Monday, January 02, 2006

RUU PWP (versi 7 Desember 2004, draf antar departemen)

Kawan-kawan Miliser,

Di bawah ini saya kirimkan :
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH (RUU PWP)
Draft RUU Antar Dept. 7 Dec 2004

Semula naskah ini dalam format DOC yg berbentuk tabel, tapi kemudian saya ubah formatnya menjadi TEXT. Oleh karena itu, tentu saja ada ada bentuk yg hilang. Dlm format TEXT naskah itu dapat dikirimkan ke milis2 yg tidak menerima attachment atau pun file HTML (Milis Lingkungan dan Milis Berita Lingkungan tdk menerima attachment dan format HTML).

Terima kasih kepada kawan Riza Damanik atas kiriman naskah ini. Bila ada komentar dan saran silahkan ditujukan kepada Riza Damanik <mriza_damanik@yahoo.com>, tukang kampanye laut dan pesisir Eknas Walhi. Selain itu jangan lupa di-CC-kan juga ke Moderator Milis Lingkungan <senoaji@cbn.net.id>

Semoga berguna.

salam,
djuni

==========================================

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH
Draft RUU Antar Dept. 7 Dec 2004

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
JAKARTA, 7 Dec 2004

RUU PWP (BAB/PASAL)

Menimbang :

a. bahwa wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam, harus dikelola secara adil dan bijaksana, berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pengembangan ekonomi, sosial-budaya, serta mencegah terjadinya degradasi pada sumberdaya alam, pesisir dan laut;

b. bahwa sumberdaya yang berada di wilayah pesisir sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, perlu ditetapkan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;

3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319;

4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);

5. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421);

7. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4433);

8. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437).

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan adalah suatu proses perencanan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

2. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.

3. Wilayah Pesisir adalah kawasan peralihan, yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan laut, secara geographis kearah darat batas sepadan sejauh pasang tertinggi dan kearah laut sejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai, sedimen, dan pencemaran dari darat.

4. Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antar sektor dan antar pemerintah dengan pemerintah daerah, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Sumberdaya Pesisir adalah sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir, meliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, pasir dan lain-lain.

6. Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya.

7. Zona adalah bagian dari wilayah yang disepakati bersama antar berbagai pemangku kepentingan utama untuk penggunaan tertentu.

8. Zonasi adalah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, merupakan upaya penetapan batas-batas fungsional suatu peruntukan suatu ruang (pemanfaatan umum, konservasi, alur) sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

9. Kawasan pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi, untuk dipertahankan keberadaannya.

10. Kawasan konservasi pesisir adalah kawasan yang secara ekologis mempunyai unsur-unsur dan karakteristik tertentu untuk dilindungi dan ditetapkan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi konservasi dan pemanfaatan terbatas.

11. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan.

12. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk kegiatan budidaya atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

13. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai peruntukkan umum dari berbagai sektor kegiatan.

14. Akreditasi adalah prosedur konsistensi perencanaan dan pengakuan suatu kegiatan yang telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi penilaian, penghargaan dan insentif terhadap program pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan secara sukarela.

15. Komisi pesisir adalah suatu organisasi atau badan yang dibentuk untuk menangani mekanisme koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan atau instansi pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut.

16. Pemangku kepentingan utama adalah para pengguna sumber daya pesisir yang mempunyai kepentingan langsung, seperti nelayan, pembudidaya ikan, penyelam, dan pengusaha perikanan.

17. Daya dukung adalah batas layaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis, yang dapat didukung oleh suatu ekosistem; sering berarti jumlah tertentu individu dari suatu species yang dapat didukung oleh suatu habitat atau, dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau penggunaan sumberdaya.

18. Jasa lingkungan di kawasan pesisir adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfataan dengan tidak mengekstrak sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi karena fungsinya sebagai media transportasi, fungsi rekreasi dan pariwisata, fungsi sumber energi, fungsi cagar budaya dan fungsi filter alami.

19. Sistem pengelolaan tradisional adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan, aturan, tata cara penyusunan atau kebiasaan yang diyakini bersama secara turun temurun dan dapat menjamin kelestarian sumber daya alamnya.

20. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya memfasilitasi, mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara lestari.

21. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan mata pencahariannya tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir, terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang merupakan komunitas nelayan, pembudidaya ikan dan bukan nelayan.

22. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai adat istiadat yang diwarisi dari leluhurnya.

23. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, berada dan menetap di wilayah pesisir tertentu.

24. Bencana pesisir adalah perubahan sifat fisik dan/atau hayati yang menimbulkan korban jiwa dan/atau kerusakan di wilayah pesisir.

25. Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

26. Gugatan perwakilan adalah prosedur pengajuan gugatan keperdataan, dimana satu atau beberapa orang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sejumlah masyarakat, dimana wakil dan yang diwakilinya mengalami kerugian yang sama.

27. Rehabilitasi adalah proses pengembalian dan perbaikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.

28. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan wilayah pesisir.

29. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

30. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asa otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalamsistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.

31. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi

32. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

BAB II
PRINSIP DAN TUJUAN

Pasal 2

Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan berlandaskan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, peran serta masyarakat, keterbukaan, berkeadilan, kepastian hukum, konsistensi dan kemitraan

Pasal 3

Pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan dengan tujuan :

a. memperkuat masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir agar adil, seimbang, berkelanjutan;

b. melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan, merehabilitasi dan memperkaya sumberdaya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;

c. meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pesisir, melalui pendidikan dan pembangunan masyarakat;

d. menciptakan sinergi dan keharmonisan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan sumberdaya Pesisir.

BAB III
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Pasal 4

Pengelolaan Wilayah Pesisir meliputi proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan proses-proses alam secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan NKRI.

Pasal 5

Pengelolaan Wilayah Pesisir sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan :

a. kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat;

b. perencanaan antar sektor;

c. perencanaan antar pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. ekosistem darat dan laut;

e. ilmu pengetahuan dan manajemen.

BAB IV
PERENCANAAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri menetapkan ketentuan -ketentuan mengenai norma, standar dan pedoman perencanaan pengelolaan, yang terdiri atas:

a. rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP)

b. rencana zona pengelolaan wilayah pesisir (RZ-PWP),

c. rencana pengelolaan jangka menengah wilayah pesisir (RPJM-WP)

d. rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir (RA-PWP).

(2) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dengan melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar dan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota wajib menyusun rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) dan rencana zona pengelolaan wilayah pesisir (RZ-PWP) sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

(4) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana zona rinci di kawasan pesisir yang tertentu.

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) pada kawasan pesisir sesuai dengan kebutuhannya.

Bagian Kedua
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang
Wilayah Pesisir (RPJP-WP)

Pasal 7

(1) Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana pengelolaan jangka panjang masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(2) Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) Provinsi dan Kabupaten /Kota mempertimbangkan kepentingan nasional dan daerah.

(3) Jangka waktu Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) Provinsi dan Kabupaten/Kota selama 15 (lima belas) tahun dan dapat ditinjau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

Bagian Ketiga
Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir
(RZ-PWP)

Pasal 8

(1) Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) merupakan strategi pemanfaatan wilayah pesisir, baik di wilayah pesisir provinsi, maupun di wilayah pesisir kabupaten/kota.

(2) Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) pada bagian perairan pesisir harus serasi dan terpadu dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten/kota.

(3) Perencanaan Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) dilakukan dengan mempertimbangkan :

a. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan dan daya dukung ekosistem fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan.

b. Aspek pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas lahan dan perairan.

c. Pemanfaatan wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi wajib mengalokasikan ruang untuk akses masyarakat pesisir terhadap pemanfaatan sumberdayanya.

(4) Jangka waktu Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) adalah 15 (lima belas) tahun dan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

(5) Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Paragraf Pertama
Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) Provinsi

Pasal 9

Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), terdiri dari:

a. Rencana alokasi ruang untuk rencana kawasan pemanfaatan umum; rencana kawasan konservasi; rencana kawasan tertentu; dan alur;

b. Arahan keterkaitan antar ekosistem pesisir dalam satu bio-ekoregion;

c. Arahan dan penetapan pemanfaatan ruang perairan.

Paragraf Kedua
Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) Kabupaten/Kota

Pasal 10

(1) Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) Kabupaten/Kota, meliputi:

a. Arahan alokasi ruang untuk Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum; Rencana Kawasan Konservasi; Rencana Kawasan Tertentu; Rencana Alur;

b. arahan keterkaitan antar ekosistem pesisir dalam satu bio-ekoregion sebagaimana dimaksud pada Pada Pasal 9 butir b;

c. arahan dan penetapan pemanfaatan ruang perairan.

(2) Penyusunan Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti dan memadukan rencana pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dengan memperhatikan kawasan, zona atau alur yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP)

Pasal 11

(1) Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) memuat kegiatan-kegiatan yang diijinkan dan yang dilarang beserta norma-norma pengaturannya.

(2) Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) dilakukan sesuai dengan skala prioritas pemanfaatan sumberdaya; dan karakteristik wilayah pesisir.

(3) Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) berlaku 5 (lima) tahun dan dievaluasi kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.

Bagian Kelima
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP)

Pasal 12

(1) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) dilakukan dengan mengarahkan penetapan pelaksanaan kegiatan sebagai upaya dalam mewujudkan rencana pengelolaan.

(2) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) berlaku maksimal 3 (tiga) tahun dan dievaluasi kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.

Bagian Keenam
Mekanisme Penyusunan Perencanaan

Pasal 13

(1) Inisiatif penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Wilayah Pesisir (RPJP-WP), Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP), Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat.

(2) Penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Wilayah Pesisir (RPJP-WP), Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) Provinsi, Kabupaten/Kota dilakukan melalui mekanisme konsultasi publik.
(3) Pemerintah Provinsi berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Wilayah Pesisir (RPJP-WP), Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan.

(4) Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Wilayah Pesisir (RPJP-WP), Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP), Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan.

(5) Bupati/Walikota menyampaikan secara resmi dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut kepada Gubernur dan Menteri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketujuh
Data Dan Informasi

Pasal 14

(1) Untuk menunjang pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengelola data dan informasi mengenai wilayah pesisir.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dimanfaatkan oleh setiap orang atau badan hukum, dengan tetap memperhatikan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(3) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan atau kawasan pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dan mengelola wilayah pesisir wajib menyampaikan data dan informasi mengenai wilayah dan sumberdaya pesisir yang dimanfaatkannya kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(4) Pedoman pengelolaan data dan informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB V
PEMANFAATAN

Bagian Pertama
Pemanfaatan Berdasarkan Ekosistem

Pasal 15

(1) Setiap orang yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan atau kawasan pesisir wajib memiliki ijin pemanfaatan sumberdaya pesisir

(2) Pemberian Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dalam jangka waktu tertentu dapat diberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).

Pasal 17

Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan kepada:

a. Warga Negara Indonesia,

b. Masyarakat adat dan masyarakat lokal,

c. Badan hukum yang berkedudukan dan didirikan menurut hukum Indonesia.

Pasal 18

HP3 meliputi pemanfaatan dan pengusahaan atas permukaan perairan, kolom air, dan dasar dibawahnya dalam batas tertentu.

Pasal 19

Ijin Pemanfaatan dan Pengusahaan perairan pesisir dan/atau HP3 diberikan di semua wilayah kecuali pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kepelabuhanan dan kawasan tertentu.

Pasal 20

Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan atau kawasan pesisir yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum rumah tangga tidak diwajibkan untuk memiliki ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

Pasal 21

(1) Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan atau kawasan pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib memperhatikan daya dukung, sifat dan karakteristik wilayah pesisirnya

(2) Pemanfaatan wilayah pesisir wajib memperhatikan akses masyarakat, ruang sempadan pantai dan muara.

(3) Pengaturan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan atau kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

Dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan atau wilayah pesisir, setiap orang atau badan hukum, baik secara langsung atau tidak langsung dilarang untuk:

a. menambang terumbu karang;

b. mengambil terumbu karang di kawasan konservasi laut;

c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan atau bahan lain yang dapat merusak ekosistem terumbu karang;

d. menggunakan peralatan, cara dan metode lain yang merusak ekosistem terumbu karang;

e. menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik pesisir;

f. melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan/zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir;

g. menebang mangrove untuk kegiatan industri, pemukiman dan atau kegiatan lain;

h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;

i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

j. melakukan penambangan minyak pada wilayah yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Pasal 23

(1) Reklamasi kawasan pesisir dapat dilakukan di wilayah pesisir dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah terhadap wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi.

(2) Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib :

a. menjaga kelestarian wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir;

b. menjaga keberlanjutan hidup masyarakat sekitar dan/atau nelayan dan/atau pembudidaya ikan di air tawar dan/atau di air payau dan/atau di laut, dan

c. menjaga keseimbangan kepentingan pemanfaatan dan perbaikan lingkungan pesisir.

(3) Setiap kegiatan pengambilan/pengerukan material untuk reklamasi wajib:

a. menjaga kelestarian fungsi lingkungan;

b. menjaga keberlanjutan hidup masyarakat sekitar, dan

c. menjaga keseimbangan dengan kepentingan pemanfaatan dan perbaikan lingkungan pesisir.

(4) Pelaksanaan kegiatan pengerukan dan atau reklamasi di wilayah pesisir dilaksanakan dengan memperhatikan persyaratan teknis sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan

Bagian Kedua
Pengkayaan Sumberdaya Pesisir

Pasal 24

(1) Wilayah pesisir yang mengalami penurunan sumberdaya pesisir, wajib dilakukan pengkayaan sumberdaya dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat

(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pengkayaan sumberdaya pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan cara :

a. penebaran jenis sumberdaya pesisir yang mengalami penurunan;

b. tersedianya anggaran yang memadai;

c. hal-hal lain yang dianggap perlu untuk pengkayaan sumberdaya pesisir.

(3) Setiap orang atau badan hukum yang memperoleh ijin pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya pesisir wajib melakukan pengkayaan sumberdaya pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan cara :

a. penebaran jenis sumberdaya pesisir yang mengalami penurunan;

b. tersedianya anggaran yang memadai;

c. melakukan hal lain yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan dengan kepentingan pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Pasal 25

(1) Wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan dan/atau eksploitasi lebih, wajib dilakukan rehabilitasi dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat.

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang dan/atau badan hukum yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh manfaat dari wilayah pesisir.

(3) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara:

a. melakukan pengkayaan sumberdaya pesisir

b. tidak memberikan ijin baru atau tidak memperpanjang ijin pemanfaatan wilayah pesisir dan atau sumberdaya pesisir yang habis masa berlakunya sampai dengan pulih kembali sumberdaya pesisir atau wilayah pesisir

c. hal-hal lain yang dianggap perlu untuk rehabilitasi sumberdaya pesisir atau wilayah pesisir

Bagian Ketiga
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 26

(1) Wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir yang terdapat pada pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan.

(2) Pemanfaatan wilayah pesisir sebagaimana diatur pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur pemanfaatan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 25.

(3) Pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki karakteristik khusus akan diatur dalam peraturan perundangan.

Bagian Keempat
Kawasan Konservasi

Pasal 27

(1) Konservasi kawasan pesisir bertujuan:

a. menjaga kelestarian sumberdaya pesisir,

b. melindungi alur migrasi biota laut,

c. melindungi tempat bertelur dan mencari makan biota laut serta

d. melindungi kawasan budaya khusus atau tradisional.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan :

a. wilayah pesisir tertentu sebagai kawasan konservasi perairan nasional;

b. kategori kawasan konservasi perairan;

c. pola dan tata cara pengelolaan kawasan konservasi perairan.

(3) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kota sesuai kewenangannya menetapkan wilayah pesisir tertentu sebagai kawasan konservasi perairan daerah, melalui Peraturan Daerah.

(4) Kawasan Konservasi Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan pemanfaatan secara terbatas, yang dibagi atas 2 (dua) blok, yaitu:

a. blok perlindungan;

b. blok pemanfaatan terbatas.

(5) Pengusulan Kawasan Konservasi Perairan yang didukung oleh data dan informasi sesuai dengan ciri khas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilakukan oleh perorangan, kelompok masyarakat atau Pemerintah/Pemerintah Daerah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan konservasi pesisir diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Mitigasi Kerusakan

Paragraf Pertama
Akibat Kegiatan Manusia

Pasal 28

(1) Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan di wilayah pesisir.

(2) Dalam rangka pengendalian pencemaran atau kerusakan di wilayah pesisir, maka setiap orang atau badan hukum atau Pemerintah/Pemerintah Daerah melakukan upaya pencegahan, penanggulangan dan atau pemulihan, yang meliputi :

a. kegiatan non fisik;

b. kegiatan fisik;

(3) Pengendalian kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan di wilayah pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf Kedua
Akibat Alam dan manusia

Pasal 29
(1) Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan dan prosedur pelaksanaan pengendalian kerusakan akibat alam dan atau akibat kombinasi alam dan perbuatan manusia

(2) Pengendalian kerusakan akibat alam dan atau bencana akibat alam dan perbuatan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara menyeluruh, meliputi upaya pencegahan, penanggulangan, dan atau pemulihan.

(3) Pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau non fisik dengan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu.

(4) Pencegahan dan penanggulangan dilakukan secara terpadu oleh instansi-instansi terkait dan masyarakat melalui badan koordinasi penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.

(5) Bencana yang berskala nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan penanggulangannya menjadi tanggung jawab Pemerintah.

(6) Pemulihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana wilayah pesisir yang menjadi tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat sesuai dengan kewenangannya.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pengendalian dan/atau pemulihan kerusakan akibat bencana alam di wilayah pesisir diatur dengan Keputusan Presiden.

Bagian Kelima
Batas Sempadan Pantai

Pasal 30

(1) Pemerintah daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi perairan, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta sesuai dengan peraturan yang berlaku

(2) Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan di bawah ini:

a. perlindungan pantai dari erosi;

b. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir dan bencana alam lainnya;

c. perlindungan terhadap kawasan ekologis, seperti lahan basah, mangrove, bukit pasir, estuaria;

d. pengaturan akses publik;

e. pengaturan untuk saluran air limbah dan air kotor.

(3) Pengaturan mengenai batas sempadan pantai diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri

BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 31

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan di bidang pengelolaan wilayah pesisir

Pasal 32

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan, pengamatan lapangan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaannya

(2) Masyarakat dapat berperan-serta dalam proses pemantauan, pengamatan lapangan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 33

Ketentuan mengenai Pengawasan dan Pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Program Akreditasi

Pasal 34

(1) Dalam melaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud Dalam pasal 31, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan akreditasi terhadap program Pengelolaan Wilayah Pesisir;

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif berupa bantuan teknis, keuangan, dan kebijakan sesuai dengan kebutuhan mengoptimalkan program akreditasi yang diajukan secara sukarela.

(3) Pemerintah menetapkan kriteria dan standar untuk prioritas nasional yang mencakup relevansi prioritas isu dan proses konsultasi publik yang dilakukan, dampak pada perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, kapasitas implementasi yang cukup, dan dukungan anggaran maupun kebijakan dari pemerintah daerah.

(4) Pemerintah daerah berwenang untuk menyusun, menyetujui dan mengajukan inisiatif pengelolaan pesisir daerah sesuai kebutuhan lokal, dan konsisten dengan standar dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(5) Program akreditasi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Kemitraan Bahari

Pasal 35

(1) Dalam upaya mengakselerasi peningkatan kapasitas stakeholder dan menjawab permasalahan pengelolaan pesisir dapat ditempuh mekanisme kemitraan bahari.

(2) Inisiatif kemitraan bahari difasilitasi oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai universitas, lembaga penelitian dan dunia usaha yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

(3) Kemitraan bahari difokuskan pada kegiatan pendampingan intensif, pendidikan, pengembangan strategi kebijakan, dan penelitian terapan.

(4) Pedoman dan ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan bahari diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
KELEMBAGAAN
Komisi Pesisir

Pasal 36

(1) Dalam rangka melaksanakan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Pesisir atau menggunakan lembaga yang telah ada

(2) Komisi Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, atau regional sesuai kebutuhan

(3) Pengaturan tentang Komisi Pesisir diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

BAB VIII
PARTISIPASI MASYARAKAT

Bagian Pertama
Umum

Pasal 37

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memotivasi dan memfasilitasi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin prinsip keadilan bagi masyarakat pesisir atas nilai atau manfaat dari pengelolaan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh pihak lain.

(3) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir wajib mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat lokal.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyadaran masyarakat, dan pendampingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan sumberdaya pesisir.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman pemberdayaan masyarakat pesisir diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pengakuan Hak Masyarakat

Pasal 38

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat, untuk mengusahakan kawasan pesisir yang telah dimanfaatkannya secara turun temurun.

(2) Hak masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui, dihormati dan dilindungi apabila memenuhi unsur-unsur :

a. memiliki batas-batas yang jelas dari pemanfaatan sumberdaya pesisir yang menjadi sumber kehidupannya;

b. mempunyai hubungan dan keterkaitan hukum adat dengan wilayahnya;

c. memiliki wewenang, norma atau aturan pemanfaatan yang masih berlaku untuk mengatur pemanfaatan secara bersama-sama;

d. mempunyai asal usul, ginealogis dan/atau teritorial yang jelas dan diakui oleh masyarakat adat itu sendiri.

(3) Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan berdasarkan prakarsa kelompok masyarakat itu sendiri dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Bagian Ketiga
Kewajiban Masyarakat

Pasal 39

Masyarakat adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib :

a. Mengembangkan budaya dan teknologi yang ramah lingkungan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir

b. mematuhi program Pengelolaan Wilayah Pesisir yang telah disepakati bersama.

c. memperhatikan keberlanjutan ekosistem pesisir yang dimanfaatkan.

d. melaksanakan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir

e. melaporkan pengelolaan sesuai dengan mekanisme pelaporan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

BAB IX
PENYELESAIAN KONFLIK

Bagian Pertama
Pencegahan Konflik

Pasal 40

(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengupayakan tindakan-tindakan secara sukarela guna mencegah terjadinya konflik diantara para pihak.

(2). Dalam rangka mengupayakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendahulukan upaya kerjasama dan cara-cara damai lainnya.

Bagian Kedua
Penyelesaian Konflik

Paragraf 1
Umum

Pasal 41

Penyelesaian konflik dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.

Pasal 42

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian konflik di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang sedang konflik.

Paragraf 2
Di Luar Pengadilan

Pasal 43

(1) Penyelesaian konflik di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.

(2) Setiap pihak yang berkonflik harus sepakat dengan tata cara penyelesaian konflik di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Penyelesaian konflik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(4) Penyelesaian konflik di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan wilayah pesisir.

(5) Dalam penyelesaian konflik di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu penyelesaian konflik.

Paragraf 3
Melalui Pengadilan

Pasal 44

(1) Penyelesaian konflik pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam konflik.

(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.

Paragraf 4
Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 45

(1) Pengelolaan wilayah pesisir yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Wilayah Pesisir yang memnggunakan bahan berbahya beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan Pengelolaan wilayah pesisir.

(2) Untuk menghitung jenis dan besar ganti rugi dilakukan penelitian yang komprehensif dengan metode perhitungan ilmiah baku seperti Analisis Biaya Manfaat, metode penilaian kontinjen.

(3) Pengelolaan wilayah pesisir dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan Wilayah Pesisir disebabkan salah suatu alasan di bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan;

b. adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia;

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan Wilayah Pesisir

(4) Bila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Bagian Ketiga

Pasal 46

(1) Konflik yang timbul karena keputusan instansi pemerintah tentang perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih instansi pemerintah harus diselesaikan melalui keputusan administrasi pemerintah.

(2) Instansi pemerintah yang berkonflik dapat meminta Komisi pesisir sebagai penengah, bilamana konflik yang timbul tidak dapat diselesaikan melalui keputusan administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Jika konflik yang terjadi antar pihak dalam tingkat yang berbeda dan/atau antar pemerintah dan masyarakat, pihak-pihak yang berkonflik dapat mengajukan keberatan kepada Pejabat yang lebih tinggi.

(4) Apabila pihak-pihak yang berkonflik menolak keputusan pejabat yang lebih tinggi dan/atau pejabat yang lebih tinggi belum memberikan keputusan paling lama 30 (tiga puluh) hari maka pihak-pihak yang berkonflik dapat meminta Komisi pesisir sebagai penengah dalam proses penyelesaian konflik.

(5) Tata cara dan syarat-syarat untuk mengajukan keberatan dan peran komisi pesisir sebagai penengah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Gugatan Perwakilan

Pasal 47

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan.

Pasal 48

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan atau perusakan pesisir sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang pesisir dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 49

(1). Dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab Pengelolaan wilayah sesuai dengan pola kemitraan, organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan Pengelolaan wilayah pesisir yang lestari dan berkelanjutan.

(2). Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi.

(3). Organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan;

b. dalam anggaran dasar organisasi masyarakat yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirkannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi Wilayah Pesisir

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 50

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah Pengelolaan Wilayah Pesisir oleh orang, masyarakat dan/atau organisasi masyarakat mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.

BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 51

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan wilayah pesisir, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:

a. menerima laporan pengaduan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir

c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;

d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan pengelolaan wilayah pesisir;

e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan pengelolaan wilayah pesisir;

f. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;

h. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

i. membuat dan menandatangani berita acara;

j. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut penyalaggunaan Pengelolaan wilayah pesisir.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Bagian Pertama
Ganti Rugi dan Sanksi Administratif

Pasal 52

(1). Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan untuk membayar ganti rugi dan/atau tindakan tertentu yang diperlukan.

(2). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerusakan wilayah pesisir, maka ganti rugi diberikan kepada Negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi kawasan pesisir.

(3). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerugian kepada orang atau badan hukum, maka ganti rugi diberikan kepada orang atau badan hukum yang dirugikan.

(4). Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan membayar ganti rugi.

Pasal 53

Setiap pemegang Ijin Pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dikenakan sanksi administratif.

Pasal 54

(1). Pemerintah dapat menghentikan dan atau menarik kembali insentif yang telah diberikan kepada pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat yang telah memperoleh akreditasi apabila program pengelolaan wilayah pesisir tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.

(2). Pemerintah mewajibkan pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk memperbaiki ketidaksesuaian antara program pengelolaan dengan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3). Apabila pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian tersebut, pemerintah dapat melakukan tindakan:

a. Menarik sementara bantuan lewat inisiatif akreditasi;

b. pencabutan sementara akreditasi program; dan

c. pencabutan tetap akreditasi program

Bagian Kedua
Sanksi Pidana

Pasal 55

Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam pidana penjara paling lama..........tahun dan/atau denda paling banyak Rp...........

Pasal 56

Setiap orang dengan sengaja memanfaatkan sumberdaya pesisir dan/atau kawasan pesisir dan mengelola wilayah pesisir yang tidak menyampaikan data dan informasi mengenai wilayah dan sumberdaya pesisir sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) diancam pidana penjara paling lama......tahun dan/atau denda paling banyak Rp..............

Pasal 57

Setiap orang dengan sengaja tidak memiliki ijin pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) diancam pidana penjara paling lama..............tahun dan/atau denda paling banyak Rp....................

Pasal 58

Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) diancam pidana penjara paling lama .............tahun dan/atau denda paling banyak Rp.................

Pasal 59

Setiap orang dengan sengaja membawa ke perairan bahan peledak atau racun yang merusak terumbu karang, diancam dengan pidana penjara paling lama ........................ dan/atau denda paling banyak Rp. .................................

Pasal 60

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam pasal 22 huruf a, b, e, f, g, dan h, diancam dengan pidana penjara paling lama................tahun dan/atau denda paling banyak Rp............

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam pasal 22 huruf i, j, k, dan l diancam dengan pidana penjara paling lama.............. tahun dan/atau denda paling banyak Rp............

Pasal 61

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) diancam pidana penjara paling lama.............tahun dan/atau denda paling banyak Rp...................

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (3) huruf a, b, dan c diancam pidana penjara paling lama........... tahun dan/atau denda paling banyak Rp...................

Pasal 62

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 24 diancam pidana penjara paling lama.............tahun dan/atau denda paling banyak Rp................

Pasal 63

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan di wilayah pesisir sebagimana dimkasud Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama................dan/atau denda paling banyak.............

Pasal 64

Tindak pidana sebagimana dimaksud Pasal 13, 22 dan 26, apabila dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Pasal 65

(1) Tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal......., Pasal....., Pasal........., dan Pasal......adalah kejahatan.

(2) Tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal......, Pasal......., Pasal....., dan Pasal......adalah pelanggaran.

Bagian Ketiga
Sanksi Adat

Pasal 66

Setiap pelanggaran tertentu yang bersifat melanggar hukum adat setempat di wilayah pesisir dikenakan sanksi adat setempat.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 67

Program Pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang ditetapkan sebelum lahirnya undang-undang ini, serta lembaga/instansi yang ditunjuk sebelum dibentuknya Komisi pesisir sesuai dengan Undang-undang ini dapat dianggap tetap berlaku dan melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini.

Pasal 68

Setiap instansi yang terkait dengan Pengelolaan wilayah pesisir menjalankan undang-undang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Pasal 69

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan wilayah pesisir yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undangan ini tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 70

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal ...

SEKRETARIS NEGARA/SEKRETARIS
KABINET REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ....... NOMOR........
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA INDONESIA NOMOR TAHUN

========================================================

PENJELASAN

Pasal 1

Pasal 2

Prinsip keterpaduan dikembangkan dengan mengintegrasikan antara kebijakan dan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dengan pemerintah daerah, keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dengan menggunakan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Prinsip keberlanjutan diterapkan agar pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nirhayati pesisir, dimana pemanfaatan sumberdaya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya pesisir, dan pemanfaatan sumberdaya yang belum diketahui dampaknya, harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

Prinsip Peran Serta Masyarakat menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui apa dan bagaimana kebijaksanaan pemerintah, mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir. Selain itu prinsip ini menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut dan agar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan secara adil.

Prinsip Keterbukaan merupakan azaz membuka diri kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan wilayah pesisir, mulai dari tahap perencanan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

Prinsip Berkeadilan merupakan azaz yang berpegang kepada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir.

Prinsip Kepastian Hukum diperlukan untuk, menjamin hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat melalui mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir.

Prinsip Konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir yang telah diakreditasi.

Prinsip kemitraan merupakan kesepakatan kerjasama antar pihak yang berkepentingan berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir.

Pasal 4

Pasal 5

Untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir terpadu dibutuhkan data dan informasi yang akurat, sehingga keterpaduan perencanaan dapat disusun lebih baik.

Bentuk kegiatan mengintegrasikan meliputi :

a. kerjasama,

b. simplifikasi

c. sinkronisasi

d. koordinasi

e. Integrasi

Pasal 6

Ayat (1)

a. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Wilayah Pesisir (RPJP-WP) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berfungsi dalam menetapkan strategi untuk mencapai visi, tujuan, dan sasaran program Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun, sejalan dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

b. Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berfungsi dalam pengalokasian ruang pesisir dari rencana tata ruang pesisir Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta rencana zona rinci bagi lokasi-lokasi tertentu, dan berlaku selama 15 (lima belas) tahun, dikaitkan dengan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

c. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c berfungsi mengarahkan pengelolaan sumberdaya pesisir secara seimbang antara aspek pemanfaatan dan perlindungan, pada suatu kawasan yang diprioritaskan, sesuai dengan peruntukkannya, berlaku 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.

d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d berfungsi dalam menuntun penetapan kegiatan beserta alokasi sumberdayanya, sesuai dengan rencana pengelolaan dan berlaku maksimal 3 (tiga) tahun.

Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) yang dimaksud merupakan bagian dari Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Provinsi/Kabupaten/Kota.
Penyusunan rencana zona pengelolaan wilayah pesisir (RZ-PWP) bersifat wajib, sebaliknya rencana zona rinci pengelolaan wilayah pesisir bersifat sukarela yang dilakukan apabila pemerintah provinsi /kabupaten/kota mengikuti program akreditasi.

Yang dimaksud kawasan pesisir yang tertentu adalah kawasan pesisir yang dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan pembangunan.

Penyusunan rencana Jangka Menengah Wilayah Pesisir (RPJM-PWP) dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir (RA-PWP) bersifat sukarela yang dilakukan apabila pemerintah provinsi /kabupaten/kota mengikuti program akreditasi.

Pasal 7

Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun berdasarkan isu pengelolaan wilayah pesisir yang aktual, identifikasi visi dan misi serta strategi untuk menyelesaikan isu tersebut, guna mencapai tujuan yang dicanangkan.

Yang dimaksud kepentingan nasional dan daerah adalah kepentingan dalam bidang pengelolaan wilayah pesisir.
Jangka waktu Rencana pengelolaan jangka panjang wilayah pesisir (RPJP-WP) sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang sistem perencanaan pembangunan nasional dan penataan ruang.

Pasal 8

Rencana Zona Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZ-PWP) merupakan rencana yang berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis diruang lain dan pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

Strategi pemanfaatan berisi arahan pemanfaatan dan penetapan pemanfaatan ruang perairan.

Pasal 9

Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai peruntukkan umum dari berbagai sektor kegiatan.

Kawasan konservasi pesisir adalah kawasan yang secara ekologis mempunyai unsur-unsur dan karakteristik tertentu untuk dilindungi dan ditetapkan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi konservasi dan pemanfaatan terbatas.

Bioecoregion merupakan bentang alam yang berada dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang dibatasi oleh batas-batas alam, misalnya daerah aliran sungai, teluk dan arus.

Dalam penetapan pemanfaatan zona harus memperhatikan daya dukung lingkungan pesisir.

Pasal 10

Pasal 11

Pasal 12

Pasal 13

Masyarakat pesisir, dunia usaha, atau pihak lainnya dapat melakukan inisiatif penyusunan rencana zona rinci pengelolaan wilayah pesisir, sepanjang sesuai dengan peruntukkannya dan disetujui oleh pemerintah Kabupaten/Kota.

Dalam hal inisiatif dilakukan oleh masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud, Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dapat memfasilitasi inisiatif masyarakat tersebut.

Mekanisme konsultasi publik adalah suatu proses pengambilan kebijakan, peraturan dan perijinan dengan meminta masukan kepada masyarakat luas (akademisi, tokoh masyarakat, jaring adat, praktisi, LSM, pakar dan lain-lain), meliputi tahap inisiatif/perencanaan, tahap rancangan akademisi, tahap rancangan peraturan atau rancangan keputusan terhadap suatu ijin yang akan dikeluarkan.

Masukan, tanggapan, saran dan perbaikan dilakukan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya, dan Pemerintah Provinsi yang berbatasan, dalam kurun waktu selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah konsep rencana tersebut dikonsultasikan.

Masukan, tanggapan dan saran perbaikan dari berbagai pemangku kepentingan utama dilakukan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif, dalam kurun waktu selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah konsep rencana tersebut dikonsultasikan.

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, wajib melakukan perbaikan serta mempublikasikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir berdasarkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap.

Pasal 14

Data dan informasi yang dimaksud, akurat, dapat dipertanggungjawabkan, terkini dan sesuai kebutuhan mengenai wilayah pesisir.

Pasal 15

Pasal 16

Pasal 17

Pasal 18

Batas tertentu adalah batas pemanfaatan dan pengusahaan yang diberikan berdasarkan titik koordinat tertentu.
Pasal 19

Pasal 20

Kebutuhan fisik minimum rumah tangga adalah menggunakan hasil pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk mendukung kehidupan sehari-hari, meliputi: makan, membeli sandang- pangan dan menyekolahkan anak.
Pasal 21

Pasal 22

Menambang terumbu karang baik hidup maupun mati dengan menggunakan alat tertentu, seperti cangkul, linggis, martil dan lainnya untuk bahan bangunan dan kapur.

Karena penggunaan bahan peledak dan bahan beracun dapat merusak ekosistem terumbu karang dan menutup kemungkinan untuk pulih kembali, membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan dapat mengakibatkan kepunahan

Contoh menangkap ikan dengan bubu yang diikatkan ke karang; penggunaan trawl dan muroami

Cara dan metode yang merusak, misalnya penebangan mangrove secara besar-besaran, untuk kebutuhan ekonomi, seperti kayu bakar dan bahan bangunan

Konversi ekosistem mangrove yang berkelanjutan maksimal 60 (enam puluh) persen dalam satu kawasan ekologis pesisir, dan mempertahankan jalur hijau yang sesuai dengan karakteristik pantainya.

Cara dan metode yang merusak padang lamun, misalnya kegiatan penimbunan/pengurungan tanah, seperti yang terjadi di daerah Sarangan, Bali

Pembangunan fisik yang merugikan misalnya pembangunan tempat wisata atau kegiatan reklamasi yang tidak memperhatikan karakteristik ekosistem pesisirnya, sehingga menimbulkan kerusakan diwilayah tersebut, atau sekitarnya.

Pasal 23
Reklamasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam rangka meningkatkan manfaat sumberdaya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Contoh :Pulau Nipah, Prov. Kepulauan Riau

Pengurugan adalah kegiatan penimbunan tanah dan/atau batuan di atas permukaan tanah dan/atau batuan.

Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya investasi dan biaya pengelolaan lingkungan yang harus dilakukan.

Material yang dimaksud adalah bahan baku, seperti batu, pasir, tanah dan kandungan lain yang terdapat dalam tanah

Yang dimaksud masyarakat sekitar adalah masyarakat dimana tempat material diambil

Persyaratan teknis yang dimaksud seperti studi kelayakan, Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Penyajian Informasi Lingkungan (PIL), Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL), Audit Lingkungan

Pasal 24

Yang dimaksud dengan penurunan sumberdaya pesisir mencakup antara lain pengurangan (deplesi) sumberdaya pesisir, miskin jenis dan/atau jumlah sumberdaya pesisir yang memiliki nilai ekologi, estetika, keunikan, kealamiahan dan kelangkaan yang terdapat pada wilayah pesisir

Yang dimaksud dengan pengkayaan sumberdaya (restocking) adalah upaya memasukan/menambahkan sumberdaya ikan, sesuai dengan kondisi alamnya, sehingga populasinya dapat pulih kembali.

Apabila sumberdaya pesisir yang mengalami penurunan adalah sumberdaya hayati, misalkan ikan jenis tertentu, maka harus ditebar kembali kewilayah pesisir yang mengalami penurunan

Pasal 25

Pasal 26

Yang dimaksud karakteristik khusus antara lain memiliki kerentanan yang tinggi, apabila pemanfaatan ekositem pulau kecil tidak sesuai dengan daya dukungnya

Pasal 27

Konservasi pesisir dilakukan pada kawasan yang mempunyai ciri khas tertentu yang mencakup ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil serta laut sebagai satu kesatuan ekosistem alami.

a. termasuk perlindungan sumberdaya ikan

b. migrasi ikan paus di Selat Lembeh dan Lembata,

c. tempat pemijahan ikan tuna di Teluk Tomini, Selat Bali,

d. wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, manee, awig-awig,

Yang dimaksud blok perlindungan adalah bagian dari zona konservasi perairan yang dilindungi, pemanfaatan hanya terbatas untuk penelitian, seperti penelitian terhadap tutupan karang.

Yang dimaksud blok pemanfaatan terbatas adalah bagian dari zona konservasi perairan yang pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya perairan, ekowisata dan perikanan tradisional.

Pasal 28

Pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan.

Penaggulangan adalah upaya untuk menanggulangi terjadinya kerusakan agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi dan dapat dilakukan dengan mitigasi.

Pemulihan adalah upaya untuk memulihkan kondisi yang telah rusak yang meliputi kegiatan restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi.

a. Kegiatan non fisik seperti AMDAL, pengembangan sistem peringatan dini, peraturan perundangan, penyadaran masyarakat, dan pelatihan untuk mengeliminir dampak akibat tindakan manusia yang menimbulkan kerusakan.

b. Kegiatan fisik meliputi pembuatan prasarana fisik pencegah terjadinya kerusakan akibat tindakan manusia.

Pasal 29

Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah tindakan mitigasi, kesiap siagaan dan kegiatan tanggap darurat.

Tindakan mitigasi adalah upaya untuk mengantisipasi terjadinya bencana agar dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi.

Tindakan kesiapsiagaan adalah tindakan siap siaga untuk menghadapi bencana.

Tindakan tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi upaya darurat untuk mengatasi kondisi sesudah bencana terjadi.

Tindakan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:

a. rehabilitasi dan rekonstruksi;

b. pemindahan penduduk.

Rehabilitasi adalah upaya yang diambil setelah kerusakan untuk membantu masyarakat mrmperbaiki ekosistem, rumah, fasiltas umum, fasilitas sosial agar kembali mampu melaksanakan fungsinya.

Rekonstruksi adalah program jangka menengah dan jangka panjang meliputi perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.

Pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) lebih diutamakan pada kegiatan non fisik.

Pasal 30

Pasal 31

Pasal 32

Pasal 33

Pasal 34

Pasal 35

Pasal 36

Pasal 37

Pasal 38

Pasal 39

Kewajiban untuk melaporkan dilakukan oleh masyarakat adat yang mendapatkan bantuan program pengelolaan wilayah pesisir dari pemerintah.

Pasal 40

Ayat (1)

Pencegahan konflik atau konflik dapat meliputi :

a. antisipasi munculnya konflik;

b. mencegah perluasan konflik;

c. mencegah terjadinya pengulangan konflik kekerasan;

d. pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap konflik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)

Yang dimaksud tindakan tertentu seperti :

1. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;

2. memulihkan fungsi lingkungan wilayah pesisir;

3. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir.

Ayat (2)

Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir.

Pasal 45

Ayat (1)

Pengertian bertanggung jawab secara mutlak/strict liability ialah bentuk tanggung jawab yang berbeda dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata yakni unsur kesalahan tidak diperlukan dalam proses pembuktian.

Ayat (2)

Metode perhitungan ilmiah baku ialah tata cara menghitung jenis dan jumlah kerugian berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik perhitungan dar ilmu-ilmu terkait seperti menurunnya produktivitas perikanan dengan menggunakan regenerasi biota dalam mata rantai makanan (Food Chain) kehidupan ikan .

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup Jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup Jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67

Sebelum Komisi pesisir yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini terbentuk semua lembaga atau Badan yang mempunyai tanggung jawab dibidang pengelolaan sumberdaya pesisir tetap berlaku sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas