Draft Final RUU PB versi pemerintah 15 Maret 2007 -02
-----------------------------------------------------------
Dear all,
terlampir adalah draft RUU PB versi terakhir tanggal 15 Maret 07 yang merupakan draft hasil Timus dan Tim Sinkronisasi yang kemudian akan dibawa ke Bamus DPR.
saya akan berikan up date bila ada perkembangan.
salam.
hening
Hening Parlan
MPBI Program Manager
Jl. Kebon Sirih No.5G
Jakarta 10340-Indonesia
Tel: +62-21-3147321
Fax: +62-21-3103535
Hotline: +62-93220102
Mobile: +62-81310360759
email: hening@mpbi.org
hening_parlan@yahoo.com
Website:http://www.mpbi.org
==========================================
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
tujuan untuk memberikan pelindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan termasuk pelindungan atas bencana, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan
terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor
nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan
hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia
sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana,
terkoordinasi, dan terpadu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penanggulangan Bencana;
Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
5. Konflik sosial adalah pertentangan fisik antara dua pihak atau lebih yang
mengakibatkan hilangnya hak dan aset kelompok masyarakat, timbulnya rasa takut,
terancamnya keamanan, ketentraman, keselamatan, dan/atau terganggunya martabat dan
keseimbangan kehidupan sosial masyarakat.
6. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
7. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
8. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
9. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
10. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
11. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.
12. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
13. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan
pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
14. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
15. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk
bahaya tertentu.
16. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.
17. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
18. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.
19. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
20. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.
21. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari
tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana.
22. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.
23. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana.
24. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
25. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
26. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus
menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
27. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah
dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup; dan
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
yaitu:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. kemitraan;
g. pemberdayaan;
h. nondiskriminatif; dan
i. nonproletisi.
Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a. memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG
Pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil
dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
Pasal 7
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain,
badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang
melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda; dan/atau
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 8
Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai
dengan standar pelayanan minimum;
b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program
pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja
daerah yang memadai.
Pasal 9
Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan
kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan
penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi
dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang
melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan
f. penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang pada wilayahnya.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Pasal 10
(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri.
Pasal 11
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.
Pasal 12
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan
sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan
internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan badan penanggulangan bencana daerah.
Pasal 13
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.
Pasal 14
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
a mempunyai fungsi:
a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipilih
melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Pasal 15
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 huruf b merupakan kewenangan Pemerintah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi koordinasi,
komando, dan pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
profesional dan ahli.
Pasal 16
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, unsur
pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata
kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana diatur dengan peraturan presiden.
Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 18
(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk badan
penanggulangan bencana daerah.
(2) Badan penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
gubernur atau setingkat eselon Ib;
b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.
Pasal 19
(1) Badan penanggulangan bencana daerah terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana; dan
b. pelaksana penanggulangan bencana.
(2) Pembentukan badan penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Pasal 20
Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.
Pasal 21
Badan penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas:
a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana
yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan belanja daerah; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf a mempunyai fungsi:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
1. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
2. anggota masyarakat profesional dan ahli.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipilih
melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 23
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
profesional dan ahli.
Pasal 24
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), unsur
pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat;dan
c. pascabencana.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata
kerja badan penanggulangan bencana daerah diatur dengan peraturan daerah.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan pelindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok
masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan
penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang
disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 27
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan,
keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan
c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.
BAB VI
PERAN PALANG MERAH INDONESIA, LEMBAGA USAHA,
DAN LEMBAGA INTERNASIONAL
Bagian Kesatu
Peran Palang Merah Indonesia
Pasal 28
(1) Palang Merah Indonesia berperan melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
sesuai dengan norma kepalangmerahan.
(2) Palang Merah Indonesia sebagai mitra masyarakat dan Pemerintah berperan dalam
kegiatan penanggulangan bencana.
(3) Palang Merah Indonesia berperan aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana sesuai
dengan norma universal yang dianut.
(4) Dalam menjalankan kegiatan penanggulangan bencana, Palang Merah Indonesia dapat
bekerja sama dengan berbagai badan kemanusiaan dalam dan luar negeri, termasuk
perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dari berbagai negara.
Bagian Kedua
Peran Lembaga Usaha
Pasal 29
Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.
Pasal 30
(1) Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
(2) Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau
badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta
menginformasikannya kepada publik secara transparan.
(3) Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
fungsi ekonominya dalam penanggulangan bencana.
Bagian Ketiga
Peran Lembaga Internasional
Pasal 31
(1) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dapat ikut serta dalam
kegiatan penanggulangan bencana dan mendapat jaminan pelindungan dari Pemerintah
terhadap para pekerjanya.
