RUU PWP (versi 10 Oktober 2003)
Kawan-kawan Miliser,
Di bawah ini saya kirimkan draf :
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR (RUU PWP)
versi Draft 10 Oktober 2003
Draf ini mungkin sudah ketinggalan jaman :-)), kalau kawan-kawan ada mempunyai draf yang terbaru mohon kebaikan hatinya untuk dikirimkan kepada Moderator Milis Lingkungan dg alamat di : senoaji@cbn.net.id
Menurut Riza Damanik, tukang kampanye pesisir dan kelautan Eknas Walhi, dari tgl 26 - 30 Desember 2005 Komisi IV DPR RI akan mengadakan pertemuan di beberapa daerah utk membahas RUU PWP ini. Maklum kejar setoran akhir tahun. :--))
Semoga bermanfaat.
saalam,
djuni
=================================
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH
Draft 10 Oktober 2003
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
JAKARTA, Oktober 2003
Menimbang :
a. bahwa sumberdaya pesisir sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia;
b. bahwa wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam, harus dikelola secara adil dan bijaksana, berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pengembangan ekonomi, sosial-budaya, serta mencegah terjadinya degradasi pada sumberdaya alam, pesisir dan laut;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, perlu ditetapkan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang - Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terpadu adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir secara berkelanjutan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan antar sektor dan antar pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Sumberdaya Pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir, meliputi hutan bakau, terumbu karang, padang lamun dan ikan.
3. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional.
4. Wilayah Pesisir adalah kawasan peralihan, yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan laut, secara geographis kearah darat sejauh pasang tertinggi dan kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai.
5. Pulau-pulau kecil adalah kesatuan ekologis dari pulau-pulau dengan luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut dari garis pantai.
6. Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau-pulau kecil yang berada pada garis pangkal kepulauan Indonesia.
7. Zona Penataan ruang adalah rencana pemanfaatan ruang
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
8. Zona adalah bagian dari wilayah yang disepakati bersama antar berbagai pemangku kepentingan untuk penggunaan tertentu.
9. Zonasi adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, merupakan upaya penetapan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan budidaya, pemukiman dan lindung) sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam sistem tersebut. Penetapan batas-batas fungsional wilayah pesisir erat berkaitan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat pesisir.
10. Kawasan pesisir adalah bagian dari wilayah pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi, untuk dipertahankan keberadaannya.
11. Kawasan konservasi pesisir dan laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mencakup ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil serta laut yang mempunyai fungsi konservasi dan fungsi pemanfaatan yang berkelanjutan.
12. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan.
13. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
14. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari kawasan pesisir yang ditetapkan sebagai peruntukkan umum.
15. Akreditasi adalah prosedur sukarela yang meliputi penilaian, penghargaan dan insentif terhadap program Pengelolaan wilayah pesisir
16. Badan koordinasi adalah badan yang dibentuk untuk menangani mekanisme koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan atau instansi pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi tersebut.
17. Pemangku kepentingan adalah
18. Pemangku kepentingan utama adalah para pengguna sumber daya pesisir yang mempunyai kepentingan langsung, seperti nelayan, penyelam, dan pengusaha perikanan.
19. Daya dukung adalah batas layaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis, yang dapat didukung oleh suatu lingkungan; sering berarti jumlah tertentu individu dari suatu species yang dapat didukung oleh suatu habitat atau, dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan/atau penggunaan sumberdaya.
20. Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfataan dengan tidak mengekstrak sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi karena fungsinya sebagai media transportasi, fungsi rekreasi dan pariwisata, fungsi sumber energi, fungsi cagar budaya, dan lain-lain.
21. Sistem pengelolaan tradisional adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan, aturan, tata cara penyusunan atau kebiasaan yang diyakini bersama dapat menjamin sumberdaya alamnya.
22. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi, mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya pesisir secara lestari.
