII
PENDANAAN
DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

Bagian Kesatu
Pendanaan

Pasal 61

(1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah
dan pemerintah daerah.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.

Pasal 62

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana
secara memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e dan Pasal 10 huruf d.

(2) Penggunaan anggaran penanggulangan bencana yang memadai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.

Pasal 63

(1) Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menggunakan
dana siap pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f.

(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah
dalam anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 65

Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang disebabkan oleh kegiatan
keantariksaan yang menimbulkan bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur
dan/atau pemilik sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional.


Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana

Pasal 66

Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan,
pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang
bantuan nasional maupun internasional.

Pasal 67

Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan melakukan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 pada semua tahap bencana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

Pada saat tanggap darurat bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
mengarahkan penggunaan sumber daya bantuan bencana yang ada pada semua sektor terkait.

Pasal 69

Tata cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban penggunaan sumber daya bantuan
bencana pada saat tanggap darurat dilakukan secara khusus sesuai dengan kebutuhan, situasi,
dan kondisi kedaruratan.

Pasal 70

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan duka cita dan
kecacatan bagi korban bencana.

(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi pinjaman lunak untuk
usaha produktif.

(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan.

Pasal 71

Pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal
67, Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.


BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 72

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahap
penanggulangan bencana.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;
f. perencanaan penataan ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.

Pasal 73

(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan
sumbangan agar dilakukan audit.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan masyarakat
dapat meminta agar dilakukan audit.

(3) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan adanya
penyimpangan penggunaan terhadap hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan
sumbangan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.


BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 75

(1) Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan asas musyawarah mufakat.


(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh
kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau
melalui pengadilan.

(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan dengan tata cara adat, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 76

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang
tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
timbulnya kerugian harta benda atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 77

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).


Pasal 79

Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, dipidana dengan pidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 80

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78,
dan Pasal 79 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. pencabutan status badan hukum.


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penanggulangan bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-
undang ini.

Pasal 82

Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan bencana yang telah ditetapkan
sebelum ditetapkannya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa
berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 83

(1) Sebelum Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana tetap dapat melaksanakan tugasnya.


(2) Setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana dinyatakan dibubarkan.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 84

Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) bulan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana sudah terbentuk dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
paling lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk.

Pasal 85

Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini harus sudah diterbitkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang ini.

Pasal 86

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN

TENTANG

PENANGGULANGAN BENCANA


I. UMUM

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang harus senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan
yang layak dan taraf kesejahteraan sosial yang memadai bagi setiap warga negara.
Pembangunan sosial berkewajiban ikut serta dalam mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.

Pembangunan nasional dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk
mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana yang menunjang.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas dan yang terletak di
khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan kondisi
alamiah memiliki berbagai keunggulan, dan berada dalam wilayah yang memiliki
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya
bencana dengan frekuensi yang cukup tinggi sehingga memerlukan penanganan.

Penanggulangan bencana merupakan serangkaian kegiatan, baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah terjadinya bencana, yang disusun untuk memberikan landasan hukum
yang kuat sekaligus kerangka kerja bagi pemerintah, badan usaha, orang-perseorangan,
dan masyarakat berisiko terkena bencana. Hal ini sangat penting, karena
penyelenggaraan penanggulangan bencana selama ini dirasa masih menunjukkan
lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanggulangan
bencana, baik dalam tahap prabencana, saat tanggap darurat, maupun pascabencana.

Pengalaman terhadap penanggulangan bencana pada masa lalu telah menarik simpati
dan kepedulian masyarakat dunia. Hal ini membuktikan bahwa atas nama kemanusiaan,
masyarakat dunia tidak sekadar berduka, tetapi juga merasa bertanggung jawab atas
derita jutaan manusia yang tewas, terluka, kehilangan tempat berteduh dan harta benda.
Pada saat seperti itu yang timbul adalah solidaritas kemanusiaan yang melampaui batas-
batas perbedaan kebangsaan, suku, ras, agama, dan keyakinan. Oleh karena itu sesuai
dengan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar tahun1945, kewajiban Negara adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Produk hukum merupakan perwujudan negara dalam melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah dari berbagai bentuk bencana dengan memperhatikan kondisi
geografis, geologis, dan demografis. Potensi penyebab bencana di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana nonalam dan
bencana sebagai akibat perbuatan manusia (bencana sosial dan/atau konflik sosial).
Bentuk bencana yang dimaksud, antara lain, berupa gempa bumi dan tsunami, letusan
gunung api, angin topan dan tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lahan,
hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, kecelakaan transportasi,
kegagalan teknologi, dampak industri, ledakan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan,
dan kerusuhan sosial.

Identifikasi tersebut sangat penting karena hampir setiap saat terjadi bencana di tanah air,
baik berskala kecil, lokal, besar (nasional), bahkan berskala internasional. Penanganan
masalah bencana masih menghadapi problem kebijakan sehingga selain penanganan
yang lamban, kualitas penanganan juga kurang memperhatikan kondisi masyarakat yang
terkena dampak buruk bencana.

Problem kebijakan yang dimaksud terutama disebabkan oleh belum adanya payung
hukum yang kuat dalam penanggulangan bencana sehingga berimplikasi pada
ketidakjelasan penanggungjawab dan pelaksana utama serta lemahnya koordinasi dan
pengawasan dalam penanggulangan bencana.

Paradigma penanggulangan bencana cenderung dilakukan setelah terjadi bencana.
Penanggulangan bencana itu dilakukan melalui tindakan penyelamatan masyarakat yang
terkena bencana (evakuasi) dan penyelamatan harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
serta pelindungan dan pengurusan pengungsian. Sementara itu, kegiatan
penanggulangan yang berdimenasi pencegahan terhadap ancaman bencana dan
kebijakan yang berisiko bencana kurang mendapat perhatian yang serius.


Mengingat penanggulangan bencana berkaitan dengan pembebanan kewajiban,
pengurangan atau penghapusan hak kepemilikan warga negara atas suatu benda, dan
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman bencana, maka perlu disusun/dibentuk undang-undang yang
dapat menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh serta menghargai budaya lokal, membangun partisipasi,
kemitraan publik dan swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,
kedermawanan, dengan tujuan penanggulangan bencana harus menciptakan perdamaian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan �asas kemanusiaan� termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan
pelindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan�asas keadilan� adalah bahwa setiap materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.


Huruf c
Yang dimaksud dengan �asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan� adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara
lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

Huruf d
Yang dimaksud dengan �asas keseimbangan� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan
kehidupan sosial dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan �asas keselarasan� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata
kehidupan dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan �asas keserasian� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.

Huruf e
Yang dimaksud dengan �asas ketertiban dan kepastian hukum� adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.

Huruf f
Yang dimaksud dengan �asas kebersamaan� adalah bahwa penanggulangan
bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama
Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.

Huruf g
Yang dimaksud dengan �asas kelestarian lingkungan hidup� adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan
datang demi kepentingan bangsa dan negara.

Huruf h
Yang dimaksud dengan �asas ilmu pengetahuan dan teknologi� adalah bahwa
dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi
bencana, maupun pada tahap pascabencana.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan �prinsip cepat dan tepat� adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan.
.
Huruf b
Yang dimaksud dengan �prinsip prioritas� adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan
pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.

Huruf c
Yang dimaksud dengan �prinsip koordinasi� adalah bahwa penanggulangan
bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.

Yang dimaksud dengan �prinsip keterpaduan� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada
kerja sama yang baik dan saling mendukung.

Huruf d
Yang dimaksud dengan �prinsip berdaya guna� adalah bahwa dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan.

Yang dimaksud dengan �prinsip berhasil guna� adalah bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan

Huruf e
Yang dimaksud dengan �prinsip transparansi� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan �prinsip akuntabilitas� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara
etik dan hukum.

Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Yang dimaksud dengan �prinsip nondiskriminasi� adalah bahwa negara dalam
penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap
jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
Huruf i,
Yang dimaksud dengan �nonproletisi� adalah bahwa dilarang menyebarkan
agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui
pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Yang dimaksud dengan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi bencana alam, nonalam, dan
bencana sosial.

Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f,
Yang dimaksud dengan dana �siap pakai� adalah bahwa dana pemerintah yang
dicadangkan merupakan dana siap pakai apabila terjadi bencana.
Huruf g
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c,
Yang dimaksud dengan �indikator tingkatan bencana� adalah bahwa ukuran
yang ditetapkan untuk menentukan skala bencana meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang kena bencana; dan/atau
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pengendalian dalam proses ini termasuk pemberian izin pengumpulan uang
atau barang yang bersifat nasional menjadi kewenangan Menteri Sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Unsur Pengarah terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat profesional
dalam jumlah yang seimbang dan proporsional.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi pada
tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud dengan fungsi
komando dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap
darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Keanggotaan unsur pengarah mengacu pada keanggotaan unsur pengarah
pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g,
Pengendalian dalam ketentuan ini termasuk pemberian izin pengumpulan uang
dan barang yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan
lingkup kewenangannya.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a,
Yang dimaksud dengan masyarakat rentan bencana adalah anggota
masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang di sandangnya
di antaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu
hamil dan menyusui.

Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas


Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dengan badan kemanusiaan adalah bekerja
sama dengan organisasi sosial kemasyarakatan, baik dalam maupun luar negeri,
antara lain, Bulan Sabit Merah di Indonesia, Karang Taruna, Komite Nasional
Pemuda Indonesia, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, dan Praja
Muda Karana (Pramuka), dan lembaga sosial kemasyarakat lainnya.

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup Jelas

Pasal 33
Cukup Jelas

Pasal 34
Cukup Jelas

Pasal 35
Cukup Jelas

Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan analisis risiko bencana adalah kegiatan penelitian dan
studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas


Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan
terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata
nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Yang dimaksud dengan kegiatan keantariksaan adalah kegiatan yang berkaitan
dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara lain, peluncuran satelit dan
eksplorasi ruang angkasa.

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Cukup jelas

RUU Penanaman Modal draft 15 maret 2007

From: umi lasminah <umilasminah@yahoo.com>
-----------------------------------------------------------------------
draft Hasil RAKER RUU PM TGL. 15-3-2007


RANCANGAN
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN 2007
TENTANG
PENANAMAN MODAL


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang
berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai
tujuan bernegara;
b. bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi
Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari
ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi;
c. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan
mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan
peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi
kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri;
d. bahwa dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu
diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan
kepentingan ekonomi nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan
dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan
hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Penanaman Modal.


Mengingat : Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), (2), dan (5), Pasal 20, serta
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :


Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANAMAN MODAL


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia.
2. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam
negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik
yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam
modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
5. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha
Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di
wilayah negara Republik Indonesia.
6. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing,
dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.
7. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki
oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.
8. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara
asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang
sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia,
perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum
atau tidak berbadan hukum.
10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan
nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga
atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen
yang dilakukan dalam satu tempat.
11. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di
wilayah negara Republik Indonesia.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

(1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
e. kebersamaan;
f. efisiensi berkeadilan;
g. berkelanjutan;
h. berwawasan lingkungan;
i. kemandirian;dan
j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan
dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


BAB III
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL

Pasal 4

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal
untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan
b. mempercepat peningkatan penanaman modal.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi
penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya
kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(3) Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam
bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.


BAB IV
BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN

Pasal 5

(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang
berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam
bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB V
PERLAKUAN TERHADAP PENANAMAN MODAL

Pasal 6

(1) Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang
berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari
suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

Pasal 7

(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui
jalur arbitrase.
Pasal 8

(1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset
yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
(3) Penanam modal diberikan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta
asing, antara lain terhadap:
a. modal;
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk:
1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi;
atau
2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup
penanaman modal;
d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan
penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;
k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar
untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak
proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan
l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi:
a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana;
b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan
Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan
d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.

Pasal 9

(1) Dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam
modal:
a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk
menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan
b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer
dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.

(2) Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh
tanggung jawab penanam modal.


BAB VI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 10

(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus
mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing
untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga
negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan
menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga
negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan untuk diselesaikan
secara musyawarah antara perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja.
(2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil,
penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mekanisme tripartit.
(3) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil,
perusahaan penanaman modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui pengadilan hubungan industrial.


BAB VII
BIDANG USAHA

Pasal 12

(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal,
kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan
persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-
undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup
untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria
kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional,
serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan
serta daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan masing-masing
akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan
kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan
distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja
sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.


BAB VIII
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL BAGI
USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI

Pasal 13

(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar
dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing,
pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang
seluas-luasnya.


BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL

Pasal 14

Setiap penanam modal berhak mendapat:
a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 15

Setiap penanam modal berkewajiban:
a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal;
dan
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Setiap penanam modal bertanggung jawab:
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal
menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal
lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib
mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar
kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.