(2) Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dalam melaksanakan
kegiatan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan secara sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama dengan mitra kerja
dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan agama
masyarakat setempat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana oleh
lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 32
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 (empat) aspek
meliputi:
a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
b. kelestarian lingkungan hidup;
c. kemanfaatan dan efektivitas; dan
d. lingkup luas wilayah.
Pasal 33
(1) Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat:
a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk
permukiman;dan/atau
b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas
suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Tahapan
Pasal 34
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
Paragraf Kesatu
Prabencana
Pasal 35
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf a meliputi:
a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Pasal 36
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. pensyaratan analisis risiko bencana;
f. penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Pasal 37
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu
tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan
bencana.
(4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c. analisis kemungkinan dampak bencana;
d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan
f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu meninjau dokumen
perencanaan penanggulangan bencana secara berkala.
(6) Dalam usaha menyelaraskan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat mewajibkan pelaku penanggulangan bencana
untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan bencana.
Pasal 38
(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b dilakukan
untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbal, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Pasal 39
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c meliputi:
a. identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman
bencana;
b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-
tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana;
c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur
berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana;
d. pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup; dan
e. penguatan ketahanan sosial masyarakat.
Pasal 40
Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur
rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah.
Pasal 41
(1) Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3)
ditinjau secara berkala.
(2) Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Badan.
(3) Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan
bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha
penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 42
(1) Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e
disusun dan ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
(2) Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjukkan dalam dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Badan Penanggulangan Bencana melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan
analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 43
(1) Penegakan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang tata
ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.
(2) Pemerintah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan tata ruang dan pemenuhan standar keselamatan.
Pasal 44
Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf g dan h dilaksanakan dan ditetapkan oleh Pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.
Pasal 46
(1) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dilakukan untuk
memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana.
(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap
darurat;
e. penyiapan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap
darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
Pasal 47
(1) Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b dilakukan untuk
pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana
serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengamatan gejala bencana;
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana;
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang;
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana; dan
e. pengambilan tindakan oleh masyarakat.
Pasal 48
(1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan tata ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan;
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional
maupun modern;
d. penentuan status keadaan darurat bencana;
e. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
f. pemenuhan kebutuhan dasar;
g. pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
h. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Paragraf Kedua
Tanggap Darurat
Pasal 49
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasal 50
Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dilakukan
untuk mengidentifikasi:
a. cakupan lokasi bencana;
b. jumlah korban;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
Pasal 51
(1) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan mempunyai kemudahan
akses yang meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
i. penyelamatan; dan
h. komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh
Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan
oleh bupati/walikota.
Pasal 53
Penyelamatan dan evakuasi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf c
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang
terjadi pada suatu daerah melalui upaya:
a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan/atau
c. evakuasi korban.
Pasal 54
Pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf d meliputi
bantuan penyediaan:
a. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b. pangan;
c. sandang;
d. pelayanan kesehatan;
e. pelayanan psikososial; dan
f. penampungan dan tempat hunian.
Pasal 55
Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan
meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Pasal 56
(1) Pelindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf e
dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelamatan,
evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.
(2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat; dan
d. orang lanjut usia.
Pasal 57
Pemulihan fungsi prasarana dan sarana vital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f
dilakukan dengan memperbaiki dan/atau mengganti kerusakan akibat bencana.
Paragraf Ketiga
Pascabencana
Pasal 58
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 huruf c meliputi:
a. rehabilitasi; dan
b. rekonstruksi.
Pasal 59
(1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan melalui kegiatan:
a perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial ekonomi budaya;
i. pemulihan keamanan dan ketertiban;
j. pemulihan fungsi pemerintahan; dan
k. pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 60
(1) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, dilakukan melalui
kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi:
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,
dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
PENDANAAN
DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA
Bagian Kesatu
Pendanaan
Pasal 61
(1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah
dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam
penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.
Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana
secara memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e dan Pasal 10 huruf d.
(2) Penggunaan anggaran penanggulangan bencana yang memadai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pasal 63
(1) Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menggunakan
dana siap pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah
dalam anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 65
Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang disebabkan oleh kegiatan
keantariksaan yang menimbulkan bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur
dan/atau pemilik sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional.
Bagian Kedua
Pengelolaan Bantuan Bencana
Pasal 66
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan,
pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang
bantuan nasional maupun internasional.
Pasal 67
Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan melakukan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 pada semua tahap bencana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
Pada saat tanggap darurat bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
mengarahkan penggunaan sumber daya bantuan bencana yang ada pada semua sektor terkait.
Pasal 69
Tata cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban penggunaan sumber daya bantuan
bencana pada saat tanggap darurat dilakukan secara khusus sesuai dengan kebutuhan, situasi,
dan kondisi kedaruratan.
Pasal 70
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan duka cita dan
kecacatan bagi korban bencana.
(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi pinjaman lunak untuk
usaha produktif.
(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan.
Pasal 71
Pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal
67, Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 72
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahap
penanggulangan bencana.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber ancaman atau bahaya bencana;
b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;
d. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri;
e. kegiatan konservasi lingkungan;
f. perencanaan penataan ruang;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. kegiatan reklamasi; dan
i. pengelolaan keuangan.
Pasal 73
(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan,
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan
sumbangan agar dilakukan audit.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan masyarakat
dapat meminta agar dilakukan audit.
(3) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan adanya
penyimpangan penggunaan terhadap hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan
sumbangan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dan Pasal 73) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 75
(1) Penyelesaian sengketa penanggulangan bencana pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan asas musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh
kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau
melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan dengan tata cara adat, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 76
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang
tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
timbulnya kerugian harta benda atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya
orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 77
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun atau paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dilakukan
karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, dipidana dengan pidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 80
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78,
dan Pasal 79 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. pencabutan status badan hukum.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penanggulangan bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-
undang ini.
Pasal 82
Semua program kegiatan berkaitan dengan penanggulangan bencana yang telah ditetapkan
sebelum ditetapkannya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa
berlakunya berakhir, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Sebelum Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana tetap dapat melaksanakan tugasnya.
(2) Setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana dibentuk, Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana dinyatakan dibubarkan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) bulan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana sudah terbentuk dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
paling lambat 1 (satu) tahun sudah terbentuk.
Pasal 85
Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang ini harus sudah diterbitkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang ini.
Pasal 86
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
I. UMUM
Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang harus senantiasa memperhatikan hak atas penghidupan
yang layak dan taraf kesejahteraan sosial yang memadai bagi setiap warga negara.
Pembangunan sosial berkewajiban ikut serta dalam mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
Pembangunan nasional dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk
mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana yang menunjang.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas dan yang terletak di
khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan kondisi
alamiah memiliki berbagai keunggulan, dan berada dalam wilayah yang memiliki
kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya
bencana dengan frekuensi yang cukup tinggi sehingga memerlukan penanganan.
Penanggulangan bencana merupakan serangkaian kegiatan, baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah terjadinya bencana, yang disusun untuk memberikan landasan hukum
yang kuat sekaligus kerangka kerja bagi pemerintah, badan usaha, orang-perseorangan,
dan masyarakat berisiko terkena bencana. Hal ini sangat penting, karena
penyelenggaraan penanggulangan bencana selama ini dirasa masih menunjukkan
lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanggulangan
bencana, baik dalam tahap prabencana, saat tanggap darurat, maupun pascabencana.
Pengalaman terhadap penanggulangan bencana pada masa lalu telah menarik simpati
dan kepedulian masyarakat dunia. Hal ini membuktikan bahwa atas nama kemanusiaan,
masyarakat dunia tidak sekadar berduka, tetapi juga merasa bertanggung jawab atas
derita jutaan manusia yang tewas, terluka, kehilangan tempat berteduh dan harta benda.
Pada saat seperti itu yang timbul adalah solidaritas kemanusiaan yang melampaui batas-
batas perbedaan kebangsaan, suku, ras, agama, dan keyakinan. Oleh karena itu sesuai
dengan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar tahun1945, kewajiban Negara adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Produk hukum merupakan perwujudan negara dalam melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah dari berbagai bentuk bencana dengan memperhatikan kondisi
geografis, geologis, dan demografis. Potensi penyebab bencana di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana nonalam dan
bencana sebagai akibat perbuatan manusia (bencana sosial dan/atau konflik sosial).
Bentuk bencana yang dimaksud, antara lain, berupa gempa bumi dan tsunami, letusan
gunung api, angin topan dan tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lahan,
hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, kecelakaan transportasi,
kegagalan teknologi, dampak industri, ledakan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan,
dan kerusuhan sosial.
Identifikasi tersebut sangat penting karena hampir setiap saat terjadi bencana di tanah air,
baik berskala kecil, lokal, besar (nasional), bahkan berskala internasional. Penanganan
masalah bencana masih menghadapi problem kebijakan sehingga selain penanganan
yang lamban, kualitas penanganan juga kurang memperhatikan kondisi masyarakat yang
terkena dampak buruk bencana.
