Thursday, December 29, 2005

Perkembangan Milis Lingkungan tgl 29 Desember 2005 (1272

Perkembangan Milis Lingkungan tgl 29 Desember 2005

Jumlah anggota Milis Lingkungan pada jam 12.30 tgl 29 Desember 2005 ini mencapai 1272 (data tgl jam 09.50 tgl 14 November 2005 ini mencapai 1241). Selama satu bulan terakhir anggota Milis Lingkungan bertambah sebanyak 31 anggota. Dari waktu ke waktu anggota Milis Lingkungan terus bertambah banyak.

Selain itu anggota Milis Berita Lingkungan pada jam 12.30 tgl 29 Desember 2005 ini mencapai 681 anggota.

Menurut Adefadli, aktivis lingkungan dan sosial dari Kaltim serta seorang blogger yang sangat aktif meluncurkan artikel-artikel dan renungannya seputaran topik lingkungan mengomentari ttg Milis Lingkungan dan Milis sebagai "sebuah mailing-list lingkungan hidup terbesar di Indonesia" (baca: 234 Blog Lingkungan Indonesia <http://celoteh.timpakul.or.id/2005/12/234-blog-lingkungan-indonesia/>)

Selamat datang para anggota baru di Milis Lingkungan dan Milis Berita Lingkungan. Selamat bergabung, selamat berdiskusi dan berbagi informasi mengenai isu2 lingkungan.

Salam,
Djuni Pristiyanto
Jaringan Berita Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental News Network)
Moderator Milis: Lingkungan, Berita Lingkungan, Tapal, WGCoP
Blog: Jalan Setapak <
http://djuni.blogspot.com/>
Berita Lingkungan Indonesia <http://beritalingkungan.blogspot.com/>

===============================

Jaringan Berita Lingkungan Indonesia
(Indonesian Environmental News Network)


Tujuan Jaringan Berita Lingkungan Indonesia

1. Memantau pemuatan berita-berita lingkungan di media massa online, website lembaga pemerintah, website NGO/LSM dan website perusahaan (privat company).
2. Memantau blog yang berisikan renungan, pendapat, artikel yang bertemakan lingkungan.
3. Menyebarluaskan berita-berita lingkungan kepada publik yang lebih luas dengan menggunakan media internet.
4. Meningkatkan kesadaran publik (masyarakat) terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
5. Mewujudkan upaya-upaya pengurusan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, berkeadilan dan demokratis di Indonesia.


Program Jaringan Berita Lingkungan Indonesia

1. Moderasi milis-milis bertemakan lingkungan
2. Newsletter Berita Lingkungan Indonesia
3. eKliping (elektronik kliping) Berita Lingkungan Indonesia
4. Website Berita Lingkungan Indonesia
5. Riset terfokus di internet

Wednesday, December 28, 2005

Raperda Prop. Bengkulu ttg Pengelolaan Pesisir, Laut dan

DRAFT
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROPINSI BENGKULU
NOMOR: TAHUN …

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA
TERPADU DI PROPINSI BENGKULU

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

GUBERNUR BENGKULU


Menimbang:

a. bahwa Propinsi Bengkulu memiliki potensi sumber daya pesisir,
oleh karena itu harus dikelola berdasarkan asas legalitas,
keadilan, demokratis, terpadu, daya guna dan hasil guna, serta
dengan mempertimbangkan kearifan lokal untuk sebesarbesarnya
bagi kesejahteraan masyarakat dan daerah;

b. bahwa tujuan pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu
yaitu agar dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulaupulau
kecil dapat berkelanjutan dan menjamin kelestarian
keanekaragaman hayati serta fungsi-fungsi lingkungan hidup;

c. bahwa sasaran pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b yaitu terselenggaranya prinsip
koordinasi dan mekanisme kerja serta keterpaduan dalam
perencanaan dan pelaksanaan serta pengendalian pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir;

d. bahwa agar dalam pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi
Bengkulu sesuai dengan asas, tujuan dan sasaran sebagaimana
tersebut pada huruf a, b, dan c, maka perlu ditetapkan dengan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut,
dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu di Propinsi Bengkulu.


Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor.
2043).

2. Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1967 Tentang Pembentukan
Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1967 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685).

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2294).

4. Undang-undang Nomor: 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi
Konvensi Hukum Laut Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Nomor 3319).

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
Sumberdaya Alam dan Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3299).

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).

7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3493).

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 3501).

9. Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3556).

10. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 3647).

11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor
3699).

12. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 3888).

13. Undang-undang Nomor: 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
136).

14. Undang-undang No. 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32).

15. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389).

16. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4433).

17. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 4437).

18. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan
Pemerintahan di Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Tahun
1968 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2854).

19. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Pelestarian Alam ((Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 8132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3776).

20. Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 155, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3816).

21. Peraturan Pemerintah Nomor: 85 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas PP No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

22. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1999 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3838).

23. Peraturan Pemerintah Nomor: 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan
di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3907)..

24. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952).

25. Peraturan Pemerintah Nomor: 141 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas PP No. 15 Tahun 1990 Tentang Usaha
Perikanan.

26. Peraturan Pemerintah Nomor: 82 tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161).

27. Peraturan Pemerintah Nomor: 15 Tahun 2002 Tentang Karantina
Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
36).

28. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Keadaan
Geografis Titik-titik Garis Pangkal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4211).

29. Keputusan Presiden Nomor: 32 Tahun 1990 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.

30. Keputusan Presiden Nomor: 33 Tahun 2002 Tentang
Pengendalian dan pengawasan Pengusahaan Pasir Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 61)

31. Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor: 5 Tahun 2005
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bengkulu.


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BENGKULU
dan
GUBERNUR BENGKULU


MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA TERPADU
DI PROPINSI BENGKULU


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:

1. Daerah adalah Daerah Propinsi Bengkulu.

2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

4. Kepala Daerah adalah Gubernur Bengkulu.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

6. Pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu adalah proses pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan pulau kecil serta jasa lingkungan yang
mengintegrasikan kegiatan para pemangku kepentingan, perencanaan horizontal
dan vertikal, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen,
sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut bekelanjutan dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

7. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan
sumberdaya pesisir melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi
penopang masyarakat setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada
masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut.

8. Abrasi adalah proses erosi pada material yang masif.

9. Akresi adalah proses penumpukan pasir di daerah pantai akibat dari gerakan arus
dan gelombang yang membawa pasir ke daerah tersebut.

10. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah hasil studi mengenai
dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.

11. ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) adalah suatu telaah yang dilakukan
secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang
direncanakan.

12. Atol atau pulau karang merupakan suatu rangkaian pulau-pulau karang yang
berbentuk suatu lingkaran mengelilingi laguna dengan kedalaman bervariasi
antara beberapa hingga puluhan meter.

13. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.

14. Budidaya laut adalah cara pemeliharaan hewan dan tumbuhan laut seperti
berbagai jenis ikan laut, udang, kerang dan berbagai jenis rumput laut, di suatu
tempat dan dengan menggunakan metode tertentu;

15. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan secara
geografis tempat saluran air mengalir melalui sistem tertentu, yaitu sungai aliran
air, atau badan air lainnya.

16. Daerah Muara Sungai adalah daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai,
tempat sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari
laut, biasanya berkaitan dengan pertemuan perairan sungai dengan perairan laut;

17. Daerah Perlindungan Laut adalah daerah pesisir dan laut yang meliputi terumbu
karang, hutan mangrove, lamun, atau habitat lainnya secara sendiri atau
bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari
kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut yang dikelola oleh masyarakat
setempat serta ditetapkan dalam peraturan desa;

18. Delta adalah bagian dari pantai yang membentuk formasi batuan akibat dari
proses pengendapan di muara sungai.

19. Degradasi adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung
lingkungan akibat dari aktivitas/kegiatan manusia ataupun alami;

20. Erosi adalah pengikisan pantai, pengurangan daratan atau mundurnya pantai.

21. Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme
lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya,
seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang,
ekosistem padang lamun;

22. Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah
dengan daratan pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai
wilayah laut;

23. Garis sempadan pantai adalah garis batas yang diukur dari air laut pasang
tertinggi ke arah daratan mengikuti lekukan pantai dan/atau disesuaikan dengan
topografi setempat;

24. Izin adalah suatu persetujuan dari pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undang, setelah dipenuhinya persyaratan dan pembatasan
untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan
peraturan perundang-undangan.

25. Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfaatan dengan tidak
mengekstrasi sumberdaya pesisir, tetapi memanfaatkan fungsinya untuk tempat
rekreasi dan pariwisata, sebagai media transportasi, sumber energi gelombang
dan lain-lain;

26. Kawasan adalah bagian dari wilayah pesisir yang batasnya ditentukan
berdasarkan lingkup pengamatan tertentu, dengan fungsi utama yaitu fungsi
lindung dan fungsi budidaya.

27. Kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi
untuk dipertahankan keberadaannya.

28. Kawasan Lindung adalah kawasan pesisir yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

29. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atau dimanfaatkan secara terencana dan terarah atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya
buatan, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi hidup dan
kehidupan manusia.

30. Kawasan Desa Pantai adalah desa yang perkembangan dan pertumbuhannya
dinilai oleh pembentukan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya erat
dengan sumber daya lautan

31. Kawasan konservasi pesisir dan laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu
yang mencakup ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang mempunyai
fungsi konservasi dan fungsi pemanfaatan yang berkelanjutan.

32. Konservasi laut adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati laut yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keaneka
ragaman dan nilainya, serta merehabilitasi sumberdaya alam laut yang rusak;

33. Kepulauan atau pulau-pulau kecil adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian
pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya yang berhubungan satu sama
lainnya, sehingga merupakan satu kesatuan geografis, historis, ekonomi dan
politik.

34. Kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah perubahan sifat fisik dan/atau
hayati yang melampaui kriteria baku kerusakan pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil.

35. Konflik adalah setiap perselisihan yang timbul antara dua pihak atau lebih yang
berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan sumber daya dan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau kecil.

36. Konservasi ekosistem adalah daerah alami di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
yang ditujukan untuk perlindungan kesatuan ekologis dari satu atau lebih
ekosistem untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, melarang kegiatan eksploitasi
dan pendudukan yang bertolak belakang dengan tujuan penunjukkan kawasan
konservasi, dimanfaatkan untuk kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan, rekreasi dan kunjungan yang kesemuanya bersifat ramah lingkungan
dan sesuai dengan budaya setempat, termasuk Taman Nasional Laut, Taman laut
Propinsi dan Kabupaten/Kota.

37. Lamun adalah sejenis tumbuhan laut berbunga yang tumbuh di dasar laut
berpasir atau bersubstrat halus yang tidak begitu dalam, dan sinar matahari masih
dapat menembus ke dasar sehingga memungkinkan tumbuhan tersebut
berfotosintesis;

38. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek fungsional;

39. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah Lembaga atau organisasi non
pemerintah yang bergerak dan beraktivitas di bidang lingkungan hidup.

40. Forum Koordinasi adalah Forum yang dibentuk untuk menangani mekanisme
koordinasi antara berbagai kepentingan stakeholders atau institusi pemerintah
yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengelolaan wilayah pesisir.

41. Lingkungan adalah suatu satuan ruang yang menggambarkan kesatuan sistem
kehidupan baik bagi aspek sosial, ekonomi maupun pemerintahan.

42. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon bakau.

43. Masyarakat lokal adalah kelompok orang atau masyarakat yang mendiami desa
pantai dan menjalankan tatanan hukum, sosial dan budaya yang ditetapkan dan
ditaati oleh mereka sendiri secara turun temurun.

44. Pantai adalah luasan tanah termasuk sedimen yang membentang di sepanjang
tepian laut yang merupakan perbatasan pertemuan antara darat dengan laut,
terdiri dari sempadan pantai dan pesisir.

45. Partisipasi masyarakat adalah suatu bentuk peran serta atau keterlibatan
masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

46. Pemintakatan (Zonasi) adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang, untuk menetapkan batas-batas fungsional suatu peruntukkan
(kawasan budidaya dan lindung) sesuai dengan potensi sumber daya, daya
dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan
dalam sistem tersebut.

47. Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

48. Pengendalian pencemaran, kerusakan dan bencana pesisir adalah setiap upaya
pencegahan dan/atau mitigasi dan/atau kesiapsiagaan, dan/atau tanggap darurat,
dan/atau pemulihan dan/atau pembangunan di wilayah pesisir.

49. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah proses penyelesaian sengketa
yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.

50. Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
pesisir dan pulau kecil tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

51. Perairan Pantai adalah daerah perairan yang masih dipengaruhi oleh pasang
surut air laut.

52. Peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam
mengembangkan, mengurus dan mengelola secara komperhensif.

53. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.

54. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna sumber daya pesisir yang
mempunyai kepentingan langsung, misalnya nelayan, penyelam, dan pengusaha
perikanan.

55. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi,
mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir mampu menentukan yang
terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir
secara lestari.

56. Perairan pesisir adalah perairan laut teritorial yang berada di wilayah Indonesia
yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal,
rawa payau, laguna dan perairan lainnya.

57. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang berada di atas
permukaan air;

58. Pulau kecil adalah kesatuan ekologis pulau dengan luas kurang atau sama
dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan
200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut
dari garis pantai.

59. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri atas
sumberdaya hayati dan nir-hayati. Sumberdaya hayati, antara lain ikan, rumput
laut, padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang, biota perairan;
sedangkan sumberdaya nir-hayati terdiri dari lahan pasir, permukaan air,
sumberdaya di airnya, dan di dasar laut seperti minyak dan gas, pasir, timah, dan
mineral lainnya;

60. Suaka perikanan merupakan kawasan perairan yang berfungsi untuk menjaga
penambahan kelimpahan dan perlindungan kawasan pemijahan ikan. Kawasan
suaka perikanan tersebut diusulkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan oleh
pemerintah.

61. Tanggap darurat adalah upaya darurat untuk mengatasi dampak akibat bencana
terutama untuk penyelamatan jiwa dan harta benda.

62. Terumbu karang adalah koloni hewan dan tumbuhan laut berukuran kecil yang
disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang
keras dan berkelompok membentuk koloni yang menyekrasikan kalsium karbonat
menjadi terumbu;

63. Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud
memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat memikat jenis-jenis
organisme laut untuk hidup dan menetap;

64. Wilayah pesisir Kabupaten/Kota adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas ke darat adalah batas wilayah administrasi
kecamatan dan ke laut sejauh 4 mil dari garis pantai.

65. Wilayah pesisir secara ekologis adalah satu kesatuan wilayah antara daratan dan
lautan yang secara ekologis mempunyai hubungan keterkaitan yang di dalamnya
termasuk ekosistem pulau kecil serta perairan di atara satu kesatuan pulau-pulau
kecil dengan batas adminitstratif seperti tersebut di atas.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Peraturan Daerah ini berlaku untuk pengelolaan pesisir dalam Wilayah Propinsi
Bengkulu, sebagaimana kewenangan yang diatur dalam ketentuan perundangundangan,
yang meliputi:

a. Wilayah daratan sampai dengan batas wilayah pesisir Kabupaten Muko-muko,
Kabupaten Bengkulu Utara, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten
Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur, serta ruang laut sampai sejauh 12
(dua belas) mil laut yang diukur mulai dari garis pantai ke Laut Lepas dan atau
ke arah Perairan Kepulauan; dan

b. Wilayah kepulauan atau pulau-pulau yang berdasarkan Undang-undang
pembentukan Propinsi Bengkulu telah menjadi bagian dari wilayah Propinsi
Bengkulu.

(2) Pengelolaan pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan secara menyeluruh
berdasarkan satu gugusan pulau;

Pasal 3

Pengelolaan wilayah pesisir yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) termasuk
pengelolaan yang dilakukan oleh swasta, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan masyarakat pesisir.


Bab III
ASAS, TUJUAN, DAN MANFAAT, SERTA SASARAN

Bagian Pertama
Asas, Tujuan, dan Manfaat

Pasal 4

Dalam pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu harus berdasarkan asas
legalitas, keadilan, demokrasi, keterpaduan, daya guna dan hasil guna, pelestarian,
dan asas kearifan lokal.

Pasal 5

Tujuan pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu meliputi:

1. Untuk menyusun dan menetapkan kerangka kerja dan prioritas pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu yang berkelanjutan;

2. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi, dan mengendalikan tindakan dari
kegiatan-kegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir;

3. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir
dalam rangka pembangunan di wilayah pesisir yang memperhatikan daya dukung
lingkungan;

4. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu antara masyarakat pesisir, pemerintah, swasta, perguruan tinggi
dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan;

5. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian mengelola sumberdaya
wilayah pesisir secara terpadu di tingkat pedesaan, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Pasal 6

Manfaat pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu meliputi:

1. Terwujudnya rencana, penetapan dan koordinasi prioritas-prioritas pengelolaan
wilayah pesisir dalam rangka memanfaatkan secara efisien dan konsisten
kapasitas dan sumberdaya wilayah pesisir;

2. Terlindunginya wilayah-wilayah penting dari degradasi akibat pemanfaatan dan
konsumsi yang berlebihan, serta perusakan habitat;

3. Berkembangnya sumberdaya di wilayah pesisir bagi pemanfaatan ekonomi melalui
cara-cara keilmuan yang benar dan adil secara ekonomis dan ekologis;

4. Terwujudnya akuntabilitas dan manajemen dalam pengelolaan pesisir.

Bagian Kedua
Sasaran

Pasal 7

Sasaran pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu untuk:

1. Meningkatkan koordinasi pengambilan keputusan melalui proses antar sektor
dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan
pengelolaan wilayah pesisir;

2. Tercapainya keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya dan pelestarian
fungsi-fungsi ekologis wilayah pesisir;

3. Terakomodasinya aspirasi dan kepentingan-kepentingan masyarakat pesisir
melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
secara berkelanjutan;

4. Memajukan dan mempertahankan sumberdaya perikanan pesisir melalui
pengurangan dan penghapusan kegiatan penangkapan secara merusak;

5. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan dan pelayanan kepada
masyarakat;

6. Terpenuhinya persyaratan normatif dalam sistem dan mekanisme perizinan
usaha/kegiatan pembangunan di wilayah pesisir.

Pasal 8

Untuk menjabarkan asas, melaksanakan tujuan, mencapai manfaat dan mencapai
sasaran, maka masing-masing Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi
Bengkulu menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang
pengelolaan pesisir, laut dan pulau kecil.


Bab IV
KEWENANGAN

Bagian Pertama
Kewenangan Propinsi

Pasal 9

(1) Kewenangan Propinsi dalam pengelolaan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
untuk bidang-bidang tertentu mencakup:

a. Untuk seluruh wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil:

1. Menata, memadukan perencanaan, serta mengkoordinasikan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut;

2. Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu
lingkungan hidup nasional;

3. Penetapan tata ruang Propinsi berdasarkan kesepakatan antara Propinsi
dan Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan atas pelaksanaan tata ruang;

5. Penetapan sempadan pantai baik untuk wilayah perkotaan maupun
wilayah pedesaan.

b. Di wilayah laut Propinsi:

1. Melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut;

2. Melakukan konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi;

3. Melakukan konservasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut termasuk
membuat Daerah Perlindungan Laut dan atau Suaka Sumberdaya
Perikanan;

4. Pelayanan izin usaha budidaya biota laut dan penangkapan ikan pada
perairan laut wilayah Propinsi di luar wilayah laut kewenangan
Kabupaten/Kota;

5. Melakukan koordinasi dan paduserasi perizinan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam wilayah laut Propinsi;

6. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut termasuk
sumberdaya ikan;

7. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut.

c. Yang bersifat lintas Kabupaten/Kota:

1. Pengaturan dan pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota;

2. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas
Kabupaten/Kota;

3. Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi kegiatankegiatan
yang potensial berdampak besar dan penting pada masyarakat
luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas Kabupaten/Kota;

(2) Kewenangan lainnya dari Propinsi berkenaan dengan pengelolaan pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil meliputi:

a. Kewenangan atau bagian tertentu dari kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan
kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi;

b. Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara
tegas menunjuk kewenangan tersebut sebagai kewenangan Propinsi;

c. Kewenangan dalam rangka melaksanakan tugas sebagai wilayah administrasi
dan tugas pembantuan.

(3) Pelaksanaan kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Kewenangan Kabupaten/Kota

Pasal 10

Kewenangan Kabupaten/Kota meliputi:

1. Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pengelolaan pesisir
dengan memperhatikan asas-asas dan pedoman umum dalam Peraturan
Daerah Propinsi ini;

2. Pembuatan peraturan operasional untuk melindungi sumberdaya pesisir, yang
mencakup atol, mangrove, terumbu karang dan terumbu karang buatan;

3. Pengaturan mengenai penggunaan keramba, jaring apung, dan bagan di wilayah
pesisir;

4. Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi
lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.

Bagian Ketiga
Kewenangan Desa/Kelurahan

Pasal 11

(1) Kewenangan Desa/Kelurahan meliputi:

1. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul Desa/Kelurahan ;

2. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut oleh peraturan perundangperundangan
yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah,;
dan

3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengelolaan pesisir dan laut.

(2) Pelaksanaan kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 12

Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mendapatkan
informasi dan mengawasi usaha dan/atau kegiatan di luar Wilayah Propinsi Bengkulu
yang dapat memiliki dampak berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup dalam wilayah Propinsi Bengkulu.


BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Pasal 13

Pemerintah Daerah mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat terhadap
pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dalam wilayah Kabupaten Bengkulu
Utara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Pasal 14

Masyarakat memiliki hak-hak sebagai berikut:

1 Hak memperoleh nilai ekonomi tertentu atas wilayah pesisir;

2 Hak melindungi dan mempertahankan nilai ekologis tertentu atas sumberdaya
wilayah pesisir;

3 Hak memperoleh dan memberikan informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir;

4 Hak memperoleh pengetahuan berupa pendidikan dan pelatihan untuk
pengelolaan wilayah pesisir;

5 Hak untuk mengetahui dan memberikan pendapat atas setiap usaha atau
kegiatan yang akan dilakukan pihak lain sebelum pemberian izin oleh Pemerintah
Daerah.

Pasal 15

(1) Hak-hak ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 butir 1
didaftarkan menurut ketentuan pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini;.

(2) Pelaksanaan hak-hak ekologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 butir 2
didaftarkan sebagai program sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 Peraturan
Daerah ini.

Pasal 16

Masyarakat berkewajiban untuk:

1. Menjaga dan mempertahankan obyek-obyek bernilai ekonomis, ekologis dan
historis dari sumberdaya wilayah pesisir;

2. Memberikan informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir;

3. Terlibat secara aktif, partisipatif dan demokratis dalam musyawarah masyarakat
pesisir dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya
pesisir;


BAB VI
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN

Bagian Pertama
Pendaftaran Hak-hak Masyarakat Pesisir

Pasal 17

(1) Pendaftaran hak-hak ekonomi tertentu dari masyarakat pesisir untuk pengelolaan
sumberdaya alam di wilayah pesisir diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;

(2) Pemerintah Desa/Kelurahan berkewajiban menginventarisir dan melaporkan
dalam bentuk tertulis semua data kegiatan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya pesisir kepada Bupati/Walikota melalui Dinas/Instansi terkait;

Bagian Kedua
Perizinan

Pasal 18

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir, baik
oleh perorangan maupun badan hukum, wajib memperoleh izin dari pejabat
yang berwenang.

(2) Izin usaha dan atau kegiatan hanya dapat diberikan setelah dipenuhinya
persyaratan yang telah ditetapkan.

(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dicantumkan
persyaratan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang izin.

(4) Bentuk, jenis, dan persyaratan perizinan bagi setiap usaha dan atau kegiatan
baik oleh perorangan maupun badan hukum diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.

Bagin Ketiga
Jaminan dan Perjanjian Lingkungan

Pasal 19

(1) Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang akan dilakukan oleh pihak lain
selain masyarakat pesisir, harus memiliki jaminan lingkungan;

(2) Perjanjian dan jaminan lingkungan wajib dilakukan oleh pihak lain setelah
memperoleh persetujuan dari masyarakat dan Pemerintah Desa setempat;

(3) Prosedur perjanjian dan jaminan lingkungan, untuk pengelolaan Sumber Daya di
wilayah pesisir, mengikuti ketentuan dan pedoman yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah bersama Forum Koordinasi Pengelolaan Pesisir Terpadu (FKPPT),
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Daerah ini;


BAB VII
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)

Pasal 20

Lembaga Swadaya Masyarakat berperan untuk:

1. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan peran serta masyarakat pesisir
dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara bertanggung jawab;

2. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat pesisirl dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan;

3. Menumbuhkan keperdulian masyarakat pesisir untuk melakukan pengawasan dan
kontrol sosial terhadap pelaksanaan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

4. Memberikan saran, pendapat dan masukan;

5. Menyampaikan informasi dan/atau laporan yang diperlukan.


B A B VIII
PERAN PERGURUAN TINGGI

Pasal 21

Perguruan Tinggi berperan dalam hal:

1. Memberikan bantuan keilmuan dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir;

2. Membantu dan mendampingi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan sistem
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

3. Melaksanakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir melalui Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat;

4. Membantu pemerintah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan mengenai
lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisisr;

5. Menyelengarakan pendidikan, penelitian dan pelatihan dalam rangka
pengembangan sumberdaya manusia;

6. Memberikan saran, pendapat dan masukan diminta atau tidak diminta kepada
Pemerintah Daerah mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

7. Mengembangkan sumber data dan informasi tentang wilayah pesisir serta system
dan mekanismenya agar mudah diakses apabila diperlukan.


B A B IX
FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT TERPADU
(FKPPLT)

Bagian Pertama
Forum Koordinasi Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Propinsi

Pasal 22

(1) Dalam rangka pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu,
Gubernur membentuk Forum Koordinasi Pengelola Pesisir Terpadu, yang
independen atau dapat menunjuk badan atau instansi terkait yang sudah ada
untuk melaksanakan tugas, fungsi dan peran Forum Koordinasi dimaksud;

(2) Keanggotaan Forum yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
terdiri atas perwakilan dari dinas dan instansi terkait, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi;

(3) Struktur organisasi, tugas dan fungsi Forum yang dibentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur;

(4) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini bertanggungjawab kepada
Gubernur;

(5) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini bukan merupakan instansi
pelaksana teknis.

Bagian Kedua
Forum Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu
Kabupaten/Kota

Pasal 23

(4) Di setiap Kabupaten/Kota dibentuk Forum Koordinasi Pengelola Wilayah Pesisir
dan Laut Terpadu Kabupaten/Kota yang menjalankan tugas utama untuk
mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut di masingmasing
Kabupaten/Kota.

(5) Struktur Organisasi, tugas dan fungsi Forum Koordinasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan dan mempertimbangkan serta
memperhatikan struktur organisasi, tugas dan fungsi Forum Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 Peraturan Daerah ini.


BAB X
PENATAAN RUANG PESISIR DAN LAUT

Pasal 24

(1) Penataan ruang pesisir dan laut Daerah Propinsi dilakukan dalam bentuk
pemintakatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) Peraturan Daerah
ini dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi.

(2) Penataan ruang pesisir Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam bentuk rencana
pemintakatan dengan memperhatikan penataan ruang wilayah pesisir dan laut
Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan memperhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.


BAB XI
PERENCANAAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN PESISIR

Bagian Pertama
Umum

Pasal 25

Perencanaan dan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir disusun dan dijabarkan oleh
Pemerintah Daerah, dengan memperhatikan masukan dari LSM, Perguruan Tinggi,
Dunia Usaha, masyarakat pesisir atau perorangan.

Bagian Kedua
Perencanaan dan Program Daerah Propinsi

Pasal 26

(1) Pemerintah Propinsi menetapkan rencana dan program pengelolaan wilayah
pesisir yang menjadi kewenangan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah;

(2) Rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini sekaligus
mencakup pengelolaan di bidang ekonomi dan lingkungan hidup.

Pasal 27

(1) Rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 Peraturan Daerah
ini mencakup:

a. Rencana Strategis;

b. Rencana Pemintakatan (Zonasi);

c. Rencana Pengelolaan;

d. Rencana Aksi.

(2) Dalam dokumen rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini diatur antara lain:

a. Pengakuan dan pengaturan hak-hak di bidang ekonomi dan lingkungan hidup
dari masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 berdasarkan
rekomendasi dari Forum Koordinasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22
ayat (1) Peraturan Daerah ini;

b. Penentuan wilayah kawasan Wisata Pantai dan Taman Laut yang ditetapkan
berdasarkan hasil studi kelayakan;

c. Penentuan wilayah kawasan rawan bencana yang ditetapkan berdasarkan
hasil studi kelayakan;

d. Pembentukan kawasan konservasi pesisir dan perlindungan laut di wilayah
kewenangan Daerah yang ditetapkan berdasarkan hasil studi kelayakan;

(3) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Bagian Ketiga
Perencanaan dan Program Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 28

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana dan program Kabupaten/Kota,
dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada di
desa/kelurahan.

(2) Rencana dan program Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini sekaligus mencakup pengelolaan di bidang ekonomi dan lingkungan
hidup.

(3) Rencana dan program Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 29

Perencanaan dan Program dalam bidang lingkungan hidup di wilayah pesisir
kewenangan Daerah yang berasal dari prakarsa LSM, Perguruan Tinggi, masyarakat
pesisir atau perorangan disampaikan kepada Pemerintah Daerah melalui Forum
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Daerah ini.


BAB XII
PERLINDUNGAN BIOTA LAUT LANGKA

Pasal 30

Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah
Desa/kelurahan, masyarakat pesisir, dan semua pemangku kepentingan dengan
sumberdaya wilayah pesisir wajib melindungi semua biota laut langka yang menurut
daftar Pemerintah harus dilindungi, serta dilarang dengan cara dan alasan apapun
untuk menangkap, memelihara, mengurung, dan membunuh biota laut langka
dimaksud.


BAB XIII
KEWAJIBAN DAN JAMINAN LINGKUNGAN

Pasal 31

(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang hendak melakukan usaha di wilayah
pesisir wajib:

a. Menyusun AMDAL bila luasan atau lokasi yang diperlukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan harus memilikinya;

b. Membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) bila luasan atau lokasi yang diperlukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuatnya;

c. Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan masyarakat pesisir yang berdekatan
dengan Lokasi usaha tentang rencana usaha dimaksud;

d. Membuat rencana pemberdayaan masyarakat pesisir setempat;

e. Memperoleh rekomendasi dari instansi yang terkait;

(2) Pemerintah Daerah memberikan perizinan pengusahaan di wilayah pesisir setelah
dipenuhinya kewajiban dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 32

Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan usaha di wilayah pesisir wajib
memperhatikan dan melindungi lingkungan hidup dan melakukan program
pemberdayaan masyarakat lokal.

Pasal 33

(1) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 32
dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masingmasing
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana rehabilitasi lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 32 dibebankan
kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah
pesisir tersebut.


BAB XIV
PENDANAAN

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah ini sesuai dengan
perencanaan dan program yang akan dilakukan pada setiap tahun.

(2) Pendanaan untuk pengelolaan wilayah pesisir diperoleh dari berbagai sumber
antara lain retribusi, dana kompensasi dan sumber lainnya dari sektor kegiatan
dan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.


BAB XV
KERJASAMA

Bagian Pertama
Pemerintah Propinsi

Pasal 35

(1) Pemerintah Propinsi Bengkulu dapat mengadakan kerjasama dengan daerah
lain atau pihak ketiga lainnya untuk kepentingan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir dengan mempertimbangkan efisiensi,
efektivitas, dan saling menguntungkan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.

(2) Bentuk dan tata cara mengadakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Bagian Kedua
Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 36

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain
atau pihak ketiga lainnya untuk kepentingan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir dengan mempertimbangkan efisiensi,
efektivitas, dan saling menguntungkan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
kewenangan kabupaten/kota dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala
Daerah Kabupaten/Kota.


BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 37

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengelolaan
wilayah pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 17, Pasal 18, Pasal 30, Pasal
31, dan Pasal 32 Peraturan Daerah ini dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah
dan Forum Koordinasi.

(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.


BAB XVII
PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Pasal 38

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara
konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat
istiadat/kebiasaan/kearifan lokal;

(2) Sengketa yang terjadi dalam pengelolaan di wilayah pesisir yang melibatkan
lebih dari satu Daerah Kabupaten/Kota diselesaikan melalui musyawarah mufakat
antara para pihak;

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 39

(1) Apabila tidak tercapai musyawarah mufakat dalam sengketa, maka para pihak
dapat meminta penyelesaian melalui badan yang dibentuk untuk itu, boleh
dilakukan dengan melibatkan atau tidak melibatkan pihak pemerintah propinsi;

(2) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Ketiga
GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 40

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan/atau
melaporkan kepada pihak yang berwajib mengenai berbagai masalah dalam
pengelolaan wilayah pesisir yang merugikan kepentingan masyarakat.

(2) Jika diketahui masyarakat menderita karena akibat dari pengelolaan wilayah
pesisir yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga mempengaruhi
perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang pengelolaan wilayah pesisir wajib bertindak untuk
kepentingan masyarakat dalam memproses pemberian sanksi terhadap
pelanggar.

Bagian Keempat
Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 41

(1) Penanggungjawab kegiatan yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting berupa pencemaran dan/atau kerusakan terhadap wilayah pesisir, yang
menggunakan dan/atau menghasilkan bahan berbahaya dan beracun
bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir.

(2) Untuk menghitung jenis dan besar ganti rugi dilakukan penelitian yang
komprehensif dengan metode perhitungan secara ilmiah baku.

(3) Penanggungjawab kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan
bahwa pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir tersebut disebabkan
oleh salah satu alasan berikut:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau

b. adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan wilayah pesisir dan laut.

(4) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab membayar ganti
rugi.

Bagian Kelima
Penyelesaian Sengketa Administrasi

Pasal 42

Sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dalam pengelolaan wilayah pesisir dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum acara administrasi dan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
yang berlaku.


BAB XVIII
PERLINDUNGAN HUKUM

Pasal 43

Pemerintah Propinsi melaksanakan perlindungan terhadap sumberdaya alam di
wilayah pesisir terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum
dengan:

a. Menyediakan sarana/prasarana yang diperlukan untuk itu;

b. Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum sesuai dengan bidang tugas
dan kewenangannya;

c. Melakukan koordinasi dengan propinsi tetangga.

Pasal 44

Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan perlindungan sumberdaya alam setempat
dengan menegakkan sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Kabupaten/Kota yang
dibuat sesuai dengan kewenangan Kabupaten/Kota.


BAB XIX
PENYIDIKAN

Pasal 45

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai tugas melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran Peraturan Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pihak Kepolisian
Republik Indonesia.


BAB XX
KETENTUAN SANKSI

Bagian Pertama
Sanksi Administrasi

Pasal 46

Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pelanggaran hukum yang
bersifat administratif berkenaan dengan lingkungan hidup di wilayah pesisir dikenakan
sanksi berupa:

a. Peringatan secara tertulis;

b. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa;

c. Uang paksa;

d. Penutupan perusahaan atau tempat usaha;

e. Penghentian kegiatan usaha;

f. Pencabutan izin.

Bagian Kedua
Ganti Rugi dan atau Rehabilitasi

Pasal 47

Setiap orang dan/atau badan hukum melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan terhadap sumber daya pesisir yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau ekosistem pesisir mewajibkan kepada
penanggungjawab kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu (rehabilitasi) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana

Pasal 48

(1) Setiap orang dan/atau Badan Hukum yang melakukan tindak pidana sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, diberlakukan ketentuan sanksi yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Desa diakui termasuk sanksi adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku


BAB XXI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 49

Semua ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Peraturan Daerah ini, harus telah
dibuat dan diundangkan dalam lembaran daerah paling lama dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.


BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 50

(1) Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, semua izin yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku izin dimaksud.

(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.


BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 51

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Bengkulu.


Ditetapkan di Bengkulu
pada tanggal

Penjabat Gubernur Bengkulu,
SEMAN WIDJOJO

Diundangkan di Bengkulu
pada tanggal
Plt.Sekretaris Daerah Propinsi Bengkulu,
FAUZAN RAHIM


Lembaran Daerah Propinsi Bengkulu Tahun 2005 Nomor


===========================================================

PENJELASAN
ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI BENGKULU
NOMOR TAHUN

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA
TERPADU DI PROPINSI BENGKULU


I. UMUM

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup
dan sumberdaya alam. Pelaksanaan pengelolaan ini juga terkait erat dengan berbagai
aspek pembangunan yang lebih luas yang disebutkan dalam Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, antara
lain: (1) hukum (dan hak asasi manusia), (2) ekonomi; (3) politik; (4) pendidikan; (5)
sosial dan budaya; (6) pembangunan daerah; (7) sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, dan (8) pertahanan dan keamanan; sehingga permasalahan pengelolaan
pesisir juga merupakan bagian dari permasalahan berbagai aspek pembangunan
tersebut.

Peraturan Daerah ini juga merupakan pelaksanaan pokok-pokok tertentu dari
Program-program Prioritas dalam Program Pembangunan Daerah Propinsi Bengkulu
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bengkulu, yang dimaksudkan sebagai
ketentuan payung untuk peraturan kepala daerah dan peraturan daerah
kabupaten/kota. Beberapa hal pokok dalam Peraturan Daerah ini adalah sebagai
berikut:

1. Sistem Pengelolaan Pesisir di Propinsi Bengkulu dilakukan secara terpadu.
Gagasan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu adalah suatu proses pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara
kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan
vertikal, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen, sehingga
pengelolaan sumberdaya tersebut bekerlanjutan dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Pesisir Terpadu).

Pengelolaan wilayah Pesisir di Propinsi Bengkulu merupakan suatu proses
pengelolaan sumberdaya pesisir melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya,
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir dalam penggunaan
sumberdaya tersebut.

Tujuan perlindungan lingkungan hidup dari Sistem Pengelolaan Pesisir Terpadu
adalah pemanfaatan sumberdaya alam pesisir secara berkelanjutan, sedangkan
sebagai program yang mendapatkan perhatian khusus adalah pengelolaan pesisir
yang muncul dari kehendak masyarakat pesisir, antara lain dengan menentukan
sendiri Daerah Perlindungan Laut di lokasi mereka.

2. Dari gunung-gunung, hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, daerah-daerah
sekitar dan sepanjang garis pantai sampai menuju ke arah laut lepas, merupakan
satu ekosistem.

Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme
lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya,
seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang,
ekosistem padang lamun. Pengelolaan ekosistem daerah-daerah sekitar dan
sepanjang garis pantai semata-mata, tanpa adanya perhatian terhadap gununggunung
hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, laut sampai menuju ke arah laut
lepas, tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Ini karena wilayah pesisir
adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi,
serta saling mempengaruhi. Dengan demikian, semua daerah tersebut
seharusnya dipandang sebagai satu ekosistem dan semuanya perlu
mendapatkan perhatian.

Peraturan Derah Propinsi Bengkulu ini memiliki keterbatasan. Pertama, tidak
dapat sekaligus mengatur semua daerah tersebut, dan kedua, keterbatasan
yuridis wilayah berlakunya suatu Peraturan Daerah Propinsi. Keterbatasan
pertama perlu diatasi dengan pembentukan Peraturan Daerah lainnya yang akan
menjadi suatu matarantai peraturan dengan Peraturan Daerah ini, sedangkan
keterbatasan kedua perlu diatasi antara lain dengan mengadakan analogi
terhadap ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan
Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan analogi terhadap ketentuan tersebut, maka sekalipun
Daerah Propinsi Bengkulu tidak memiliki wewenang pengelolaan terhadap
wilayah di luar wilayah Propinsi Bengkulu tetapi memiliki kewenangan untuk
mengetahui dan mengawasi aktivitas yang dapat memiliki dampak terhadap
Daerah Propinsi Bengkulu.

3. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan ekologi dalam pengambilan
keputusan.

Tiap keputusan pembangunan harus memperhatikan keterpaduan antara
pertimbangan ekonomi dengan ekologi. Pembangunan yang mengabaikan
pertimbangan ekologi hanya mendatangkan manfaat ekonomi jangka pendek tapi
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kerugian ekonomi dalam jangka
panjang, karena biaya pemulihan yang harus ditanggung di masa depan. Di masa
sekarang pun, dalam tiap perhitungan manfaat pembangunan sudah seharusnya
dimasukkan perhitungan akuntansi sumberdaya alam, yang mencakup antara lain
apa dan siapa yang dirugikan, berapa besar kerugian dan rencana rehabilitasi.
Tanpa perhitungan ini maka manfaat ekonomi di masa sekarang sebenarnya
tidak sebesar yang kelihatan karena di dalamnya tersirat kerugian yang harus
ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat di kemudian hari.

Sebaliknya, perlindungan lingkungan hidup tidak berarti menutup pembangunan
ekonomi; kecuali untuk lokasi-lokasi tertentu yang ditetapkan sebagai daerah
perlindungan terakhir. Pembangunan tetap diperlukan oleh negara, daerah dan
masyarakat itu sendiri, dengan memperhatikan adanya syarat-syarat tertentu.
Selain itu pembangunan yang langsung untuk kepentingan dan fasilitas umum
seperti pembangunan pelabuhan penumpang internasional, nasional dan
regional, merupakan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Pemberdayaan masyarakat benar-benar diberikan arti dan konsekuensi praktis.

Pemberdayaan masyarakat hanya akan mencapai hasil yang diharapkan apabila
benar-benar diambil langkah-langkah praktis, yang mencakup antara lain:

a. desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat
setempat, antara lain dengan pemberian hak pengelolaan sumberdaya alam
kepada masyarakat pesisir;

b. adanya pemberian partisipasi aktif pada masyarakat mengenai penggunaan
sumberdaya tersebut, antara lain dengan adanya wakil masyarakat dalam
forum koordinasi pengelolaan pesisir;

c. hak masyarakat pesisir sebagai kesatuan untuk memberikan persetujuan atau
menolak rencana pembangunan di wilayahnya;

d. tanggungjawab sosial pengusaha untuk rencana pemberdayaan masyarakat
pesisir.

5. Kedudukan Peraturan Daerah ini terutama untuk memberikan pedoman dalam
pengelolaan Pesisir secara Terpadu dengan basis utamanya yaitu masyarakat
pesisir. Oleh karena itu Peraturan daerah ini tidak merupakan peraturan yang
menyangkut retribusi, tetapi merupakan Peraturan Daerah Terpadu antar instansi
terkait.

6. Pembentukan Peraturan Daerah ini dilakukan dengan memperhatikan batasbatas
kewenangan Propinsi berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dilakukan oleh swasta, harus
berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi hanya dilakukan sejauh menyangkut
kepentingan penelitian. Sedangkan Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
dilakukan oleh LSM hanya sebagai advisor ataupun membangkitkan kerjasama
antara masyarakat dan pihak terkait.

Pasal 4
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Propinsi Bengkulu harus
berdasarkan asas:

1. Asas Legalitas yaitu bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan dalam rangka
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dapat memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi semua komponen
masyarakat terkait.

2. Asas Keadilan, yaitu bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
bertujuan untuk membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan sehingga
masyarakat memiliki akses yang adil dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Asas demokrasi yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau
kecil harus bersifat partisipatif dan transparan serta mengakomodir
kepentingan arus bawah.

4. Asas Keterpaduan yang meliputi:
a. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan pertimbangan ekologi;
b. Keterpaduan antara ekosistem darat dengan ekosistem laut;
c. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen;
d. Keterpaduan perencanaan sektor secara horizontal, dengan
mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan dari sektor dan instansi
terkait;
e. Keterpaduan perencanaan secara vertikal, dengan mengintegrasikan
kebijakan dan perencanaan dari level pemerintahan yang berbeda, seperti
pusat, propinsi dan kabupaten/kota;
f. Keterpaduan dalam pemanfaatan sumber daya antar pemangku
kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat.;
g. Keterpaduan antar daerah dalam pengelolaan di wilayah pesisir dan laut
yang bertetangga;
h. Keterpaduan dalam pengendalian pemanfaatan sumber daya pada
Wilayah Pesisir dan laut.

5. Asas Daya guna dan hasil guna yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus senantiasa diarahkan pada sasaran yang
tepat dan pemberian kemanfaatan bagi semua pihak.

6. Asas Pelestarian yaitu tiap kegiatan yang dijalankan harus sehingga
pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya mempertimbangkan pelestarian
sumberdaya yang ada;

7. Asas Pelestarian dan Keberlanjutan yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus memperhatikan pemulihan fungsi
ekosistem, sehingga disamping mampu memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri;

8. Asas Kearifan lokal yaitu pengakuan terhadap kearifan tradisional masyarakat
lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu penerimaan oleh
pemerintah tentang kenyataan adanya ketentuan-ketentuan memelihara
lingkungan alam sekitar oleh kelompok masyarakat yang telah dijalani turuntemurun
dan telah menunjukkan adanya manfaat yang diterima masyarakat
maupun lingkungan dalam pengelolaan sumber daya pesisir.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Kewenangan-kewenangan ini merupakan kewenangan Daerah Propinsi
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berperan untuk memberikan
pedoman berkenaan dengan segi kelembagaan dan asas-asas pengelolaan
bagi kabupaten/kota.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ketentuan ini merupakan analogi dan penjabaran lebih lanjut terhadap
ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan
Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Butir 1 s.d. 4
Cukup jelas
Butir 5
Dasar sosiologis ketentuan ini adalah karena masyarakat pesisir yang
pertama-tama dan langsung terkena dampak kegiatan di pesisir.
Dasar yuridis ketentuan ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Ordonansi
Gangguan (Hinderordonnantie, Staatsblad 1926 226) yang menentukan
bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditentukan tempat-tempat di mana
dilarang mendirikan tempat bekerja tanpa izin di luar daripada yang sudah
ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Hinderordonnantie.

Pada Pasal 6 ayat (2) angka II Ordonansi Gangguan ditentukan bahwa
keberatan-keberatan yang dapat menyebabkan ditolaknya permintaan izin
untuk mendirikan bangunan adalah keberatan-keberatan yang disebabkan
karena kuatir akan terjadi: (a) bahaya; (b) kerusakan harta milik, perusahaan
atau kesehatan; (c) gangguan yang berat. Untuk jaminan kepastian hukum
yang lebih baik bagi para calon penanam modal, maka dalam Peraturan
Daerah Kabupaten ini diberikan ketentuan bahwa sebelum pemberian izin oleh
pejabat yang berwenang terlebih dahulu harus telah ada persetujuan dari
masyarakat lokal sebagai kesatuan.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Proses pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1 Sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dalam hal terdapat praktek
dan kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang telah
dilakukan secara turun temurun, harus diberitahukan dan dilaporkan secara
tertulis oleh Pemerintah Desa kepada Bupati/Walikota melalui Dinas Kelautan
dan Perikanan;

2 Proses pengakuan praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
pesisir dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir adalah sebagai
berikut:
a. Pemuka-pemuka adat dari kelompok masyarakat setempat mengumpulkan
dan menyajikan bukti kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan
dan Perikanan bahwa masyarakat senantiasa menjalankan praktek-praktek
tersebut secara teratur dan turun-temurun;
b. Dinas Kelautan dan Perikanan bersama dengan Forum Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu sebagaimana dimaksud pada Bab
VIII Peraturan Daerah ini, melakukan peninjauan atas bukti tersebut untuk
menyusun rancangan Keputusan Kepala Daerah masing-masing;
c. Bupati/Walikota menetapkan Keputusan, setelah melalui proses partisipasi
masyarakat atas rancangan Keputusan Kepala Daerah dimaksud.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Pembentukan Forum Koordinasi dimaksudkan sebagai wadah bagi
pemerintah daerah atau dinas instansi terkait dengan pengelolaan wilayah
pesisir, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, dan
pihak pemangku kepentingan lainnya, agar dalam pengelolaan wilayah pesisir
terutama dalam pemanfaatan sumber daya pesisir tidak menimbulkan dampak
negative bagi sumber daya dan lingkungan hidup wilayah pesisir.
Struktur dan jumlah keanggotaan Forum Koordinasi sesuai dengan keperluan.
Struktur dan keanggotaan Forum Koordinasi Propinsi dan masa keanggotaan
ditetapkan dengan Keputusan Kepala daerah.
LSM yang menjadi Anggota Forum hanya LSM yang mewakili kepentingan
lingkungan hidup. Anggota Forum dari unsur dunia usaha harus dari kalangan
dan mewakili kepentingan dari dunia usaha. Sedangkan anggota Forum dari
kalangan perguruan tinggi harus mewakili berbagai disiplin ilmu (ahli kelautan
dan perikanan, ahli ekonomi pembangunan, hukum lingkungan).
Tugas dan fungsi Forum Kooordinasi diatur dan ditetapkan secara rinci dan
jelas dengan sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya lembaga
dimaksud.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Gubernur menetapkan peraturan mengenai norma , standar, dan pedoman
penyusunan dan penetapan rencana strategis, rencana zonasi, rencana
pengelolaan, dan rencana aksi dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir yang
menjadi kewenangan Propinsi Bengkulu.

Pasal 27
Ayat (1)
Rencana pengelolaan Wilayah Pesisir, laut dan Pulau-pulau Kecil di Propinsi
Bengkulu secara rinci dituangkan dalam dokumen yang terdiri atas
Dokumen Rencana Strategis, Dokumen Rencana Pemintakatan (Zonasi),
Dokumen Rencana Pengelolaan, Dokumen Rencana Aksi.
Butir a
Dalam dokumen Rencana Strategis memuat visi, misi, tujuan, sasaran
dan strategi yang telah disepakati bersama dari segenap pihak terkait
dan memberikan landasan yang konsisten untuk penyusunan rencana
zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi. Selain itu Rencana
Strategis merupakan sarana dalam mencapai tujuan pengelolaan
wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam Program Pembangunan
Daerah (PROPEDA).
Butir b
Dalam dokumen rencana pemintakatan (zonasi) perlu diperhatikan
peraturan tentang zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan
pengusahaan pasir laut, antara lain Keppres No. 33 Tahun 2002 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.33/Men/2002
tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan
Pasir Laut.
Selain itu juga harus diperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Bengkulu.
Butir c
Dalam dokumen Rencana Pengelolaan harus memuat prosedur,
tanggungjawab dan koordinasi dalam pengambilan keputusan berbagai
lembaga/instansi pemerintah.
Butir d
Dalam dokumen Rencana Aksi harus memuat masalah-masalah yang
harus ditanggulangi beserta tujuan, sasaran, strategi dan kegiatan yang
akan dilaksanakan, termasuk rencana pendanaan dan sumber
dananya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH
dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, yang
menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan kemungkinan dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Butir a
Untuk perlindungan sumberdaya alam di wilayah laut dari 1 sampai dengan 4
mil laut terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum
seperti pencurian ikan, Pemerintah Daerah perlu menyediakan
sarana/prasarana perlindungan di wilayah laut.
Butir b-c
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
f. Memanggil orang ahli untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. Mendatangkan orang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
Penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik
memberitahukan kepada Penuntut Umum, Tersangka atau keluarganya;
i. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara setiap tindakan dalam hal:
a. Pemeriksaan Tersangka;
b. Memasuki rumah;
c. Penyitaan barang;
d. Pemeriksaan saksi;
e. Pemeriksaan tempat kejadian.

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI BENGKULU NOMOR

RUU PWP (versi 10 Oktober 2003)

Kawan-kawan Miliser,

Di bawah ini saya kirimkan draf :
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR (RUU PWP)
versi Draft 10 Oktober 2003

Draf ini mungkin sudah ketinggalan jaman :-)), kalau kawan-kawan ada mempunyai draf yang terbaru mohon kebaikan hatinya untuk dikirimkan kepada Moderator Milis Lingkungan dg alamat di : senoaji@cbn.net.id

Menurut Riza Damanik, tukang kampanye pesisir dan kelautan Eknas Walhi, dari tgl 26 - 30 Desember 2005 Komisi IV DPR RI akan mengadakan pertemuan di beberapa daerah utk membahas RUU PWP ini. Maklum kejar setoran akhir tahun. :--))

Semoga bermanfaat.

saalam,
djuni

=================================

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH
Draft 10 Oktober 2003

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
JAKARTA, Oktober 2003

Menimbang :

a. bahwa sumberdaya pesisir sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia;

b. bahwa wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam, harus dikelola secara adil dan bijaksana, berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pengembangan ekonomi, sosial-budaya, serta mencegah terjadinya degradasi pada sumberdaya alam, pesisir dan laut;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, perlu ditetapkan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;

3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319;

4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang - Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terpadu adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antar sektor dan antar pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Sumberdaya Pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir, meliputi hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan ikan.

3. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.

4. Wilayah Pesisir adalah kawasan peralihan, yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan laut, secara geographis kearah darat sejauh pasang tertinggi dan kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai.

5. Pulau-pulau kecil adalah kesatuan ekologis dari pulau-pulau dengan luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut dari garis pantai.

6. Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau-pulau kecil yang berada pada garis pangkal kepulauan Indonesia.

7. Zona Penataan ruang adalah rencana pemanfaatan ruang
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
8. Zona adalah bagian dari wilayah yang disepakati bersama antar berbagai pemangku kepentingan untuk penggunaan tertentu.

9. Zonasi adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, merupakan upaya penetapan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan budidaya, pemukiman dan lindung) sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam sistem tersebut. Penetapan batas-batas fungsional wilayah pesisir erat berkaitan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat pesisir.

10. Kawasan pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi, untuk dipertahankan keberadaannya.

11. Kawasan konservasi pesisir dan laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mencakup ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil serta laut yang mempunyai fungsi konservasi dan fungsi pemanfaatan yang berkelanjutan.

12. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan.

13. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

14. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai peruntukkan umum.

15. Akreditasi adalah prosedur sukarela yang meliputi penilaian, penghargaan dan insentif terhadap program Pengelolaan wilayah pesisir

16. Badan koordinasi adalah badan yang dibentuk untuk menangani mekanisme koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan atau instansi pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut.

17. Pemangku kepentingan adalah

18. Pemangku kepentingan utama adalah para pengguna sumber daya pesisir yang mempunyai kepentingan langsung, seperti nelayan, penyelam, dan pengusaha perikanan.

19. Daya dukung adalah batas layaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis, yang dapat didukung oleh suatu lingkungan; sering berarti jumlah tertentu individu dari suatu species yang dapat didukung oleh suatu habitat atau, dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau penggunaan sumberdaya.

20. Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfataan dengan tidak mengekstrak sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi karena fungsinya sebagai media transportasi, fungsi rekreasi dan pariwisata, fungsi sumber energi, fungsi cagar budaya, dan lain-lain.

21. Sistem pengelolaan tradisional adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan, aturan, tata cara penyusunan atau kebiasaan yang diyakini bersama dapat menjamin sumberdaya alamnya.

22. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi, mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara lestari.

23. Masyarakat pesisir terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang merupakan komunitas nelayan dan bukan nelayan yang basis tempat tinggalnya disekitar wilayah pesisir dan mata pencahariannya tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir

24. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai adat istiadat yang diwarisi dari leluhurnya

25. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum

26. Bencana pesisir adalah perubahan sifat fisik dan/atau hayati yang menimbulkan kerusakan atau korban jiwa di wilayah pesisir

27. Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

28. Gugatan perwakilan adalah prosedur pengajuan gugatan keperdataan, dimana satu atau beberapa orang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sejumlah masyarakat, dimana wakil dan yang diwakilinya mengalami kerugian yang sama.

29. Rehabilitasi adalah proses pengembalikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.

30. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan wilayah pesisir

BAB II
AZAS, TUJUAN, SASARAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan berlandaskan asas keterpaduan, berkelanjutan, peran serta masyarakat, keterbukaan, berkeadilan, kepastian hukum, konsistensi, dan desentralisasi

Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir bertujuan:

a. memperbaiki dan mendorong insisiatif pengelolaan sumberdaya pesisir serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir secara adil, seimbang dan berkelanjutan sesuai ketentuan dalam undang-undang ini;

b. melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan, merehabilitasi dan memperkaya sumberdaya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.

c. memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir, serta mendorong inisiatif pengelolaan oleh masyarakat melalui pengakuan hak masyarakat adat dan lokal, pemberdayaan masyarakat, serta penumbuhan rasa tanggung jawab.

Pasal 4
Sasaran dari Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah:

a. terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu;

b. terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu melalui proses pelibatan pemangku kepentingan;

c. terciptanya sinergi dan keharmonisan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

d. terciptanya kepastian hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha;

e. meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di wilayah pesisir

Pasal 5

(1) Ruang Lingkup Undang-undang ini mengatur pengelolaan wilayah pesisir mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, akreditasi program, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, pencegahan dan penyelesaian sengketa.

(2) Undang-undang ini berlaku di wilayah pesisir

BAB III
PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Bagian Pertama
Perencanaan Terpadu

Paragraf 1
Umum

Pasal 6

(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan norma, standar dan manual perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir

(2) Pemerintah Daerah menyusun Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dengan melibatkan masyarakat

(3) Unsur-unsur Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), terdiri dari:
a. rencana strategis;
b. rencana zonasi;
c. rencana pengelolaan;
d. rencana aksi.

(4) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun rencana strategis secara terpadu sesuai dengan kewenangannya masing-masing di wilayah pesisir.

(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dapat menyusun rencana zonasi dan zona rinci di kawasan pesisir bagi lokasi tertentu.

(6) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyelenggarakan penyusunan rencana pengelolaan dan rencana aksi pada kawasan pesisir sesuai dengan kebutuhannya.

Paragraf 2
Perencanaan Zonasi
Rencana Zonasi Provinsi

Pasal 7

(1) Rencana Zonasi Pesisir Wilayah Provinsi, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

(2) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi merupakan strategi dan struktur pemanfaatan ruang pesisir wilayah Provinsi

(3) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi berisi :
a. rencana kawasan konservasi, rencana kawasan pemanfaatan, rencana kawasan tertentu dan alur
b. Arahan Sistem pusat permukiman di pesisir
c. Arahan pengembangan sistem prasarana di pesisir

Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Kabupaten/Kota

Pasal 8

(1) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

(2) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota merupakan Strategi dan struktur pemanfaatan ruang pesisir Kabupaten/Kota

(3) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota berisi:
a. Rencana Penetapan alokasi Kawasan Konservasi dan Preservasi
b. Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum dan Alur Tertentu
c. Rencana Kawasan prioritas sebagai dasar perencanaan Zonasi

Rencana Zona Pesisir

Pasal 11

(1). Rencana Zona merupakan Kawasan Prioritas dalam Rencana Tata Ruang Pesisir Propinsi dan Rencana Tata Ruang Pesisir Kabupaten / Kota

(2). Perencanaan Zona dilakukan dengan mempertimbangkan :

a. keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan

b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas lahan dan perairan

c. Pemanfaatan wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi wajib mengalokasikan ruang untuk akses masyarakat pesisir terhadap pemanfaatan sumberdayanya.

(3). Jangka waktu Rencana Zona Pesisir adalah 10 (sepuluh) tahun dan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun

(4). Rencana Zona Pesisir ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Pasal 12

(1) Setiap pemanfaatan wilayah pesisir wajib menetapkan ruang sempadan pantai dan muara.

(2) Pengaturan akses masyarakat dan ruang sempadan pantai dan muara ditetapkan dalam Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Data dan Informasi

Pasal 11

(1) Setiap orang dan/atau lembaga memiliki kesempatan yang sama untuk mengetahui dan memanfaatkan data dan informasi wilayah pesisir dengan tetap memperhatikan hak seseorang dan/atau lembaga yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Data dan/atau informasi tentang rencana dan pemanfaatan wilayah pesisir terbuka untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap orang dan/atau lembaga yang memanfaatkan dan mengelola wilayah pesisir wajib menyampaikan data dan informasi secara berkala kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memiliki dan mengelola data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, akurat, lengkap, terkini dan sesuai kebutuhan mengenai wilayah pesisir

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi data dan kelembagaan pengelola yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Proses Perencanaan

Pasal 12

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan inisiatif penyusunan rencana strategis dan rencana zonasi

(2) Masyarakat pesisir, dunia usaha, atau pihak lainnya dapat melakukan inisiatif penyusunan rencana zona rinci, sepanjang sesuai dengan peruntukkannya dan disetujui oleh pemerintah Kabupaten/Kota.

(3) Masyarakat pesisir, dunia usaha, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dapat melakukan inisiatif penyusunan rencana pengelolaan dan rencana aksi.

(4) Dalam hal inisiatif dilakukan oleh masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3), Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dapat memfasilitasi inisiatif masyarakat tersebut.

(5) Penyusunan rencana strategis dan Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Provinsi/Kabupaten wajib melalui mekanisme konsultasi publik.

(6) Pemerintah Provinsi berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana strategis dan rencana zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya, dan Pemerintah Provinsi yang berbatasan.

(7) Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana strategis dan rencana zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten/Kota untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi pemerintah, Pemerintah Desa/kelurahan yang berada di wilayahnya, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersebelahan.

(8) Masyarakat Pesisir, dunia usaha, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana pengelolaan dan rencana aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa/kelurahan yang berada di wilayahnya.

(9) Masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari berbagai pemangku kepentingan utama dalam rangka konsultasi publik, sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diterima selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah konsep rencana tersebut dikonsultasikan.

(10) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, wajib melakukan perbaikan serta mempublikasikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir berdasarkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap

(11) Bupati/Walikota menyampaikan secara resmi dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut kepada Gubernur dan Menteri.

(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB IV
PENGELOLAAN

Bagian Pertama
Pengelolaan Ekosistem

Paragraf 1
Pengelolaan Berdasarkan Ekosistem

Pasal 14

(1) Pengelolaan ekosistem pesisir meliputi pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang, hutan mangrove padang lamun, estuaria, laguna, rawa payau, gumuk pasir dan teluk.

(2) Dalam memanfaatkan ekosistem pesisir, setiap orang dilarang:

a. menambang terumbu karang;

b. pengambilan karang lebih kecil dari laju regenerasi terumbu karang, dan dilakukan bukan di kawasan konservasi laut ;

c. menggunakan peralatan, cara dan metode yang merusak;

d. memanfaatkan hutan mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik morfologi pantai dan sistem rotasi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem tersebut;

e. melakukan konversi areal hutan mangrove di kawasan budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis, penggunaan maksimum 60 (enam puluh) persen dalam satu kawasan ekologis, dan mempertahankan jalur hijau yang sesuai dengan karakteristik pantai;

f. menebang hutan mangrove untuk budidaya industri, pemukiman dan atau kegiatan lain tanpa disertai dengan dana kompensasi yang dapat digunakan untuk pemulihan ekosistem pesisir;

g. memanfaatkan hutan mangrove di wilayah yang kondisi mangrove nya telah mengalami kerusakan dan atau pada kawasan spesifik yang Hutan mangrove sulit tumbuh kembali;

h. memanfaatkan padang lamun yang tidak berdasarkan keberlanjutan fungsi ekosistem lamun;

i. mengelola teluk, estuaria dan laguna yang tidak memperhatikan daya dukung, sifat dan karakteristik wilayah dan Daerah Aliran Sungai;

j. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang secara teknis maupun ekologis, sosial dan budaya tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

(3) Penimbunan pantai hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dan dilaksanakan dengan hati-hati sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(4) Pada wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan dapat dilakukan kegiatan reklamasi

(5) Norma, standar dan pedoman pengendalian pemanfaatan ekosistem pesisir guna menjamin keberlanjutan fungsi dan keanekaragaman hayati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 2
Rehabilitasi dan Pengkayaan Sumberdaya

Pasal 15

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi dan pengkayaan sumberdaya pesisir pada lokasi yang telah mengalami kerusakan, eksploitasi lebih, miskin jenis dan/atau jumlah yang memiliki nilai ekologi, estetika, keunikan, kealamiahan dan kelangkaan.

(2) Rehabilitasi dan Pengkayaan sumberdaya pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati setempat.

Bagian Kedua
Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 16

(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan gugusan pulau secara menyeluruh dan terpadu.

(2) Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk kegiatan investasi yang menggunakan fasilitas PMA dan PMDN harus memperhatikan kepentingan nasional dan masyarakat setempat.

(3) Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk tujuan observasi, penelitian dan kompilasi data/specimen guna pengembangan ilmu pengetahuan, wajib melibatkan lembaga atau instansi terkait dan atau pakar setempat.

(4) Bagi perorangan atau badan usaha yang memanfaatkan pulau-pulau kecil, wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(5) Persetujuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah atas pemanfaatan oleh pihak lain terhadap pulau-pulau kecil yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan masyarakat, setelah melakukan konsultasi dengan masyarakat yang bersangkutan.

(6) Mekanisme persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) setelah dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat dengan pihak lain yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

(7) Setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil, disesuaikan dengan daya dukung lingkungan.

(8) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2, diprioritaskan untuk kepentingan:

a. konservasi;

b. pendidikan dan penelitian;

c. budidaya laut;

d. kepariwisataan;

e. usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari melalui perizinan khusus;

f. pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga.

(9) Pemanfaatan pulau-pulau kecil yang tidak termasuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

(10) Pemanfaatan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang merupakan bagian dari kegiatan industri/ekonomi, pertahanan dan keamanan strategis nasional penetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden.

(11) Titik pangkal pengukuran wilayah perairan Indonesia yang terdapat di pulau-pulau kecil, gosong, atol dan gugusan karang lainnya ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi.

(12) Pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Kawasan Konservasi

Pasal 17

(1) Konservasi Pesisir dalam bentuk konservasi kawasan/habitat dan konservasi spesies dan dan konservasi genetis

(2) Konservasi pesisir dilakukan pada kawasan dengan ciri khas tertentu yang mencakup ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil serta laut sebagai satu kesatuan ekosistem alami.

(3) Pemerintah mendorong perluasan kawasan konservasi pesisir, berukuran kecil maupun berukuran besar dengan tingkat dan kategori yang berbeda sebagai upaya pencapaian target kawasan konservasi laut nasional.

(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat mengembangkan jaringan kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki kesinambungan/hubungan yang satu dengan lainnya, baik secara nasional, regional maupun internasional.

Pengusulan dan Penetapan Kawasan Konservasi Pesisir

Pasal 18

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menetapkan kawasan konservasi pesisir yang berfungsi untuk:

a. Melindungi kesatuan ekosistem spesifik/lokal, termasuk species endemik;

b. Menghubungkan daerah/ekositem/ habitat untuk melindungi alur migrasi biota laut dan hubungan/konektifitas genetik dan lain-lain;

c. Melindungi habitat dan ekositem yang digunakan untuk biota langka dan biota yang terancam punah

d. Melindungi tempat bertelur, berkembang biak, mencari makan biota laut;

e. Mengidentifikasi daerah dengan budaya khusus atau tradisional;

f. Mendukung pengembangan ekowisata

(2) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud ayat (1) berdasarkan kategori tertentu.

(3) Kategori tertentu sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menteri

Pasal 19

(1) Pengusulan Kawasan Konservasi Pesisir dilakukan oleh perorangan, kelompok masyarakat atau instansi pemerintah dengan didukung oleh informasi yang cukup mengenai:.

a. Ekologi, termasuk biofisik, daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati serta ancaman-ancaman yang berdampak terhadap kelestarian ekosistem dan biota yang ada didalamnya;

b. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan di sekitar calon kawasan konservasi;

c. kepentingan atau keterkaitan kawasan tersebut untuk kawasan ekologi lainnya dalam suatu jaringan kesatuan ekologis;

d. aspirasi, keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal yang menggunakan kawasan tersebut, termasuk penggunaan untuk kepentingan tradisional atau budaya;

e. kapasitas dan kemampuan untuk mengelola kawasan tersebut;

f. informasi lain berdasarkan karakteristik setempat yang signifikan

(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai proses pengusulan kawasan konservasi pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Menteri

Kategori Kawasan Konservasi Pesisir

Pasal 20

(1) Konservasi Pesisir dilaksanakan dalam bentuk kawasan konservasi nasional, provinsi, Kabupaten/Kota dan desa.

(2) Menteri menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat nasional berdasarkan kriteria setelah mendengarkan pertimbangan dari Gubernur dan bupati/walikota terkait dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

(3) Kriteria kawasan konservasi kawasan pesisir tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. memiliki nilai konservasi nasional atau internasional

b. wilayah ruaya biota laut migrasi antar provinsi atau negara

(4) Gubernur menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat provinsi dalam bentuk peraturan daerah dengan mempertimbangkan usulan dari Bupati/Walikota dan pemangku kepentingan.

(5) Bupati/Walikota menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat Kabupaten/Kota dan tingkat desa setelah mendengarkan pertimbangan dari masyarakat dan masukan pemangku kepentingan setempat.

Pasal 21

1. Sistem Kawasan Konservasi Pesisir terdiri dari 4 (empat) kategori:

a. Pemanfaatan Secara Lestari Ekosistem Alami.

b. Konservasi Habitat dan Spesies.

c. Konservasi Bentang Alam.

d. Konservasi Ekosistem.

Pasal 22

(1) Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari :
a. zona inti;
b. zona pemanfaatan.

(2) Pada Zona inti dilarang semua kegiatan yang dapat mengancam kelestarian jenis, habitat dan ekosistem.

(3) Pada Zona Pemanfaatan langsung dan tak langsung, dilarang kegiatan-kegiatan yang dapat mengancam species atau habitat dan pemanfaatannya tidak berkelanjutan.

Bagian Keempat
Pengendalian Kerusakan
Paragraf 1
Akibat Kegiatan Manusia

Pasal 23

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan di wilayah pesisir yang dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan.

(2) Dalam rangka pengendalian dampak negatif atau kerusakan di wilayah pesisir, dilakukan upaya pencegahan, mitigasi dan atau pemulihan, yang meliputi :

a. Perlakuan non struktur

b. Perlakuan struktur
c. Pengaturan yang terintegrasi dari berbagai pelaku dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

(3) Pengendalian kerusakan pesisir akibat kegiatan manusia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 2
Akibat Alam

Pasal 24

(1) Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyusun perencanaan dan prosedur pelaksanaan pengendalian kerusakan akibat alam dan atau bencana alam maupun antisipasi terhadap terulangnya bencana alam di wilayah pesisir.

(2) Pengendalian kerusakan akibat alam dan atau bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya pencegahan dan atau mitigasi dan atau kesiap-siagaan dan atau tanggap-darurat dan atau pemulihan.

(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan dan/atau pengendalian kerusakan akibat bencana alam di wilayah pesisir diatur lebih lanjut oleh keputusan presiden.

BAB V
KELEMBAGAAN

Bagian Pertama
Peran Pemerintah
Paragraf 1
Pemerintah

Pasal 26

Dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah wajib:

a. Melakukan koordinasi dan memfasilitasi kegiatan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang bersifat lintas wilayah Provinsi.

b. Menetapkan pedoman, norma, dan standarisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu

c. Menetapkan akreditasi dan memberikan insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. bagi yang mengajukan program akreditasi

d. Menetapkan dan mengatur suaka perikanan, kawasan konservasi pesisir dan laut pada tingkat nasional dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi Provinsi dan Kabupaten/Kota serta kepentingan masyarakat pesisir.

e. Pemerintah mengatur dan memberikan hak pengusahaan perairan laut kepada dunia usaha atau masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

Paragraf 2
Provinsi

Pasal 27

(1) Pemerintah Provinsi mengkoordinasikan proses pengusulan dokumen perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau masyarakat.

(2) Pemerintah Provinsi menetapkan akreditasi dan memberikan insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. bagi yang mengajukan program akreditasi.

(3) Pemerintah Provinsi memfasilitasi kegiatan Pengelolaan wilayah yang bersifat lintas wilayah Kabupaten/Kota, menetapkan pedoman pelaksanaan dan petunjuk teknis Pengelolaan wilayah, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(4) Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berdasarkan kewenanganya.

(5) Pemerintah Provinsi mengatur hak pengusahaan perairan laut di wilayahnya kepada dunia usaha atau masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat pesisir.

(6) Pemerintah Provinsi menetapkan dan mengatur kawasan konservasi pesisir dan laut pada tingkat provinsi dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi Kabupaten/Kota serta kepentingan masyarakat lokal.

Paragraf 3
Kabupaten/Kota

Pasal 28

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota mengkoordinasikan, memfasilitasi dan menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi Pengelolaan Wilayah Pesisir.

(2) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan proses akreditasi pengusulan dokumen perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang disampaikan oleh masyarakat, dunia usaha ataupun kepala desa/lurah.

(3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur dan memberikan hak pengusahaan perairan laut di wilayahnya kepada dunia usaha atau masyarakat sesuai prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mengabaikan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat setempat.

(4) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur pemanfaatan kepada dunia usaha atau masyarakat sesuai prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mengabaikan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat setempat

(5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan dan mengatur kawasan konservasi pesisir pada tingkat Kabupaten/Kota dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi masyarakat local pesisir.

Paragraf 4
Desa

Pasal 29

(1) Pemerintah Desa bersama-sama dengan badan perwakilan desa atau nama lain sejenis berwenang menetapkan wilayah konservasi di tingkat Desa.

(2) Pemerintah Desa bersama-sama dengan badan perwakilan desa atau nama lain sejenis berwenang melaksanakan Pengelolaan wilayah pesisir tingkat desa.

Bagian Kedua
Lembaga Koordinasi Pengelolaan
Paragraf 1
Pemerintah

Pasal 30

(1) Dalam rangka melaksanakan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pemerintah dapat membentuk Badan Koordinasi atau menggunakan Badan Koordinasi yang telah ada

(2) Keanggotaan Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi pemerintah terkait, akademisi, organisasi non-pemerintah, perwakilan kelompok masyarakat dan dunia usaha

(3) Tugas pokok dan fungsi Badan Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:
a. Mengkoordinasikan kebijakan, keputusan dan pengaturan yang berhubungan dengan Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang berasal dari masing-masing instansi pemerintah;

b. membuat kajian program pengelolaan Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dan melakukan proses akreditasi;

c. membentuk, menyediakan, mengesahkan dan menyebarluaskan informasi pengelolaan sumberdaya pesisir ;

d. Mengkoordinasikan dan mendorong bantuan teknis kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat lokal;

e. memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menetapkan pedoman dan standar Pengelolaan Wilayah Pesisir bagi Pemerintah Provinsi dan PemerintahKabupaten/Kota.

Paragraf 2
Daerah

Pasal 31

(1) Dalam rangka melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir, Gubernur, Bupati/Walikota dapat membentuk badan koordinasi, atau menggunakan badan koordinasi yang telah ada

(2) Keanggotaan Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi pemerintah di daerah, akademisi, fungsional, organisasi non-pemerintah, perwakilan kelompok masyarakat dan dunia usaha, diketuai oleh Gubernur, Bupati/Walikota. Sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

BAB VI
PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Akreditasi Program
Paragraf 1
Umum

Pasal 32

(1) Pemerintah menyelenggarakan akreditasi terhadap program Pengelolaan Wilayah Pesisir.

(2) Akreditasi terhadap program Pengelolaan Wilayah Pesisir diajukan secara sukarela oleh:

a. Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah Kabupaten/Kota
c. Pemerintah Desa
d. Masyarakat
e. Dunia usaha

(3) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi diselenggarakan oleh Pemerintah.

(4) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi.

(5) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Desa, masyarakat, dan dunia usaha diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 33

Akreditasi Program Pengelolaan Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk :

a. memperbaiki mekanisme pengelolaan pesisir, meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat serta dunia usaha.

b. menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat pesisir, dengan tetap memberikan keleluasaan dalam menyusun program untuk memenuhi aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat;

c. menyelaraskan program nasional dan program daerah serta masyarakat.

d. Mengatur alokasi sumberdaya secara obyektif.

Pasal 34

(1) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diberikan pada tingkat Nasional dan Tingkat Daerah;

(2) Proses akreditasi diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat kebutuhan, cakupan program, kepentingan dan sumber insentif;

(3) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir tingkat daerah akan diatur lebih lanjut melalui keputusan kepala daerah.

Pasal 35

Kriteria perencanaan yang dapat diakreditasi diberikan berdasarkan:

a. rencana yang disusun sejalan dengan prinsip dan tujuan undang-undang ini;

b. rencana mengakomodasikan satu atau lebih prioritas program nasional;

c. penyusunan rencana telah menggambarkan partisipasi publik yang memadai, serta proses koordinasi dan tinjauan pada tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi;

d. rencana menggambarkan kegiatan yang terus berlanjut setelah pelaksanaan program selesai;

e. mengatasi permasalahan pokok, prioritas dan kebutuhan tingkat lokal;

f. memiliki potensi dampak yang cukup besar terhadap perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat;

g. adanya gambaran kemampuan institusi atau lembaga pelaksana;

h. adanya jaminan alokasi sebagian anggaran untuk pelaksanaan rencana dari pemrakarsa dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota;

i. rencana yang diajukan telah mempertimbangkan kepentingan nasional masyarakat sebagaimana diatur dalam undang-undangn ini;

j. rencana yang telah memenuhi pertimbangan terbaik, keilmuan dan sosioekonomi.

Paragraf 2
Akreditasi Nasional

Pasal 36

(1) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir tingkat nasional diajukan oleh:
a. Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah kabupaten/kota

(2) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir yang diajukan oleh provinsi dilengkapi dengan dokumen:
a. Rencana Strategis Provinsi;
b. Rencana Zona Provinsi;
c. Rencana Pengelolaan pada kawasan lintas Kabupaten/Kota;
d. Rencana Aksi pada kawasan lintas Kabupaten/Kota.

(3) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir yang diajukan oleh kabupaten dilengkapi dengan dokumen:
a. Rencana Strategis Kabupaten/Kota;
b. Rencana Zona Kabupaten/Kota;
c. Rencana Pengelolaan;
d. Rencana Aksi.

Pasal 37

Proses akreditasi nasional dapat diikuti oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Pemerintah Kabupaten/kota menyusun perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab III;

b. Pemerintah Kabupaten mempublikasikan rancangan Pengelolaan Wilayah Pesisir sebagai bahan kajian untuk memperoleh masukan dalam bentuk komentar dan bentuk lain partisipasi publik melalui konsultasi publik.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota menyerahkan dokumen akreditasi dan dokumen pelengkap kepada Pemerintah Provinsi;
d. berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, Pemerintah Provinsi mengkaji usulan perencanaan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan membuat rekomendasi untuk diakreditasi oleh Menteri;

e. Pemerintah Provinsi menyerahkan dokumen perencanaan dan dokumen pelengkap tingkat Provinsi kepada Menteri;

f. apabila evaluasi oleh Badan Koordinasi terhadap usulan pengelolaan telah memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan dalam pasal 35 maka program dapat memperoleh insentif berdasarkan Keputusan Menteri;

g. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam huruf f terhadap akreditasi program kabupaten /kota dilakukan berdasarkan:
1. rekomendasi dari gubernur;
2. rekomendasi dari badan koordinasi;
3. hasil pengecekan lapangan terhadap pemangku kepentingan.

h. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam huruf f terhadap akreditasi program provinsi dilakukan berdasarkan :
1. rekomendasi dari badan koordinasi;
2. hasil pengecekan lapangan terhadap pemangku kepentingan.

i. Keputusan Menteri tentang publikasi mengenai partisipasi, komentar dan konsultasi publik diberikan dengan menetapkan batas waktu tertentu;

j. berdasarkan komentar publik dan rekomendasi badan koordinasi, Menteri mengeluarkan keputusan akhir akreditasi dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan dokumen rencana pengelolaan.

k. apabila keputusan Menteri menetapkan penolakan terhadap rencana pengelolaan maka penolakan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 38

Tahapan pemberian akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir meliputi:

a. Akreditasi Tingkat I

b. Akreditasi Tingkat II

c. Akreditasi Tingkat III

Pasal 39

(1). Kriteria Akreditasi tingkat satu ditetapkan berdasarkan :
a. rencana strategis termasuk analisis garis dasar;
b. komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya, meliputi:
1. alokasi pembiayaan program;
2. memiliki sumberdaya manusia yang memadai dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir;
3. inisiasi perencanaan zona.

(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat I apabila rencana strategis yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, dan adanya komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya dan komitmen untuk mengimplementasikan sebagian dari kegiatan prioritas;

Pasal 40

(1). Selain kriteria akreditasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), kriteria Akreditasi tingkat dua ditetapkan berdasarkan:
a. rencana zona yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan;
b. komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya;
c. sebagian dari kegiatan prioritas yang telah dilaksanakan dengan baik dan memberikan hasil yang sesuai dengan ketetapan;
d. inisiasi program evaluasi, pengawasan dan pelaksanaan.

(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat II apabila rencana strategis, rencana zona telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya dan implementasi sebagian dari kegiatan prioritas telah dilaksanakan dengan baik

Pasal 41

(1). Selain kriteria akreditasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1), kriteria Akreditasi tingkat tiga ditetapkan berdasarkan :
a. adanya rencana pengelolaan /rencana aksi pada lokasi prioritas;
b. adanya sistem pemantauan dan evaluasi yang berfungsi dengan baik, dan penegakan aturan meliputi, penerapan sanksi;
c. lembaga yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan yang telah berfungsi dengan baik;
d. tersedianya kerangka hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam bentuk Peraturan Daerah;
e. rencana zona telah dilaksanakan dengan baik;
f. penunjukkan keberhasilan dalam melaksanakan beberapa kegiatan Pengelolaan Wilayah Pesisir mengkonservasi sumberdaya pesisir oleh desa atau kabupaten/kota.

(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat III apabila rencana strategis, rencana zona, rencana pengelolaan dan rencana aksi telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, implementasi program yang telah memberikan dampak yang baik, adanya sistem monitoring dan evaluasi serta tersedianya kerangka hukum.

Pasal 42

Proses akreditasi Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dilakukan oleh Badan Koordinasi atau Badan Koordinasi Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Paragraf 3
Insentif

Pasal 43

(1) Pemerintah memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah, masyarakat yang telah mendapatkan akreditasi program pengelolaan pesisir terpadu maupun dalam pelaksanaan program Pengelolaan Wilayah khusus, dalam bentuk:
a. bantuan teknis;
b. bantuan keuangan;
c. konsistensi; dan
d. fasilitasi.

(2) Jenis, jumlah dan bentuk insentif diberikan sesuai dengan tingkat akreditasi yang ditetapkan, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah serta kemampuan Pemerintah.

(3) Pengaturan mengenai mekanisme pemberian insentif diatur lebih lanjut melalui keputusan menteri.

Pasal 44

Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Khusus yang diinisiasi oleh dunia usaha hanya bisa mendapat insentif dalam bentuk bantuan teknis, fasilitasi dan konsistensi.

Pasal 45

Bantuan keuangan program Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu yang telah diakreditasi maupun yang telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan program Pengelolaan Wilayah Pesisir khusus bersumber dari anggaran Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun sumber-sumber lain yang sah.

Pasal 46

Kegiatan yang bersifat strategis dan merupakan kepentingan nasional hanya dapat dapat diberikan program insentif setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan pemerintah setempat.

Paragraf 4
Program Kegiatan Khusus

Pasal 47

Program Kegiatan Khusus dilakukan oleh:
a. institusi atau pelaksana program yang memadai;
b. pemrakarsa dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang memberikan jaminan alokasi sebagian anggaran

Pasal 48

Kriteria untuk Program Kegiatan Khusus dilakukan berdasarkan
a. prinsip dan tujuan undang-undang ini;
b. satu atau lebih prioritas program nasional;
c. rencana pengelolaan pesisir yang telah diakreditasi;
d. yang memperlihatkan berkelanjutan;
e. permasalahan pokok, prioritas dan kebutuhan tingkat lokal;
f. lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat meperbaiki secara signifikan.

Pasal 49

(1) Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Khusus dapat disetujui berdasarkan:
a. persetujuan tertulis tentang prosedur sukarela oleh Pemerintah;
b. usulan program Pengelolaan wilayah pesisir khusus serta;
c. pengakuan pemerintah terhadap proses dan metode programnya yang telah memenuhi kriteria sesuai dengan undang-undang ini.

(2) Pengakuan Pemerintah terhadap pengelolaan berbasis Pengelolaan wilayah Pesisir yang telah dilakukan dan atau diusulkan oleh masyarakat perlu disertai dengan fasilitas.

Pasal 50

(1). Program Kegiatan Khusus diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2). Bupati/ Walikota mengkaji, menilai dan menetapkan Program Kegiatan Khusus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

(3). Pemerintah Kabupaten/Kota mengusulkan Program Kegiatan Khusus kepada Pemerintah Provinsi

(4). Usulan Program Kegiatan Khusus yang telah dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi dapat disetujui oleh Pemerintah.

(5). Usulan Program Kegiatan Khusus yang telah disetujui oleh Pemerintah dapat diberikan insentif.

Bagian Kedua
Perizinan

Pasal 51

Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan izin pengusahaan

Pasal 52

Hak pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir diberikan di semua wilayah kecuali pada kawasan konservasi suaka perikanan, alur pelayaran dan kawasan tertentu.

Pasal 53

Hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 diberikan kepada:
a. perorangan,
b. kelompok masyarakat,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

Pasal 54

Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 55

(1) Badan Koordinasi wajib mengkaji materi ijin yang dikeluarkan untuk mencapai keterpaduan.

(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijadikan bahan untuk menyempurnakan izin yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah.

Pasal 56

Pemberian ijin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan laut dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan masyarakat setempat.

Pasal 57

Pengaturan lebih lanjut mengenai izin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dilakukan oleh Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pemantauan, Pengawasan dan Evaluasi

Pasal 58

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir

Pasal 59

Masyarakat berhak berperan serta dalam proses pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan pengelolaan wilayah pesisir

Pasal 60

Setiap penanggung jawab program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib menyampaikan laporan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 61

Evaluasi untuk melakukan tindakan tertentu dilakukan terhadap setiap kegiatan yang berdasarkan hasil pemantauan dan pengawasan diperkirakan menimbulkan dampak negatif pada wilayah pesisir

Pasal 62

Dalam rangka pemantauan, pengawasan dan evaluasi pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan audit.

BAB VII
PELIBATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Bagian Pertama
Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 63

(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendorong dan memfasilitasi kegiatan usaha masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.

(2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin keadilan bagi masyarakat pesisir atas nilai atau manfaat dari pengelolaan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh pihak lain.

(3). Setiap kegiatan yang berkaitan dengan Pengelolaan wilayah pesisir wajib mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kemitraan lainnya secara aktif.

(4). Dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyadaran masyarakat, advokasi, dan pendampingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

(5). Pedoman pemberdayaan masyarakat pesisir diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri berdasarkan pertimbangan pemangku kepentingan utama

Pasal 64

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan proses konsultasi publik pada setiap pengambilan keputusan dalam program Pengelolaan wilayah pesisir

Bagian Kedua
Pengakuan Hak Masyarakat

Pasal 65

(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik sumberdaya wilayah pesisir untuk mengusahakan tanah pesisir dan perairan pesisir yang telah dimanfaatkannya secara turun temurun dan berkelanjutan.

(2). Pengakuan, penghormatan dan perlindungan Hak-hak masyarakat adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga penegakan hukum adatnya.

(3). Pengakuan hak-hak masyarakat adat dapat dilakukan berdasarkan prakarsa kelompok masyarakat itu sendiri melalui penetapan oleh Pemerintah Daerah dan/atau skema akreditasi.

(4). Pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui skema Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut melalui Peraturan Daerah.

(5). Pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui skema akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diajukan berdasarkan prakarsa masyarakat itu sendiri dan diproses oleh badan koordinasi atau lembaga yang berwenang dalam melakukan proses akreditasi berdasarkan undang-undang ini.

(6). Syarat-syarat pengajuan untuk mendapat pengakuan hak masyarakat adat seperti yang diatur pada ayat (4) tersebut adalah:

a. adanya wilayah pesisir yang dikelola dengan batas-batas pengelolaan yang jelas;

b. adanya kelompok masyarakat yang mengelola dengan organisasi kelembagaan yang jelas;

c. adanya norma-norma atau aturan pemanfaatan sumberdaya yang diterapkan dalam pelaksanaan sehari-hari;

d. adanya rencana pengelolaan yang disusun masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan atau kelaziman yang berlaku;

e. mempunyai asal usul sejarah yang jelas dan diakui oleh masyarakat adat itu sendiri.
(7). Hak masyarakat lokal yang tidak termasuk dalam masyarakat adat dapat diakui sepanjang telah menunjukkan pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan berdasarkan skema akreditasi.

(8). Pemberian hak pengusahaan perairan laut , dapat diberikan pada wilayah pesisir yang dialokasikan untuk pemanfaatan umum, kecuali pada kawasan konservasi suaka perikanan, alur pelayaran dan kawasan tertentu.

Bagian Ketiga
Kewajiban Masyarakat

Pasal 66

Masyarakat pengelola pesisir wajib:

a. mengembangkan budaya dan teknologi yang ramah lingkungan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir

b. mematuhi program Pengelolaan Wilayah Pesisir yang telah disepakati bersama atau diakreditasi.

c. memperhatikan keberlanjutan ekosistem pesisir yang dimanfaatkannya.

d. pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir

e. melaporkan pengelolaan sesuai dengan mekanisme pelaporan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

BAB XVIII
PENYELESAIAN KONFLIK

Bagian Pertama
Pencegahan Sengketa

Pasal 67

(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengupayakan tindakan-tindakan secara sukarela guna mencegah terjadinya sengketa diantara para pihak.

(2). Dalam rangka mengupayakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendahulukan upaya kerjasama dan cara-cara damai lainnya.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa
Paragraf 1
Umum

Pasal 68

Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.

Pasal 69

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Paragraf 2
di Luar Pengadilan

Pasal 70

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.

(2) Setiap pihak yang bersengketa harus sepakat dengan tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(4) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan wilayah pesisir.

(5) Dalam penyelesaian konflik di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu penyelesaian konflik.

Paragraf 3
Melalui Pengadilan

Pasal 71

(1) Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
Paragraf 2

Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 72
(1) Pengelolaan wilayah pesisir yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Wilayah Pesisir yang memnggunakan bahan berbahya beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan Pengelolaan wilayah pesisir.

(2) Untuk menghitung jenis dan besar ganti rugi dilakukan penelitian yang komprehensif dengan metode perhitungan ilmiah baku seperti Analisis Biaya Manfaat, metode penilaian kontinjen.

(3) Pengelolaan wilayah pesisir dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan Wilayah Pesisir disebabkan salah suatu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan;
b. adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia;
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan Wilayah Pesisir

(4) Bila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Bagian Ketiga

Pasal 73

(1) Sengketa yang timbul karena keputusan instansi pemerintah tentang perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih instansi pemerintah harus diselesaikan melalui keputusan administrasi pemerintah.

(2) Instansi pemerintah yang bersengketa dapat meminta Badan Koordinasi sebagai penengah, bilamana sengketa yang timbul tidak dapat diselesaikan melalui keputusan administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Jika sengketa yang terjadi antar pihak dalam tingkat yang berbeda dan/atau antar pemerintah dan masyarakat, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada Pejabat yang lebih tinggi.

(4) Apabila pihak-pihak yang bersengketa menolak keputusan pejabat yang lebih tinggi dan/atau pejabat yang lebih tinggi belum memberikan keputusan paling lama 30 (tiga puluh) hari maka pihak-pihak yang bersengketa dapat meminta Badan Koordinasi sebagai penengah dalam proses penyelesaian sengketa.

(5) Tata cara dan syarat-syarat untuk mengajukan keberatan dan peran badan koordinasi sebagai penengah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Gugatan Perwakilan

Pasal 74

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan.

Pasal 75

Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan atau perusakan pesisir sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang pesisir dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 76

(1). Dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab Pengelolaan wilayah sesuai dengan pola kemitraan, organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan Pengelolaan wilayah pesisir yang lestari dan berkelanjutan.

(2). Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi.

(3). Organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi masyarakat yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirkannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi Wilayah Pesisir
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 77

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah Pengelolaan Wilayah Pesisir oleh orang, masyarakat dan/atau organisasi masyarakat mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.

BAB IX
PENYIDIKAN

Pasal 78

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Tentara Nasional Iindonesia-Angkatan Laut dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan wilayah pesisir, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:

a. menerima laporan pengaduan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir

c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;

d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;

e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;

f. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;

h. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

i. membuat dan menandatangani berita acara;

j. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut penyalaggunaan Pengelolaan wilayah pesisir.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

BAB X
GANTI RUGI

Bagian Pertama
Ganti Rugi dan Sanksi Administratif

Pasal 79

(1). Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan untuk membayar ganti rugi dan/atau tindakan tertentu yang diperlukan.

(2). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerusakan wilayah pesisir, maka ganti rugi diberikan kepada Negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi kawasan pesisir.

(3). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerugian kepada orang atau badan hukum, maka ganti rugi diberikan kepada orang atau badan hukum yang dirugikan.

(4). Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan membayar ganti rugi.

Pasal 80
Setiap pemegang izin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dikenakan sanksi administratif.

Pasal 81
(1). Pemerintah dapat menghentikan dan atau menarik kembali insentif yang telah diberikan kepada pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat yang telah memperoleh akreditasi apabila program pengelolaan wilayah pesisir tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.

(2). Pemerintah mewajibkan pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk memperbaiki ketidaksesuaian antara program pengelolaan dengan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3). Apabila pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian tersebut, pemerintah dapat melakukan tindakan:
a. pencabutan sementara akreditasi program; dan
b. pencabutan tetap akreditasi program

Bagian Kedua
Sanksi Pidana

Pasal 82

(1). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama..... tahun dan/atau denda paling banyak Rp..........(......).

(2). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp...........

(3). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, g, h, dan j diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............

(4). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............

(5). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............

(6). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).

(7). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).

(8). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, g, h, dan j, diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).

(9). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama .. (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).

(10). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama .. (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).

Pasal 83

Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 21, 23 dan 25, apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

Pasal 84

(1). Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam menyelamatkan kekayaan negara diberikan insentif.

(2). Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam keputusan menteri.

Bagian Ketiga
Sanksi Adat

Pasal 85

Setiap pelanggaran tertentu yang bersifat melanggar hukum adat setempat di wilayah pesisir dikenakan sanksi adat setempat.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 86

Program Pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang ditetapkan sebelum lahirnya undang-undang ini, serta lembaga/instansi yang ditunjuk sebelum dibentuknya Badan Koordinasi sesuai dengan UU ini dapat dianggap tetap berlaku dan melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini.

Pasal 87

Setiap instansi yang terkait dengan Pengelolaan wilayah pesisir menjalankan undang-undang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan kewenangannya masing-masing.

Pasal 88

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undangan ini tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 89

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal ...

SEKRETARIS NEGARA/SEKRETARIS
KABINET REPUBLIK INDONESIA,

Ttd
BAMBANG KESOWO, SH., LL.M
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ....... NOMOR........
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA INDONESIA NOMOR TAHUN

======================================

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

Pasal 1
Cukup jelas

Dalam hal jarak pulau yang satu dengan lain lebih dari 12 mil laut, maka perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dalam satu bioecoregion pengelolaan Bioecoregion, termasuk perencanaan pengelolaan yang berbatasan dengan negara lain
Tata cara pengukuran 12 mil laut dari garis pantai akan mengikuti tata cara penetapan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan

Pasal 2
Azas keterpaduan dikembangkan dengan mengintegrasikan antara kebijakan dan perencanaan berbagai sektor pemerintahan pada berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan vertical maupun dengan pemerintah daerah, keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dengan menggunakan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses-proses pengelolaan pesisir.

Azas berkelanjutan diterapkan agar pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nirhayati pesisir, dimana pemanfaatan sumberdaya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya pesisir, dan pemanfaatan sumberdaya yang belum diketahui dampaknya, harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.

Azas Peran Serta Masyarakat menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui apa dan bagaimana kebijaksanaan pemerintah, mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir. Selain itu prinsip ini menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut dan agar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan secara adil.

Azaz Keterbukaan

Azaz Berkeadilan

Azas Kepastian Hukum diperlukan untuk, menjamin hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat melalui mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir.

Azas Konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir yang telah diakreditasi.

Azas Desentralisasi Pengelolaan merupakan penyerahan kewenangan dalam bidang pengelolaan wilayah pesisir kepada pemerintah daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali untuk wilayah-wilayah khusus yang memerlukan perlakuan khusus

Pasal 3
Cukup jelas

Pengertian melindungi adalah mencegah masuknya spesies asing atau tidak boleh menggunakan ekosistem tersebut
Mengkonservasi adalah
Memanfaatkan adalah
Merehabilitasi adalah pemulihan dan restorasi
Memperkaya adalah

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
a. Rencana Strategis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berfungsi dalam menetapkan strategi untuk mencapai visi, tujuan, dan sasaran program Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.

b. Rencana Zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b berfungsi dalam pengalokasian ruang pesisir dari rencana tata ruang pesisir Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta rencana zona rinci bagi lokasi-lokasi tertentu, dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.

c. Rencana Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c berfungsi mengarahkan pengelolaan sumberdaya pesisir secara seimbang antara aspek pemanfaatan dan perlindungan, pada suatu kawasan yang diprioritaskan, sesuai dengan peruntukkannya, berlaku 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali

d. Rencana Aksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d berfungsi dalam menuntun penetapan kegiatan beserta alokasi sumberdayanya, sesuai dengan rencana pengelolaan dan berlaku maksimal 3 (tiga) tahun.

Ayat (4)
Renstra yang dimaksud merupakan bagian dari Renstra Umum yang disusun oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota

Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1).
Masyarakat dapat juga menentukan suatu Kawasan untuk disusun rencana zonasinya jika tidak terdapat dalam Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten/Kota dan ini dijadikan masukan dalam peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup Jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Ayat (4)
Fasilitasi dapat berupa bantuan teknis dan administratif
Ayat (5)
Beri penjelasan tentang mekanisme konsultasi publik

Pasal 14
Cukup Jelas

Ayat (3)
Penimbunan pantai adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengubah bentang pantai menjadi daratan
Yang dimaksud dengan bersifat strategis nasional adalah untuk tujuan pertahanan keamanan, perlindungan terhadap fasilitas vital dan pengamanan batas wilayah

Ayat (4)
Reklamasi pantai adalah kegiatan yang dilakukan pada wilayah yang secara teknis maupun ekologis telah mengalami kerusakan dan diarahkan untuk perbaikan lingkungan.

Pasal 15
Cukup Jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Gugusan pulau adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya

Ayat (10)

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Bagi perorangan dan badan usaha yang sudah memanfaatkan pulau-pulau kecil sebelum berlakunya undang-undang ini diwajibkan berkonsultasi untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperbolehkan maksimal 50 (lima puluh) persen dari luas daratan pulau tersebut di luar kawasan konservasi.

Ayat (8)

Ayat (9)
Cukup jelas

Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas

Ayat (12)
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup Jelas

Pasal 18
Cukup Jelas

Pasal 19
Cukup Jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Kawasan Konservasi masyarakat adalah kawasan konservasi yang menjadi tanggungjawab berbagai kelompok masyarakat di dalam wilayah administrasi desa

Pasal 21
Ayat (6)
Huruf a
Kawasan Pemanfaatan secara lestari adalah kawasan yang memiliki sistem alami yang masih asli, dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang, yang pada saat bersamaan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk produk dan jasa-jasa.

Huruf b
Konservasi Habitat dan Spesies seperti : suaka margasarwa laut, suaka mamalia laut.

Huruf c
Kawasan Konservasi bentang alam adalah kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan laut yang sesuai, yang memperlihatkan terjadinya interaksi antara manusia dan alam setiap saat yang menghasilkan suatu karakteristik yang berbeda dengan keindahan estetikanya, ekologinya, dan nilai budaya serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Pemeliharaan terhadap kesatuan interaksi tradisional di atas adalah penting guna perlindungan, pemeliharaan dan perkembangan kawasan tersebut. Kawasan konservasi bentang alam seperti Taman wisata Alam Laut.
Huruf d
Kawasan Konservasi Ekosistem adalah daerah alami di pesisir, pulau-pulau kecil dan laut yang ditujukan untuk: perlindungan kesatuan ekologis dari satu atau lebih ekosistem
Termasuk Kawasan Konservasi Ekosistem seperti: Taman Laut Nasional, Taman Laut Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 22
Ayat (1)
Zona pemanfaatan dapat secara langsung atau tidak langsung
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

a. Perlakuan non struktur seperti pengembangan sistem perigantan dini dan aturan-aturan yang menata bangunan fisik di daerah rawan bencana.

b. Perlakuan struktur terbagi dua yaitu pendekatan struktur lunak, dan struktur keras. Pendekatan struktur lunak lebih banyak menggunakan vegatif seperti mangrove, terumbu karang dll. Pendekatan struktur keras menggunakan bangunan fisik seperti breakwater.

c. Penerapan pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu dalam mengeliminir dampak tindakan manusia yang menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, misalnya penurunan

Ayat (3)
Pengaturan secara teknis akan disusun dalam pedoman teknis pendendalian kerusakan pesisir

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tindakan tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi upaya darurat untuk mengatasi kondisi sesudah bencana terjadi.
Tindakan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi:
a. restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi;
b. pemindahan penduduk.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 26

Butir (a)
Cukup jelas
Butir (b)
Penyusunan pedoman, norma dan standar sebagaimana dimaksud dalam dikonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, organisasi non-pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Konsultasi dengan instansi yang bertanggung jawab dibidang kelautan dan perikanan dalam penyusunan pedoman, norma dan standar yang berhubungan dengan kegiatan masing-masing sektor yang memiliki dampak pada wilayah pesisir.

Butir (c)
Pemberian insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya program PPW-PPT secara sukarela dan akreditasi.

Butir (d)
Dengan terbukanya pertimbangan ilmiah pada penetapan kawasan konservasi memberikan peluang perubahan status kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Butir (e)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hak pengusahaan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kwalitas sumberdaya pesisir sehingga pengertian kepentingan sosial ekonomi masyarakat dapat berlangsung secara terus menerus.
Yang dimaksud dengan wilayah provinsi yaitu mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/ kota

Ayat (6)
Pertimbangan ilmiah merupakan hasil dari studi mendalam

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Wilayah konservasi laut tingkat desa adalah daerah perlindungan laut tingkat desa
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Pengertian dapat membentuk atau menggunakan Badan Koordinasi yang ada dengan maksud memberikan keleluasaan dalam proses pembentukan Badan atau Lembaga baru sesuai dengan kebutuhan. Badan koordinasi yang sudah ada misalnya Dewan Maritim Indonesia, atau Presiden menunjuk satu Departemen atau LPND yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ayat (2)
Organsisasi Non Pemerintah (LSM) yang memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Berbadan Hukum
2. Punya kepedulian terhadap masalah kelautan
3. Punya kegiatan

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Dengan memperhatikan keragaman bentuk lembaga di daerah maka pembentukan Badan Koordinasi di daerah sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pembentukan lembaga di daerah. Alternatif lain Gubernur dapat menggunakan Dewan Maritim Daerah, atau menunjuk satu Dinas atau Badan otonom yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
a. Kelompok masyarakat, desa atau dunia usaha dapat mengusulkan program Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk diakreditasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, atau Pemerintah Provinsi atau Pemerintah;

b. bagi program yang diharapkan akan mendapat insentif dari Pemerintah Kabupaten/Kota maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
c. bagi program yang diharapkan akan mendapatkan insentif dari Pemerintah Provinsi maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi;

d. bagi program yang diharapkan akan mendapatkan insentif dari Pemerintah maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Provinsi atau Badan Koordinasi Daerah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37

huruf a
Cukup jelas

huruf b
Cara lain partisipasi publik adalah dengar pendapat dalam satu pertemuan yang direncanakan, keterangan ahli yang didatangkan khusus untuk itu, dan musyawarah dan sebagainya. Edaran kepada tokoh-tokoh dan pimpinan masyarakat, pengumuman dalam surat kabar lokal, dan cara lainnya

huruf c
Dokumen akreditasi yang dimaksud sesuai dengan bab III

huruf d
Cukup Jelas

huruf e
Cukup Jelas

huruf f
Cukup Jelas

huruf g
Cukup Jelas
huruf h
Cukup Jelas

huruf I
Cukup Jelas

huruf j
Cukup Jelas

huruf k
Cukup Jelas

Pasal 38
Ayat (1)
huruf a
Akreditasi tingtat I juga disebut akreditasi tingkat dasar

huruf b
Akreditasi tingkat II juga disebut akreditasi tingkat lanjutan

huruf c
Akreditasi Tingtat III juga disebut akreditasi tingkat utama

Pasal 39
Cukup Jelas

Pasal 40
Cukup Jelas

Pasal 41
Cukup Jelas

Pasal 42
Cukup Jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas
Proses partisipasi publik dapat meliputi, tetapi tidak terbatas pada :
a. mempublikasikan dan mendistribusikan rancangan keputusan di daerah yang akan terkena dampak;
b. mendapatkan masukan terhadap rancangan keputusan sesuai waktu yang cukup untuk menerima saran;
c. setelah periode waktu komentar, menyusunan keputusan terahir dan memberikan alasannya, meliputi jawaban bagi komentar publik diterima di dalam periode waktu komentar

Pasal 65
Ayat (1)
Mengusahakan bukan menguasai atau memiliki
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Pencegahan sengketa atau konflik dapat meliputi :
a. antisipasi munculnya sengketa/konflik;
b. mencegah perluasan sengketa/konflik;
c. mencegah terjadinya pengulangan konflik kekerasan;
d. pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap konflik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Tindakan hukum tertentu seperti :
1. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2. memulinhkan fungsi lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
3. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 72
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak/strict liability ialah bentuk tanggung jawab yang berbeda dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata yakni unsur kesalahan tidak diperlukan dalam proses pembuktian.

Ayat (2)
Metode perhitungan ilmiah baku ialah tata cara menghitung jenis dan jumlah kerugian berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik perhitungan dar ilmu-ilmu terkait seperti menurunnya produktivitas perikanan dengan menggunakan regenerasi biota dalam mata rantai makanan (Food Chain) kehidupan ikan .

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas
(note: kalau ada kemungkinan izin lain selain pemanfaatan dan pengusahaan tanah perairan)
Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Sebelum Badan Koordinasi yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini terbentuk semua lembaga atau Badan yang mempunyai tanggung jawab dibidang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tetap berlaku sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Cukup jelas

Pasal 89
Cukup jelas