Wednesday, January 25, 2006

Kepmenhut No. 255/2004 ttg Taman Nasional Tesso Nilo

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : SK. 255/Menhut-II/2004

TENTANG

PERUBAHAN FUNGSI SEBAGIAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS DI KELOMPOK HUTAN TESSO NILO YANG TERLETAK DI KABUPATEN PELALAWAN DAN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU SELUAS ? 38.576 (TIGA PULUH DELAPAN RIBU LIMA RATUS TUJUH PULUH ENAM) HEKTAR MENJADI TAMAN NASIONAL TESSO NILO


MENTERI KEHUTANAN,


Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 telah ditunjuk areal hutan di Provinsi Riau seluas ? 9.456.160 (sembilan juta empat ratus lima puluh enam ribu seratus enam puluh) hektar sebagai kawasan hutan diantaranya terdapat kelompok Hutan Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu yang berada pada kawasan Hutan Produksi Terbatas;
b. bahwa Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas ? 38.576 (tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektar merupakan areal HPH PT. Inhutani IV (eks HPH PT. Dwi Marta) yang telah dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan melalui keputusan No. 10258/Kpts-II/2002 tanggal 13 Desember 2002 jo No. 282/Kpts-II/2003 tanggal 25 Agustus 2003 sebagai persiapan penunjukan kawasan konservasi Tesso Nilo;
c. bahwa Kawasan Hutan Produksi Terbatas Tesso Nilo tersebut pada butir b merupakan perwakilan ekosistem transisi dataran tinggi dan rendah yang memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi antara lain 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarnya, berbagai jenis flora yang dilindungi dan terancam punah seperti Kayu Bata (Irvingia malayana), Kempas (Koompasia malaccensis), Jelutung (Dyera polyphylla), Tembesu (Fagraea fragrans), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Ramin (Gonystylus bancanus), 82 jenis tanaman obat, berbagai jenis serangga, 107 jenis burung seperti Beo Sumatra (Gracula religiosa), Kipas (Rhipidura albicollis), Lophura erythropthalma, Lophura ignita, Aceros corrugatus dan Setornis criniger, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia, habitat/home range satwa liar Gajah Sumatera (Elephants maximus sumatrensis) serta memiliki panorama alam dengan berbagai potensi wisata alam;
d. bahwa dalam rangka perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, maka berdasarkan Berita Acara Hasil Pengkajian dan Pembahasan Tim Terpadu tanggal 1 Mei 2004, kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas ? 38.576 (tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektar memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional;
e. bahwa berhubung dengan itu, untuk menjamin perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan potensi kawasan hutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam maka dipandang perlu untuk mengubah fungsi sebagian Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas ? 38.576 (tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektar yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Provinsi Riau sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional, dengan Keputusan Menteri Kehutanan.


Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990;
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992;
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999;
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997;
6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001;
13. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990;
14. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001;
15. Keputusan Presiden Nomor 228/M32 Tahun 2001;
16. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996;
17. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/Kpts-II/1990 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 635/Kpts-II/1996;
18. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001;
19. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.48/Kpts-II/2004;
20. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001;
21. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10258/Kpts-II/2002 jo Nomor 282/Kpts-II/2003;


Memperhatikan :
1. Surat Gubernur Provinsi Riau No. 522.2/EK/1006 tanggal 30 April 2001 dan No. 522.51/EK/1678 tanggal 31 Juli 2002.
2. Surat Bupati Pelalawan No. 050/Bappeda/F/IV/2001/362 tanggal 7 April 2001.
3. Surat Ketua DPRD Provinsi Riau No. 446/2001-4/UM/246 tanggal 16 April 2001.
4. Surat Ketua DPRD Kabupaten Pelalawan No. 66/DPRD/IV/2001 tanggal 16 April 2001.
5. Risalah Kesepakatan Upaya Konservasi Tesso Nilo tanggal 27 Mei 2002.
6. Berita Acara Hasil Pengkajian dan Pembahasan Tim Terpadu tanggal 1 Mei 2004.


M E M U T U S K A N :


Menetapkan:
Keputusan Menteri Kehutanan tentang perubahan fungsi sebagian Kawasan Hutan Produksi Terbatas di Kelompok Hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Provinsi Riau seluas ? 38.576 (tiga puluh delapan ribu lima ratus tujuh puluh enam) hektar menjadi Taman Nasional Tesso Nilo.

PERTAMA:
Batas sementara Taman Nasional Tesso Nilo adalah sebagaimana terlukis pada peta lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan kemudian setelah diadakan penataan batas di lapangan.

KEDUA:
Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk melakukan pengelolaan atas Taman Nasional Tesso Nilo.

KETIGA:
Memerintahkan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini.

KEEMPAT:
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 19 Juli 2004

MENTERI KEHUTANAN,
ttd.
MUHAMMAD PRAKOSA


Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
2. Menteri Dalam Negeri.
3. Menteri Negara Lingkungan Hidup.
4. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
5. Menteri Pertanian.
6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
7. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan.
8. Gubernur Provinsi Riau.
9. Bupati Pelalawan.
10. Bupati Indragiri Hulu.
11. Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau.
12. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau.
13. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau.
14. Kepala Balai Pemantapan Kawasan HUtan Wilayah I Medan.