Problem kebijakan yang dimaksud terutama disebabkan oleh belum adanya payung
hukum yang kuat dalam penanggulangan bencana sehingga berimplikasi pada
ketidakjelasan penanggungjawab dan pelaksana utama serta lemahnya koordinasi dan
pengawasan dalam penanggulangan bencana.
Paradigma penanggulangan bencana cenderung dilakukan setelah terjadi bencana.
Penanggulangan bencana itu dilakukan melalui tindakan penyelamatan masyarakat yang
terkena bencana (evakuasi) dan penyelamatan harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
serta pelindungan dan pengurusan pengungsian. Sementara itu, kegiatan
penanggulangan yang berdimenasi pencegahan terhadap ancaman bencana dan
kebijakan yang berisiko bencana kurang mendapat perhatian yang serius.
Mengingat penanggulangan bencana berkaitan dengan pembebanan kewajiban,
pengurangan atau penghapusan hak kepemilikan warga negara atas suatu benda, dan
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman bencana, maka perlu disusun/dibentuk undang-undang yang
dapat menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh serta menghargai budaya lokal, membangun partisipasi,
kemitraan publik dan swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan,
kedermawanan, dengan tujuan penanggulangan bencana harus menciptakan perdamaian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan �asas kemanusiaan� termanifestasi dalam
penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan
pelindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan�asas keadilan� adalah bahwa setiap materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan �asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan� adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara
lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan �asas keseimbangan� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan
kehidupan sosial dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan �asas keselarasan� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata
kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan �asas keserasian� adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan �asas ketertiban dan kepastian hukum� adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan �asas kebersamaan� adalah bahwa penanggulangan
bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama
Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
Huruf g
Yang dimaksud dengan �asas kelestarian lingkungan hidup� adalah bahwa
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan
datang demi kepentingan bangsa dan negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan �asas ilmu pengetahuan dan teknologi� adalah bahwa
dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi
bencana, maupun pada tahap pascabencana.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan �prinsip cepat dan tepat� adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai
dengan tuntutan keadaan.
.
Huruf b
Yang dimaksud dengan �prinsip prioritas� adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan
pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan �prinsip koordinasi� adalah bahwa penanggulangan
bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan �prinsip keterpaduan� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada
kerja sama yang baik dan saling mendukung.
Huruf d
Yang dimaksud dengan �prinsip berdaya guna� adalah bahwa dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Yang dimaksud dengan �prinsip berhasil guna� adalah bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan
Huruf e
Yang dimaksud dengan �prinsip transparansi� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan �prinsip akuntabilitas� adalah bahwa penanggulangan
bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara
etik dan hukum.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan �prinsip nondiskriminasi� adalah bahwa negara dalam
penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap
jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
Huruf i,
Yang dimaksud dengan �nonproletisi� adalah bahwa dilarang menyebarkan
agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui
pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Yang dimaksud dengan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi bencana alam, nonalam, dan
bencana sosial.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f,
Yang dimaksud dengan dana �siap pakai� adalah bahwa dana pemerintah yang
dicadangkan merupakan dana siap pakai apabila terjadi bencana.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c,
Yang dimaksud dengan �indikator tingkatan bencana� adalah bahwa ukuran
yang ditetapkan untuk menentukan skala bencana meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang kena bencana; dan/atau
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pengendalian dalam proses ini termasuk pemberian izin pengumpulan uang
atau barang yang bersifat nasional menjadi kewenangan Menteri Sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Unsur Pengarah terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat profesional
dalam jumlah yang seimbang dan proporsional.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi pada
tahap prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud dengan fungsi
komando dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap
darurat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Keanggotaan unsur pengarah mengacu pada keanggotaan unsur pengarah
pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g,
Pengendalian dalam ketentuan ini termasuk pemberian izin pengumpulan uang
dan barang yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan
lingkup kewenangannya.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a,
Yang dimaksud dengan masyarakat rentan bencana adalah anggota
masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang di sandangnya
di antaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu
hamil dan menyusui.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dengan badan kemanusiaan adalah bekerja
sama dengan organisasi sosial kemasyarakatan, baik dalam maupun luar negeri,
antara lain, Bulan Sabit Merah di Indonesia, Karang Taruna, Komite Nasional
Pemuda Indonesia, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, dan Praja
Muda Karana (Pramuka), dan lembaga sosial kemasyarakat lainnya.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan analisis risiko bencana adalah kegiatan penelitian dan
studi tentang kegiatan yang memungkinkan terjadinya bencana.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan
terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata
nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Yang dimaksud dengan kegiatan keantariksaan adalah kegiatan yang berkaitan
dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara lain, peluncuran satelit dan
eksplorasi ruang angkasa.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas