Sekali Lagi: Hanya Ada Satu Bumi
Memperingati Hari Lingkungan Hidup setiap tanggal 5 Juni seharusnya tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dan biasa-biasa saja.
Hari Lingkungan Hidup kini sudah harus digunakan seefektif mungkin untuk mengingatkan masyarakat, bangsa, dan warga dunia akan nasib Sang Bumi yang tampak semakin berada di ujung tanduk. Tidak melebih-lebihkan kalau beberapa waktu lalu di harian ini dimuat sebuah reportase tentang kemungkinan umur Bumi tinggal satu abad.
Tentu yang dimaksud dengan "umur" di atas adalah batas keterhunian karena dalam ilmu astronomi ada lagi teori yang mengaitkan hal ini dengan teori evolusi bintang, yang menyebutkan umur Bumi yang dikaitkan dengan umur Matahari masih sekitar 4,5 miliar tahun lagi. Namun, dengan pemanasan global dan terus menurunnya kualitas lingkungan, sejumlah ilmuwan malah telah mulai menyebut kurun seabad ke depan sebagai one final century (abad kita yang terakhir).
Ketika akan berlangsung Konferensi Lingkungan Hidup PBB tahun 1972 di Stockholm, terbit sebuah buku yang penting, ditulis oleh Barbara Ward dan Rene Dubos, berjudul Only One Earth. Bagaimana kita memaknai fakta bahwa "Hanya Ada Satu Bumi"? Semestinyalah kita dengan penuh penghormatan memelihara lingkungannya, hutannya, sungainya, juga menghormati makhluk yang berbagi ruang hidup di Bumi yang satu ini.
Janganlah lupa, paham lingkungan hidup atau ekologi diturunkan dari kata Yunani "oikos", yang berarti "rumah" atau "tempat tinggal". Rumah akan menjadi nyaman atau tidak sepenuhnya terpulang kepada para penghuni. Semakin banyak penghuni akan semakin panaslah rumah, apalagi kalau para penghuni gemar menyulut api.
Melihat perkembangan aktivitas di Bumi, kegemaran "menyulut api" tentu simbolisasi aktivitas manusia baik dalam industri maupun kehidupan perorangan. Dari sejak industrialisasi mendapatkan momentum melalui epoh, seperti Revolusi Industri di pertengahan abad ke-19, manusia telah menyemburkan miliaran ton gas dan debu ke atmosfer, yang tak sepenuhnya bisa dibawa turun lagi ke permukaan Bumi.
Kerusakan lingkungan juga terjadi tidak saja di atmosfer, tetapi juga di laut dan di darat. Dalam konteks ini, sejumlah negara—yang sebenarnya besar andilnya dalam terjadinya pemanasan global—justru ditengarai tidak mau proaktif dalam upaya mengerem gejala dengan konsekuensi katastrofik ini. Jelas negara-negara ini tidak mau menerima realitas, mereka juga hidup dalam "Satu Bumi". Mungkin mereka mengira, mereka bisa selamat sendiri. Sungguh satu ilusi yang amat tragis.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/05/opini/3574149.htm