Tuesday, January 24, 2006

RUU Ttg Penanganan Bencana

Kawan-kawan Miliser,

Di bawah ini saya kirimkan draf :
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN 2005 TENTANG PENANGANAN BENCANA

Dalam versi asli di websitenya, draf ini penuh dg tanda-tanda koreksian. Berhubung saya copy en paste pada format TEXT, maka banyak sekali tanda-tanda koreksian yang hilang. Selain itu, mungkin Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI) mempunyai naskah yang lebih up-to-date. Bila ingin tahu perkembangan terkini ttg pembahasan dan penggodokan naskah tersebut silahkan kontak Mbak Hening di MPBI dg alamat imel : hening_parlan@yahoo.com

salam,
djuni lethek

===================================

http://download.peduli-bencana.or.id/Draft-RUU-PB.doc

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN 2005
TENTANG
PENANGANAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, demografis, dan geologis yang memungkinkan terjadinya bencana;
b. bahwa bencana yang timbul dapat dikarenakan oleeh alam maupun ulah dan/atau perbuatan manusia, yang berakibat pada kerugian harta benda, dan dapat menghambat pembangunan nasional, sehingga perlu diupayakan penanganan secara terencana, terpadu dan terkoordinasi serta menyeluruh;
c. bahwa upaya penanganan bencana tersebut, harus memperhatikan kewajiban dan hak setiap warga negara, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atas kehidupan dan penghidupan serta kesejahteraan warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa untuk menjamin agar kegiatan Penanganan bencana dapat berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran maka diperlukan adanya landasan hukum yang kuat;
e. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan penanganan bencana terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dan terpecah-pecah;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanganan Bencana.

Mengingat:
Pasal 12, Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, Pasal 22 A, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 A, Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.
2. Pengungsi adalah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat tinggal mereka sebelumnya, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari, dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat kegiatan manusia.
3. Korban Bencana adalah manusia yang mengalami kerugian akibat bencana, baik secara fisik, mental maupun sosial.
4. Penanganan Bencana (disaster management) adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanganan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana, yang mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan
5. Pencegahan (prevention) adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana dan jika mungkin dengan meniadakan bahaya.
6. Mitigasi (mitigation) adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan.
7. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
8. Tanggap Darurat (emergency response) adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
9. Pemulihan (recovery) adalah proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
10. Rehabilitasi (rehabilitation) adalah upaya yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial serta, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.
11. Rekonstruksi (reconstruction) adalah program jangka menengah dan yang jangka panjang meliputi perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.
12. Ancaman (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan.
13. Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi, atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
14. Kemampuan (capacity) adalah penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
15. Risiko (risk) adalah kemungkinan timbulnya kerugian pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang timbul karena suatu bahaya menjadi bencana. Risiko dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat.
16. Peringatan Dini (early warning) adalah upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa kemungkinan bencana akan segera terjadi, yang menjangkau masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), dan resmi (official).
17. Bantuan Darurat (relief) merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar pada kedaruratan.
18. Pemerintah adalah pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Penyelenggaraan penanganan bencana berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Asasi Manusia, yang meliputi:
a. nondiskriminasi;
b. hak untuk hidup dan kelangsungan hidup;
c. hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; dan
d. hak untuk bebas dari rasa takut dari ancaman.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggaraan penanganan bencana berasaskan:
a. negara sebagai penanggung jawab utama;
b. jaminan keamanan dan pemenuhan hak-hak warga negara;
c. penanganan bencana secara menyeluruh dan terpadu;
d. pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pemerintahan dan pembangunan;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. pencegahan dini /kehati-hatian; dan
g. manfaat.

Pasal 3

(1) Penanganan bencana bertujuan untuk mengurangi risiko dan menekan dampak bencana terhadap masyarakat.
(2) Undang-Undang Penanganan Bencana bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, berkualitas, dan sejahtera;
b. menjamin terselenggaranya penanganan bencana secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi, serta menyeluruh.

BAB III
PENYELENGGARAAN PENANGANAN BENCANA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

(1) Penanganan bencana meliputi semua kegiatan dalam pengurangan risiko dan penekanan dampak bencana baik sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya peristiwa bencana.
(2) Penanganan bencana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan:
a. ancaman bencana;
b. sumber-sumber lokal yang tersedia;
c. keterlibatan parapihak.

Pasal 5

(1) Pemerintah menetapkan status darurat bencana segera setelah terjadi bencana.
(2) Kriteria penetapan status darurat bencana seperti yang dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan kawasan yang terkena dampak, kerugian yang ditimbulkan, dan kompelksitas penanggulangan
(3) Status darurat bencana seperti yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lambat 1 x 24 jam setelah terjadinya bencana.
(4) Status darurat bencana ditetapkan pada tataran / aras pemerintahan (daerah, propinsi atau nasional).
(5) Status darurat bencana ditetapkan untuk jangka paling lama tiga bulan dan dapat diperpanjang sebanyak ... kali, masing-masing selama tiga bulan dengan tetap mempertimbangkan kriteria yang diatur pada ayat (3) di atas.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status darurat bencana, serta kriteria penetapan status darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Tahapan Penanganan Bencana

Pasal 6

Tahapan penanganan bencana sebagaimana Pasal 4 meliputi aspek perencanaan dan penanganan bencana, pada:
a. sebelum terjadinya bencana mencakup upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan;
b. saat terjadinya bencana mencakup upaya tanggap darurat;
c. sesudah terjadinya bencana mencakup upaya pemulihan

Paragraf 1
Sebelum Terjadinya Bencana

Pasal 7

(1) Untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis acaman bencana diperlukan adanya suatu upaya pencegahan melalui pengendalian dan perubahan dan/atau penyesuaian secara fisik, sosial dan lingkungan.
(2) pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau material ke wilayah yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang.

Pasal 8

(1) Mitigasi merupakan suatu tahapan yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan dengan menggunakan cara-cara alternatif yang lebih dapat diterima secara ekologi.
(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antaralain dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya edukasi baik di jalur formal dan/atau informal, pemberian sanksi dan hadiah untuk mendorong perilaku yang lebih tepat, dan upaya-upaya penyuluhan dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang mengambil keputusan yang berkesadaran.

Pasal 9

(1) Kesiapsiagaan merupakan suatu tahapan untuk memperkirakan kebutuhan yang akan timbul jika terjadi kedaruratan bencana.
(2) Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antaralain dilakukan melalui kegiatan penyusunan dan ujicoba rencana penanganan kedaruratan, mengorganisasi, memasang dan menguji sistem peringatan dini, penggudangan dan penyiapan barang-barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, pelatihan dan gladi, penyiapan mekanisme alarm dan prosedur-prosedur tetap.

Paragraf 2
Saat Terjadinya Bencana

Pasal 10

(1) Tanggap Darurat adalah tindakan-tindakan yang dilakukan seketika sebelum, pada saat dan seketika sesudah terjadinya suatu kejadian bencana.
(2) Tindakan-tindakan tanggap darurat seperti yang dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah:
a. pengkajian cepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumberdaya;
b. pencarian, penyelamatan dan evakuasi korban;
c. pemenuhan kebutuhan dasar;
d. pemulihan dengan segera sarana-sarana kunci.

Pasal 11

(1) Dalam hal ditetapkan status darurat bencana, Pemerintah dapat mengerahkan asset pertahanan, perlindungan masyarakat dan badan usaha milik negara. (penjelasan)
(2) Pengerahan aset pertahanan, perlindungan masyarakat dan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

(1) Dalam hal penanggulangan keadaan darurat dapat melakukan pemanfaatan sumberdaya termasuk bantuan darurat, sukarelawan dan bantuan internasional.
(2) Ketentuan dan tatacara pemanfaatan sumberdaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 3
Sesudah Terjadinya Bencana

Pasal 13

(1) Pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana dapat dilakukan dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
(2) Rehabilitasi dan rekonstruksi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sesudah berakhirnya status darurat bencana, menyiapkan kembali kemampuan-kemampuan sosial ekonomi, serta memperkuat resistensi masyarakat terhadap ancaman bencana.
(3) Tindakan-tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi seperti yang dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah:
a. Pembangunan kembali sarana dan prasarana dasar (jalan, listrik, air bersih, puskesmas, dll);
b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat (masjid, gereja, pura, balai adat, dll);
c. Membantu masyarakat memperbaiki rumah;
d. Pemulihan kegiatan bisnis dan ekonomi.

Pasal 14

Tindakan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Perencanaan Pembangunan Nasional;
b. Pengurangan resiko bencana di masa yang akan datang;
c. Melibatkan masyarakat setempat dalam perencanaan.

Pasal 15

(1) Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Pemerintah mengupayakan peningkatan pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi penghidupan yang layak.
(2) Masyarakat dapat mengakses kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara semestinya, tanpa membahayakan sumberdaya yang menjadi dasar penghidupan.

Bagian Ketiga
Penanganan Korban dan Pengungsi

Pasal 16

(1) Penanganan korban adalah kegiatan yang meliputi upaya pelayanan dan perlindungan kemanusiaan terhadap korban yang timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah, yang meliputi kegiatan pencegahan, tanggap darurat, penampungan, pemindahan dan pengembalian/relokasi pengungsi, serta upaya penanganan lainnya.
(2) Penanganan korban dan pengungsi harus berdasarkan standar kebutuhan minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup, meliputi:
a. bantuan keuangan;
b. sumbangan makanan;
c. pakaian dan obat-obatan;
d. tempat tinggal sementara;
e. konseling.
(3) Penanganan korban dan pengungsi harus memprioritaskan hal-hal sebagai berikut:
a. masyarakat miskin dan rentan;
b. korban dalam kondisi kritis;
c. perempuan, perempuan hamil, ibu menyusui, penderita cacat, anak-anak dan orang lanjut usia
d. evakuasi pasien rumah sakit.

Pasal 17

(1) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mempunyai akses yang cukup dan semestinya terhadap bahan pangan dan non pangan dengan cara yang menjamin keberlangsungan hidup dan menjaga martabat mereka.
(2) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mempunyai akses yang aman dan berkeadilan terhadap jumlah air yang memadai untuk minum, memasak, kebersihan pribadi dan rumah tangga.

Pasal 18

(1) Ketersediaan bahan pangan dan non pangan sebagaimana Pasal 13 ayat (1) harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, dan jangka panjang.
(2) Distribusi bahan pangan dan non pangan dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan korban dan pengungsi dan sumber-sumber pangan yang tersedia.
(3) Produk makanan yang diberikan sesuai kebutuhan dan diterima oleh penerima serta dapat digunakan secara efisien pada tingkat rumah tangga.
(4) Produk makanan yang dibagikan mempunyai kualitas yang memadai dan baik untuk di konsumsi manusia.
(5) Sumber daya bantuan pangan dikelola dengan sistem yang transparan dan responsif, setara, dan sesuai dengan kondisi setempat.

Pasal 19

(1) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan.
(2) Pelayanan kesehatan dirancang agar mendukung sistem kesehatan, struktur dan pemberi pelayanan yang telah ada dan didasarkan atas prinsip-prinsip perawatan kesehatan primer yang relevan.
(4) Korban dan pengungsi mempunyai akses terhadap informasi dan perawatan yang efektif terhadap penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian dan kesakitan berlebihan.

Pasal 20

(1) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mendapatkan perawatan kesehatan dan dukungan gizi terutama untuk kelompok masyarakat yang mungkin menghadapi resiko;
(2) Kelompok beresiko dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Bayi dibawah umur enam bulan yang memerlukan ASI eksklusif;
b. Anak-anak berumur 6 (enam) bulan - 5 (lima) tahun;
c. Ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
d. Penyandang cacat;
e. Orang lanjut usia.

Pasal 21

(1) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mendapatkan tempat tinggal sementara yang memenuhi standar keamanan, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.
(2) jaminan mendapatkan tempat tinggal sementara harus menjunjung tinggi prinsip partisipasi dan kepentingan korban.
(3) Tempat tinggal sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat menjamin akses terhadap kebutuhan dan sarana dasar, sanitasi, privasi yang layak dan pembatasan antara tempat penampungan yang satu dan lainnya.

Pasal 22

(1) Pemerintah menjamin korban dan pengungsi mempunyai akses dan menjamin keberlangsungan pendidikan mereka;
(2) Jaminan keberlangsungan pendidikan yang dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prioritas korban dan pengungsi, murah dan berkualitas.

Bagian Keempat
Pengelolaan Bantuan

Pasal 23

Bantuan dan/atau pelayanan kemanusiaan disediakan secara berkeadilan, mandiri, terbuka dan tanpa pilih kasih, berdasarkan pada kerentanan dan kebutuhan dari orang-perorangan atau kelompok-kelompok yang terkena bencana.

Pasal 24
(1) Bantuan dapat berupa bahan pangan dan non pangan serta pekerja kemanusiaan atau relawan.
(2) Pengelolaan bantuan bencana meliputi upaya pengumpulan, penyimpanan, dan penyaluran bantuan bencana, yang berasal dari dalam maupun luar negeri, yang berbentuk uang dan/atau barang
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 25

(1) Upaya penanganan bencana dilakukan dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat dan perlindungan masyarakat secara aktif;
(2) Tata cara dan syarat-syarat peran serta masyarakat dan perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sesuai dengan prinsip terbuka pada seluruh proses penanganan bencana mulai dari identifikasi, inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi.
(3) Pelaksanaan penanganan bencana didasarkan pada persetujuan masyarakat terutama kelompok yang rentan terhadap ancaman bencana yang dilakukan secara bebas dan didahului dengan pemberian informasi yang benar mengenai penanganan bencana.

Pasal 26

(1) Pekerja kemanusiaan atau relawan harus memiliki kualifikasi yang tepat, sikap dan pengalaman untuk merencanakan dan secara efektif melaksanan program yang tepat;
(2) Pekerja kemanusiaan menerima supervisi dan dukungan untuk memastikan pelaksanaan program bantuan kemanusiaan secara efektif;
(3) Pemerintah memberikan jaminan perlindungan, keselamatan dan keamanan pekerja kemanusiaan sesuai dengan prinsip anti diskriminasi, HAM dan kesetaraan gender.

BAB IV
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 27

Penanggulangan bencana dalam berbagai tingkatan status menjadi tanggung jawab Negara dan Pemerintah.

Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab

Pasal 28

Pemerintah bertugas untuk mengatur, membina, memfasilitasi dan mengawasi upaya penanganan bencana

Pasal 29
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat

Wewenang dan tanggungjawab Pemerintah pusat meliputi:
a. Menetapkan status darurat bencana;
b. membuat perencanaan dan peraturan penanganan bencana;
c. memberikan insentif dan disentif;
d. melaksanakan penegakan hukum;
e. koordinasi antar sektor dan daerah;
f. Melakukan konsultasi persetujuan yang melibatkan publik;
g. melakukan kerjasama dalam penanganan bencana;
h. menyediakan alokasi pendanaan khusus penanganan bencana;
i. melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapan, penanggulangan dan pemulihan;
j. mengakomodir kiat-kiat dan strategi-strategi penanganan bencana berbagai kalangan; dan
k. melindungi dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan terhentinya penanganan bencana.

Pasal 30

Wewengan sebagaimana dimaksud Pasal 29 meliputi:
a. menetapkan kebijakan nasional manajemen risiko bencana;
b. menetapkan pola menajemen risiko bencana pada wilayah lintas propinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional;
c. menetapkan rencana Penanganan Bencana pada wilayah lintas provinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional;
d. menetapkan dan mengelolah kawasan rawan bencana pada wilayah lintas propinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional;
e. melaksanakan manjemen risiko bencana pada wilayah lintas provinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan Penanganan Bencana pada wilayah lintas privinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyedian, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan wilayah rawan bencana lintas provinsi dan lintas negara;
h. membentuk Dewan Penanganan Bencana Nasional, Dewan Penanganan Bencana Wilayah LintasProvinsi, kota/kab, Desa;
i. mempasilitasi penyelesaian sengketa antar Provinsi, Kab/kota dan desa dalam penanganan bencana;
j. menetapkan norma, standar, kreterial, dan pedoman manajemen resiko bencana;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, akuntaaabilitas, tranfaransi dan ketertiban pelaksanaan Penanganan Bencana pada wilayah lintas provinsi, wilayah lintas negara, dan wilayah strategis nasional; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam Penanganan Bencana kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 31

Tanggungjawab sebagaimana dimaksud Pasal 29 meliputi:
(1) melakukan upaya pengenalan dan pemantauan risiko bencana
(2) melakukan Pengurangan risiko bencana:
a. Pencegahan;
b. Tindakan struktural;
c. Tindakan non-struktural (peraturan dan pengaturan, penataan wilayah, analisis risiko bencana sebagai salah satu prasyarat kegiatan pembangunan);
d. Pembuatan dan penguatkuasaan peraturan pengurangan risiko bencana
e. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat (penyuluhan dan kurikulum pendidikan)
(3) melakukan Kesiapan penanganan kedaruratan:
a. Kesiapan umum;
b. Perencanaan kontinjensi;
c. Pelatihan dan gladi;
(4) melakukan Peringatan dini:
a. Pengaturan kelembagaan;
b. Alur peringatan dini;
(5) melakukan Penanganan Kedaruratan Bencana:
a. Pengaturan kewenangan;
b. Aktivasi Pusat Pengendalian Operasi Tanggap Kedaruratan;
c. Jalur pengendalian operasi tanggap darurat;
d. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah pada darurat bencana;
(6) melakukan Pemulihan dari dampak bencana
(7) melakukan Pembangunan kembali akibat dampak bencana

Pasal 32
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Propinsi

Wewenang dan tanggungjawab pemeritah propinsi meliputi:
a. menetapkan kebijakan Penanganan Bencana diwilayahnya berdasarkan kebijakan nasional Penanganan Bencana dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan provinsi sekitarnya;
b. menetapkan pola Penanganan Bencana pada weilayah litas kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana Penanganan Bencana pada wilayah lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelolah kawasan rawan bencana pada wilayah lintas kabupaten/kota;
e. melaksanakan Penanganan Bencana pada wilayah lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusaan Penanganan Bencana pada wilayah lintas kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pegambilan, peruntukan, peggunaan dan pengusahaan wilayah rawan bencana lintas kabupaten/kota;
h. membentuk Dewan Penanganan Bencana atau dengan nama lain ditingkat provinsi dan/atau pada wilayah lintas kabupaten/kota;
i. mempasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam Penanganan Bencana;
j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dalam keadaan darurat;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, akuntabilitas, tranfaransi, dan ketertiban pelaksanaan Penanganan Bencana pada wilayah lintas kabupaten/kota; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam Penanganan Bencana kepada pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 33
Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten/Kota

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi:
a. Menetapkan kebijakan Penanganan Bencana diwilayahnya berdasarkan kebijakan nasional Penanganan Bencana dan kebijakan Penanganan Bencana provinsi dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola menejemen resiko bencana pada wilayah dalam satu kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana Penanganan Bencana pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelolah kawasan rawan bencana pada wilayah dalam satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan Penanganan Bencana pada wilayah dalam satu kabupaten /kota dengan memperhatikan kepentingan dan kekhususan kabupaten/kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan Penanganan Bencana pada wilayah rawan bencana dalam satu kabupaten/kota;
g. membentuk Dewan Penanganan Bencana atau dengan nama lain ditingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah dalam satu kabupaten /kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari atas hidup bermartabat bagi masyarakat diwilyahnya; dan
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, akuntabilitas, transfarasi dan ketertiban pelaksanaan penanganan bencana pada wilayah dalam satu kabupaten/kota.

Pasal 34
Wewenang dan Tanggungjawab Pemerintah Desa

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain meliputi:
a. Penanganan Bencana diwilayah desa yang belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau pemerintahan diatasnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan umum;
b. menjaga efektifitas, efisiensi, kualitas, akuntabilitas, tranfarasi dan ketertiban pelaksanaan manajemen resiko bencana yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas hidup bermartabat sesuai dengan ketersedian sumber yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan Penanganan Bencana diwilayahnya.

Pasal 35

Sebagian wewenang pemerintah dalam penanganan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

(1) Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagaian wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, pasal 33 dan Pasal 34, pemerintah daerah dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah diatasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagaian wewenang penanganan bencana oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, pasal 33 dan Pasal 34, wajib diambil oleh pemerintah diatasnya dalam hal:
a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang Penanganan bencana sehingga dapat membahayakan kepentingan umum; dan/atau
b. adanya sengketa antar provinsi atau antar kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat

Pasal 37

(1) Setiap warga negara berhak mendapat perlindungan atas hak hidup dan penghidupannya dalam sebuah negara yang berdaulat dan berkeadilan sosial.
(2) Setiap warga negara berhak atas kehidupan yang bermartabat dengan standar kehidupan yang layak dan bebas dari perlakuan atau penerapan hukuman yang kejam, tidak berprikemanusiaan, atau merendahkan martabat manusia apapun kondisinya.
(3) Tidak kehilangan sumber-sumber kehidupan, baik sosial maupun ekonomi serta hak atas aset dan akses terhadap sumber kehidupan.
(4) Setiap orang, kelompok masyarakat, atau badan hukum berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, utamanya kelompok masyarakat rentan bencana.
(5) Setiap warga negara yang dikarenakan bencana kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi berhak atas bantuan kemanusiaan.
(6) Setiap orang atau kelompok masyarakat berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan penanganan bencana terutama yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.
(7) Setiap orang atau kelompok masyarakat berhak mempunyai akses dan mendapatkan informasi yang tentang penanganan bencana.
(8) Setiap orang atau kelompok masyarakat berhak melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanganan bencana.

Pasal 38

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
(2) Setiap orang, kelompok masyarakat, atau badan hukum berkewajiban untuk terlibat dalam penanganan bencana;
(3) Setiap orang, kelompok masyarakat, atau badan hukum yang mempunyai hubungan hukum dengan ancaman dan bencana wajib memberikan informasi dan bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan penannganan bencana;
(4) Lembaga pemerintah di tingkat nasional dan daerah yang bertanggung jawab membuat kebijakan dan melaksanakan penanganan bencana wajib menyampaikan secara terbuka informasi tentang seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanganan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat,dan pemulihan;
(5) Setiap orang atau badan hukum yang berencana melakukan penanganan bencana di suatu daerah wajib memberikan informasi yang benar dan berkonsultasi dengan kelompok masyarakat setempat.

Pasal 39

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap penanganan bencana.
(2) Masyarakat yang terkena bencana secara aktif berpartisipasi dalam pengkajian, perancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program bantuan.
(3) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam penanganan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bab V
KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 40

Pemerintah membentuk sebuah lembaga penanganan bencana yang kemudian disebut dengan Dewan Penanganan Bencana (DPB).

Pasal 41

(1) Penanganan bencana diselenggarakan oleh DPB bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(2) DPB bertanggungjawab atas penyelenggaraan penanganan bencana.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, DPB menyampaikan laporan dalam penyelenggaraan penanganan bencana kepada Presiden dan DPR.

Pasal 42

(1) Jumlah anggota:
a. DPB sebanyak-banyaknya 10 orang;
b. DPB Provinsi sebanyak 5 orang;
c. DPB Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang;
d. DPB Desa sebanyak 3 orang.
(2) Keanggotaan DPB terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota, dan para anggota.
(3) Unsur keanggotaan DPB berasal dari unsur sektoral departemen dan dinas, ormas termasuk LSM dan lembaga internasional sepanjang diperlukan.
(4) Ketua dan wakil ketua DPB dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Setiap anggota DPB mempunyai hak suara yang sama.

Pasal 43

(1) Struktur organisasi penyelenggara Penanganan Bencana terdiri atas DPB, DPB Provinsi, dan DPB Kabupaten/Kota, DPB Desa.
(2) DPB Provinsi dan DPB Kabupaten/Kota adalah pelaksana Penanganan Bencana di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari DPB.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, DPB, DPB Provinsi, dan DPB Kabupaten/Kota, DPB Desa mempunyai sekretariat.
(4) Pola organisasi dan tata kerja DPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul DPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam pelaksanaan Penanganan Bencana, apabila diperlukan maka DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota, dan DPB Desa dapat membentuk Kelompok Kerja (Pokja).
(6) Ketentuan Tugas dan tanggung jawab Pokja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan DPB sesuai tingkatan.

Pasal 44

Syarat untuk dapat menjadi anggota DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/ Kota dan DPB Desa yaitu:
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
c. mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;
d. mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap penanganan bencana, tegaknya demokrasi dan keadilan;
e. memiliki pengetahuan yang memadai tentang pelaksanaan penanganan bencana, serta memiliki kemampuan kepemimpinan;
f. berhak memilih dan dipilih;
g. berdomisili dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP;
h. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit;
i. tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
j. bersedia bekerja sepenuh waktu.

Pasal 45

(1) Calon anggota DPB diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan sebagai anggota DPB.
(2) Calon anggota DPB Provinsi diusulkan oleh Gubernur untuk mendapat persetujuan DPB untuk ditetapkan sebagai anggota DPB Provinsi.
(3) Calon anggota DPB Kabupaten/Kota diusulkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan DPB Provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota DPB Kabupaten/Kota.
(4) Calon anggota DPB Desa diusulkan oleh Kepala Desa/Lurah untuk mendapat persetujuan DPB Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai anggota DPB Desa.
(5) Calon anggota DPB yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota yang diperlukan.
(6) Penetapan keanggotaan DPB dilakukan oleh:
a. Presiden untuk DPB;
b. DPB untuk DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota dan DPB Desa.
(7) Masa keanggotaan DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota DPB Desa adalah 5 (lima) tahun sejak pengucapan sumpah/janji.

Pasal 46

(1) Anggota DPB, DPB Provinsi, dan DPB Kabupaten/Kota, DPB Desa berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melanggar sumpah/janji;
d. melanggar kode etik; atau
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
(2) Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. anggota DPB dilakukan oleh Presiden atas persetujuan dan/atau usul DPR;
b. anggota DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota dan DPB Desa dilakukan oleh DPB;
(4) Penggantian antarwaktu anggota DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota, dan DPB Desa yang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 44.

Pasal 47

Untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas, DPB menyusun kode etik yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh DPB.

Pasal 48

(1) Untuk memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPB, dibentuk Dewan Kehormatan DPB yang bersifat ad hoc.
(2) Keanggotaan Dewan Kehormatan DPB sebanyak 3 (tiga) orang terdiri atas seorang ketua dan anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh anggota DPB.
(3) Dewan Kehormatan DPB merekomendasikan tindak lanjut hasil pemeriksaannya kepada DPB.
(4) Mekanisme kerja Dewan Kehormatan DPB ditetapkan oleh DPB.

Pasal 49

Keuangan DPB bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 50

(1) Sebelum menjalankan tugas, anggota DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/Kota, dan DPB Desa mengucapkan sumpah/janji.
(2) Sumpah/janji anggota DPB, DPB Provinsi, DPB Kabupaten/ Kota, DPB Desa adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai anggota DPB/DPB Provinsi/DPB Kabupaten/Kota/Desa dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
Bahwa saya akan melaksanakan tugas Penanganan Bencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan kewajiban tidak akan tunduk pada tekanan dan pengaruh apa pun dari pihak mana pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan kewenangan, akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan cermat demi tercapainya pelaksanaan penanganan bencanan, tegaknya demokrasi dan keadilan, serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan".

Bagian Kedua
Dewan Penanganan Bencana

Pasal 51

Tugas, Wewenang, dan Tanggungjawab DPB
(1) DPB bertugas untuk pelaksanaan fungsi-fungsi yang tidak menjadi kewenangan sektor dan mengoperasikan Pusat Penanganan Bencana.
(2) DPB berwenang melakukan kegiatan koordinasi lintas sektoral dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan Dewan Penanganan Bencana, antara lain:
a. Pengoperasian kebijakan
1. Menyusun Pedoman Umum Penanggulangan Bencana
2. Menyusun Program Penanganan Bencana
3. Menyusun mengelola dan mempertanggungjawabkan Anggaran Penanganan Bencana
4. Menyusun Rencana kesiapan Penanggulangan Kedaruratan
5. Menyusun Prosedur-prosedur Tetap Kedaruratan
b. Pusat informasi dan komunikasi
1. Pusat data penanganan bencana
2. Pusat koordinasi peringatan dini
3. Pertemuan rutin dan insidental
4. Publikasi dan hubungan mansyarakat
c. Pusat Pengendalian Operasi Tanggap Kedaruratan pada saat diperlukan
(3) kegiatan koordinasi lintas sektoral sesuai ayat (2) diatas termasuk dalam kegiatan koordinasi antar negara.
(4) DPB bertanggung jawab untuk membuat kebijakan penanganan bencana termasuk mengesahkan pola penanganan bencana

Pasal 52

Kewajiban DPB meliputi:
a. memperlakukan masyarakat dalam Penanganan Bencana secara adil dan setara;
b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan Penanganan Bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. memelihara arsip dan dokumen Penanganan Bencana serta mengelola barang inventaris DPB berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e. melaporkan penyelenggaraan Penanganan Bencana kepada Presiden setiap enam bulan sekali dalam kondisi normal, dan setiap bulan apabila dalam kondisi darurat bencana.
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.

Pasal 53

(1) Sekretariat Jenderal DPB dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan Peraturan Presiden.
(3) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal dipilih oleh DPB dari masing-masing 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh pemerintah dan selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(4) Pegawai sekretariat jenderal adalah pegawai negeri sipil.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja ditetapkan dengan surat keputusan DPB

Bagian Ketiga
DPB Provinsi

Pasal 54

Tugas dan wewenang DPB Provinsi adalah:
a. menjalankan pedoman umum tentang pengoperasian kebijakan, pusat informasi dan komunikasi serta pusat pengendalian operasi tanggap darurat;
b. merencanakan pelaksanaan Penanganan Bencana di provinsi;
c. melaksanakan Penanganan Bencana di provinsi;
d. mengkoordinasikan kegiatan antar DPB provinsi serta Kabupaten/Kota; dan
e. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh DPB.

Pasal 55

Kewajiban DPB Provinsi meliputi:
a. memperlakukan masyarakat dalam Penanganan Bencana secara adil dan setara;
b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
c. menjawab pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari masyarakat;
d. menyampaikan laporan secara periodik dan mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan pelaksanaan Penanganan Bencana kepada DPB;
e. menyampaikan laporan secara periodik kepada gubernur (waktu);
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD; dan
g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.

Pasal 56

(1) Sekretariat DPB Provinsi dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris DPB Provinsi adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPB.
(3) Sekretaris DPB Provinsi dipilih oleh DPB Provinsi dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh gubernur dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPB.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja ditetapkan dengan surat keputusan DPB Propinsi

Bagian Keempat
DPB Kabupaten/Kota

Pasal 57

Tugas dan wewenang DPB Kabupaten/Kota:
a. menjalankan pedoman umum tentang pengoperasian kebijakan, pusat informasi dan komunikasi serta pusat pengendalian operasi tanggap darurat;
b. pelaksanaan Penanganan Bencana di kabupaten/kota;
c. melaksanakan Penanganan Bencana di kabupaten/kota;
d. mengkoordinasikan kegiatan antar DPB Kabupaten/Kota serta mengkoordinasi kegiatan pelaksanaan Penanganan Bencana DPB Desa; dan
e. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh DPB dan DPB Provinsi.

Pasal 58

DPB Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. memperlakukan peserta Penanganan Bencana secara adil dan setara;
b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
c. menjawab pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari peserta Penanganan Bencana dan masyarakat;
d. menyampaikan laporan secara periodik dan mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan pelaksanaan Penanganan Bencana kepada DPB Provinsi;
e. menyampaikan laporan secara periodik kepada bupati/walikota (waktu);
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD; dan
g. melaksanakan seluruh kewajiban lainnya yang diatur undang-undang.

Pasal 59

(1) Sekretariat DPB Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris DPB Kabupaten/Kota adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPB.
(3) Sekretaris DPB Kabupaten/Kota dipilih oleh DPB Kabupaten/ Kota dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh bupati/walikota dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan DPB Propinsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja ditetapkan dengan surat keputusan DPB Kabupaten/Kota

Bagian Kelima
DPB Desa

Pasal 60
Tugas dan wewenang DPB Desa
a. menjalankan pedoman umum tentang pengoperasian kebijakan, pusat informasi dan komunikasi serta pusat pengendalian operasi tanggap darurat;
b. merencanakan pelaksanaan Penanganan Bencana di tingkat Desa;
c. melaksanakan Penanganan Bencana di Tingkat Desa;
d. mengkoordinasikan kegiatan antar DPB Desa; dan
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh DPB dan DPB Provinsi, Kabupaten/Kota.

Pasal 61

Kewajiban DPB Desa meliputi:
a. memperlakukan peserta Penanganan Bencana secara adil dan setara;
b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
c. menjawab pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari Masyarakat berkaitan dengan Penanganan Bencana
d. menyampaikan laporan secara periodik dan mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan pelaksanaan Penanganan Bencana kepada DPB Kabupaten/Kota;
e. menyampaikan laporan secara periodik kepada bupati/walikota (waktu ?);
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD; dan
g. melaksanakan seluruh kewajiban lainnya yang diatur undang-undang.

Pasal 62

(1) Sekretariat DPB Desa dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris DPB Desa adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPB Kabupaten/Kota.
(3) Sekretaris DPB Desa dipilih oleh DPB Kabupaten/ Kota dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan DPB Kabupaten/Kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja ditetapkan dengan surat keputusan DPB Desa

BAB VI
PENDANAAN

Pasal 63

(1) Pemerintah mengalokasikan dana dari APBN dan APBD sebanyak 5% dari total anggaran untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa.
(2) Ketentuan lebih lanjut menganai dana darurat diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 64

Dana untuk kepentingan penanganan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, sedangkan untuk penanganan bencana yang disebabkan kegiatan keantariksaan menjadi tanggung jawab negara peluncur.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 65

(1) Pemerintah secara berjenjang melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan penanganan bencana baik yang dilakukan oleh DPR, DPRD, pemerintah maupun oleh masyarakat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk kegiatan pemantauan, evaluasi, supervisi dan pelaporan

Pasal 66

(1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan upaya pengumpulan sumbangan, Pemerintah dan masyarakat dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan sumbangan dimaksud.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan masyarakat dapat meminta untuk dilakukan auditing.
(3) Apabila berdasarkan hasil auditing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditemukan adanya penyimpangan penggunaan terhadap hasil sumbangan, penyelenggara pengumpulan sumbangan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 67

(1) Penyelesaian sengketa penanganan bencana pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsif musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan tata cara adat/lokal, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

Sengketa mengenai kewenangan manajemen risiko bencana antara Pemerintah dan pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69
Gugatan Perwakilan

Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah manajemen risiko bencana berhak mengajukan gugutan perwakilan ke pengadilan.