BAB X
FASILITAS PENANAMAN MODAL

Pasal 18

(1) Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman
modal.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
kepada penanaman modal yang :
a. melakukan peluasan usaha; atau
b. melakukan penanaman modal baru.

(3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain
yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau
j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri.

(4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk
keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal
atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di
dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu,
pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

(5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu
tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri
pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis
bagi perekonomian nasional.
(6) Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin
atau barang modal lainnya dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan
bea masuk.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 19
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan
kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 20
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak berlaku bagi penanaman modal asing
yang tidak berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 21
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:
a. hak atas tanah;
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan
c. fasilitas perizinan impor.

Pasal 22

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat
diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun
dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang
di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan
perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan
pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan
penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak
merugikan kepentingan umum.

Penjelasan :
yang dimaksud "antara lain" adalah persyaratan yang mencakup tetapi tidak
terbatas pada huruf a sampai dengan huruf e sebagai satu kesatuan persyaratan
(Diskors tgl. 15-3-2007, pukul 20.30 WIB )

(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih
digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang
dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan
atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan
tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 23

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dapat diberikan untuk:
a. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan
penanaman modal;
b. penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara
dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan
purnajual; dan
c. calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal.

(2) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan
kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
(3) Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu:
a. pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun;
b. pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal
tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-
turut;
c. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin
tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas
diberikan;
d. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin
tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas
diberikan; dan
e. pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin
tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.

(4) Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar
rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pasal 24

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dapat diberikan untuk impor:
a. barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur perdagangan barang;
b. barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa;
c. barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan
d. barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.


BAB XI
PENGESAHAN DAN PERIZINAN PERUSAHAAN

Pasal 25

(1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan
kententuan Pasal 5 Undang-Undang ini.
(2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk
badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan
terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang
memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu
pintu.
Pasal 26

(1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh
kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.
(2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang
berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan
wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan
nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan
perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB XII
KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN
PENANAMAN MODAL
Pasal 27
(1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi
Pemerintah, antarinstansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antarinstansi Pemerintah
dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah.
(2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(Disetujui Raker tgl. 15-03-2007).
(4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 28

(1) Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal,
Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman
modal;
b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;
c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan
penanaman modal;
d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan
memberdayakan badan usaha;
e. membuat peta penanaman modal Indonesia;
f. mempromosikan penanaman modal;
g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman
modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing,
menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang
seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang
dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
i. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan
penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan
j. mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu.
(2) Selain tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan
Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan
Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap
sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.


BAB XIII
PENYELENGGARAAN URUSAN PENANAMAN MODAL

Pasal 30
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha
bagi pelaksanaan penanaman modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi
urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang
merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi
urusan Pemerintah.
(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota
menjadi urusan pemerintah provinsi.
(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu
kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.
(7) Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan
Pemerintah adalah :
a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan
tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala
nasional;
c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung
antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan
keamanan nasional;
e. penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing,
yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat
oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut
undang-undang.

(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya
sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi
pemerintah kabupaten/kota.
(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XIV
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Pasal 31

(1) Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis
bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan
suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.
(2) Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan
ekonomi khusus.
(3) Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan undang-undang.


BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 32

(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui
musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut
melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa
melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di
pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui
arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.


BAB XVI
SANKSI

Pasal 33

(1) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian
dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan
terbatas untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat
perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian
dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
(3) Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian
atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa
tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk
penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan
kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang
berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal
yang bersangkutan.
Pasal 34

(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 35

Perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang
penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang
ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

Pasal 36

Rancangan perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam
bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-
Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 37

(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanamana Modal
Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970
tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
persetujuan penanaman modal dan izin pelaksanaan tersebut.
(3) Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan dengan
penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada
tanggal disahkannya Undang-Undang ini belum memperoleh persetujuan Pemerintah
wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(4) Perusahaan penanaman modal yang telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang
berdasarkan Undang-Undang ini.


BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2943); dan

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2944),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Semua Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung
dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada Undang-Undang ini.

Pasal 40

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


HAMID AWALUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...... NOMOR………….


-----------------------------------------------------------------
# Djuni Pristiyanto
# Email: belink2006@yahoo.com.sg
# Site Peduli Banjir Jabodetabek (Pengelola): http://jakartabanjir.wordpress.com
# Milis Lingkungan Indonesia (Moderator): http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/
-----------------------------------------------------------------