Pasal 70

Organisasi yang menangani kegiatan penanganan bencana dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat apabila terdapat indikasi risiko bencana yang akan dan telah dihadapi oleh masyarakat.

Pasal 71

(1) Organisasi yang bergerak dan menangani penanganan Manajemen risiko bencana berhak mengajukan gugutan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang menyebabkan kerusakan manajemen risiko bencana dan/atau prasarananya, untuk kepentingan keberkelanjutan fungsi Manajemen risiko bencana.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugutan untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi manajemen risiko bencana dan/atau gugutan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memeuhi persyaratan:
a. berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak dalam bidang manajemen risiko bencana;
b. mencantumkan tujuan pendidikan organisasi dalam anggaran dasarnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi manajemen risiko bencana; dan
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 72

(1) tindak pidana dalam penanganan bencana dapat dilakukan oleh pemerintah, DPB, badan usaha serta orang perorangan atas tindakan yang termasuk dalam katagori :
a. kelalaian ;
b. keterlambatan;
c. penyalahgunaan;
d. penyimpangan.
(2) jika terbukti terjadinya suatu tindak pidana sesuai dengan ayat (1) diatas ketentuan pidana dapat berupa sanksi administrasi, denda dan ganti rugi serta kurungan.

Pasal 73

(1) Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh pemerintah dan DPB, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut dalam pasal yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.

Pasal 74

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan timbulnya bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal......; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ........
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda palinga banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pengunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksad dalam Pasal .........; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana Manajemen risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ........
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan sebagian atau seluruhnya hak guna wilayah rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ....
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Manjemen risiko bencana tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal ....; atau
c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana Manajemen risiko bencana yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal ........;
d. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstuksi pada daerah rawan bencana tampa memperoleh izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal .........

Pasal 75

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp. 300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan Manaejmen risiko bencana dan prasarananya, mengganggu upaya peredaman dan pencegahan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal .....; atau
b. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya bencana sebagimana dimaksud dalam Pasal ........
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah):
a. Setiap orang yang karena kelaliannya melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan wilayah rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal .......; atau;
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan prasarana Manajemen risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam ..........
(3) Dipidana dengan pidana paling lama lama 6 (enam bulan dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.00(seratus juta rupiah):
a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pengusahaan manjemen risiko bencana tanpa ijin dari pihak yang berwenang segaimana dimaksud dalam Pasal .......;
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana Manajemen risiko bencana yang tidak didasarkan pada norma, standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal .......;
c. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan konstuksi pada wilayah rawan bencana tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal .........

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 76

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan bencana dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 77

Program dan kegiatan berkaitan dengan penanganan bencana yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 78

Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lambat 1 (satu) tahun, Dewan Penanganan Bencana sudah terbentuk.

Pasal 79

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal.........
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal....

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROF.DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN............... NOMOR..........

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..... TAHUN .......
TENTANG
PENANGANAN BENCANA

I.UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
.............
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4389

PENJELASAN

c. Umum

(Peraturan-peraturan dari draft MPBI, mengacu pada naskah akademik MPBI)

1. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LN Tahun 2004 Nomor ......, Tambahan LN Nomor...........);
2. Undang-Undang Nomor 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya (LN Tahun 1959 Nomor 139, Tambahan LN Nomor 1908) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 52/PRP/1960 (LN Tahun 1960 Nomor 170, Tambahan LN Nomor...........);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (LN Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan LN Tahun 1974 Nomor 3039);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (LN Tahun 1992 Nomor 100 Tambahan LN Nomor 3495);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1997 Nomor 68 Tambahan LN 3699);
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara (LN Tahun 2002 Nomor Tambahan LN Nomor 4169);
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (LN Tahun 2004 Nomor 104 Tambahan LN 4421);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (LN tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaga Negara Nomor 4437);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (LN Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaga Negara Nomor 4438)
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (LN Tahun 2004 Nomor 150 Tambahan LN 4456)
11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Penanggulangan Penyakit Menular (LN Tahun 1984 Nomor ..... Tambahan LN .....)
12. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 ttg Kepolisian (LN Tahun 2002 Nomor 22, Tambahan LN Nomor ...);
13. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atauu Barang (LN Tahun .... Nomor ..., Tambahan LN Nomor ...);
14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya (LN Tahun .... Nomor ..., Tambahan LN Nomor ...);
15. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Perencanaan Tata Ruang (LN Tahun .... Nomor ..., Tambahan LN Nomor ...); Catatan: cari Revisi UU Tataruang thn 2004

Ditinjau dari penyebab kejadiannya, bencana di Indonesia meliputi antara lain:
1. Gempa Bumi dan Tsunami
2. Letusan Gunungapi
3. Angin Topan dan Badai
4. Banjir
5. Longsor
6. Kekeringan
7. Kebakaran Hutan dan Lahan
8. Hama Penyakit Tanaman
9. Epidemi, Wabah, Kejadian Luar Biasa
10. Kecelakaan Transportasi
11. Kegagalan Teknologi
12. Pencemaran Lingkungan
13. Kerusuhan Sosial
14. Serangan teroris

d. Pasal Demi Pasal
??