23. Masyarakat pesisir terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang merupakan komunitas nelayan dan bukan nelayan yang basis tempat tinggalnya disekitar wilayah pesisir dan mata pencahariannya tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir
24. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai adat istiadat yang diwarisi dari leluhurnya
25. Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang memperlihatkan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
26. Bencana pesisir adalah perubahan sifat fisik dan/atau hayati yang menimbulkan kerusakan atau korban jiwa di wilayah pesisir
27. Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
28. Gugatan perwakilan adalah prosedur pengajuan gugatan keperdataan, dimana satu atau beberapa orang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sejumlah masyarakat, dimana wakil dan yang diwakilinya mengalami kerugian yang sama.
29. Rehabilitasi adalah proses pengembalikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.
30. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan wilayah pesisir
BAB II
AZAS, TUJUAN, SASARAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan berlandaskan asas keterpaduan, berkelanjutan, peran serta masyarakat, keterbukaan, berkeadilan, kepastian hukum, konsistensi, dan desentralisasi
Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir bertujuan:
a. memperbaiki dan mendorong insisiatif pengelolaan sumberdaya pesisir serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir secara adil, seimbang dan berkelanjutan sesuai ketentuan dalam undang-undang ini;
b. melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan, merehabilitasi dan memperkaya sumberdaya pesisir serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
c. memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir, serta mendorong inisiatif pengelolaan oleh masyarakat melalui pengakuan hak masyarakat adat dan lokal, pemberdayaan masyarakat, serta penumbuhan rasa tanggung jawab.
Pasal 4
Sasaran dari Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah:
a. terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu;
b. terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu melalui proses pelibatan pemangku kepentingan;
c. terciptanya sinergi dan keharmonisan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
d. terciptanya kepastian hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha;
e. meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di wilayah pesisir
Pasal 5
(1) Ruang Lingkup Undang-undang ini mengatur pengelolaan wilayah pesisir mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, akreditasi program, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, pencegahan dan penyelesaian sengketa.
(2) Undang-undang ini berlaku di wilayah pesisir
BAB III
PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
Bagian Pertama
Perencanaan Terpadu
Paragraf 1
Umum
Pasal 6
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan norma, standar dan manual perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir
(2) Pemerintah Daerah menyusun Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dengan melibatkan masyarakat
(3) Unsur-unsur Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), terdiri dari:
a. rencana strategis;
b. rencana zonasi;
c. rencana pengelolaan;
d. rencana aksi.
(4) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun rencana strategis secara terpadu sesuai dengan kewenangannya masing-masing di wilayah pesisir.
(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dapat menyusun rencana zonasi dan zona rinci di kawasan pesisir bagi lokasi tertentu.
(6) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyelenggarakan penyusunan rencana pengelolaan dan rencana aksi pada kawasan pesisir sesuai dengan kebutuhannya.
Paragraf 2
Perencanaan Zonasi
Rencana Zonasi Provinsi
Pasal 7
(1) Rencana Zonasi Pesisir Wilayah Provinsi, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(2) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi merupakan strategi dan struktur pemanfaatan ruang pesisir wilayah Provinsi
(3) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Provinsi berisi :
a. rencana kawasan konservasi, rencana kawasan pemanfaatan, rencana kawasan tertentu dan alur
b. Arahan Sistem pusat permukiman di pesisir
c. Arahan pengembangan sistem prasarana di pesisir
Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir Kabupaten/Kota
Pasal 8
(1) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(2) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota merupakan Strategi dan struktur pemanfaatan ruang pesisir Kabupaten/Kota
(3) Rencana Zonasi Pesisir Kabupaten/Kota berisi:
a. Rencana Penetapan alokasi Kawasan Konservasi dan Preservasi
b. Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum dan Alur Tertentu
c. Rencana Kawasan prioritas sebagai dasar perencanaan Zonasi
Rencana Zona Pesisir
Pasal 11
(1). Rencana Zona merupakan Kawasan Prioritas dalam Rencana Tata Ruang Pesisir Propinsi dan Rencana Tata Ruang Pesisir Kabupaten / Kota
(2). Perencanaan Zona dilakukan dengan mempertimbangkan :
a. keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan
b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas lahan dan perairan
c. Pemanfaatan wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi wajib mengalokasikan ruang untuk akses masyarakat pesisir terhadap pemanfaatan sumberdayanya.
(3). Jangka waktu Rencana Zona Pesisir adalah 10 (sepuluh) tahun dan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun
(4). Rencana Zona Pesisir ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Pasal 12
(1) Setiap pemanfaatan wilayah pesisir wajib menetapkan ruang sempadan pantai dan muara.
(2) Pengaturan akses masyarakat dan ruang sempadan pantai dan muara ditetapkan dalam Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Data dan Informasi
Pasal 11
(1) Setiap orang dan/atau lembaga memiliki kesempatan yang sama untuk mengetahui dan memanfaatkan data dan informasi wilayah pesisir dengan tetap memperhatikan hak seseorang dan/atau lembaga yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Data dan/atau informasi tentang rencana dan pemanfaatan wilayah pesisir terbuka untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap orang dan/atau lembaga yang memanfaatkan dan mengelola wilayah pesisir wajib menyampaikan data dan informasi secara berkala kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memiliki dan mengelola data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, akurat, lengkap, terkini dan sesuai kebutuhan mengenai wilayah pesisir
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi data dan kelembagaan pengelola yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Proses Perencanaan
Pasal 12
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan inisiatif penyusunan rencana strategis dan rencana zonasi
(2) Masyarakat pesisir, dunia usaha, atau pihak lainnya dapat melakukan inisiatif penyusunan rencana zona rinci, sepanjang sesuai dengan peruntukkannya dan disetujui oleh pemerintah Kabupaten/Kota.
(3) Masyarakat pesisir, dunia usaha, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dapat melakukan inisiatif penyusunan rencana pengelolaan dan rencana aksi.
(4) Dalam hal inisiatif dilakukan oleh masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3), Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dapat memfasilitasi inisiatif masyarakat tersebut.
(5) Penyusunan rencana strategis dan Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Provinsi/Kabupaten wajib melalui mekanisme konsultasi publik.
(6) Pemerintah Provinsi berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana strategis dan rencana zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayahnya, dan Pemerintah Provinsi yang berbatasan.
(7) Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana strategis dan rencana zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten/Kota untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi pemerintah, Pemerintah Desa/kelurahan yang berada di wilayahnya, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersebelahan.
(8) Masyarakat Pesisir, dunia usaha, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyebarluaskan konsep dasar rencana pengelolaan dan rencana aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan melalui sarana media komunikasi yang tersedia dan efektif dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa/kelurahan yang berada di wilayahnya.
(9) Masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari berbagai pemangku kepentingan utama dalam rangka konsultasi publik, sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diterima selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah konsep rencana tersebut dikonsultasikan.
(10) Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, wajib melakukan perbaikan serta mempublikasikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir berdasarkan masukan, tanggapan dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap
(11) Bupati/Walikota menyampaikan secara resmi dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut kepada Gubernur dan Menteri.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Pengelolaan Ekosistem
Paragraf 1
Pengelolaan Berdasarkan Ekosistem
Pasal 14
(1) Pengelolaan ekosistem pesisir meliputi pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang, hutan mangrove padang lamun, estuaria, laguna, rawa payau, gumuk pasir dan teluk.
(2) Dalam memanfaatkan ekosistem pesisir, setiap orang dilarang:
a. menambang terumbu karang;
b. pengambilan karang lebih kecil dari laju regenerasi terumbu karang, dan dilakukan bukan di kawasan konservasi laut ;
c. menggunakan peralatan, cara dan metode yang merusak;
d. memanfaatkan hutan mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik morfologi pantai dan sistem rotasi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem tersebut;
e. melakukan konversi areal hutan mangrove di kawasan budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis, penggunaan maksimum 60 (enam puluh) persen dalam satu kawasan ekologis, dan mempertahankan jalur hijau yang sesuai dengan karakteristik pantai;
f. menebang hutan mangrove untuk budidaya industri, pemukiman dan atau kegiatan lain tanpa disertai dengan dana kompensasi yang dapat digunakan untuk pemulihan ekosistem pesisir;
g. memanfaatkan hutan mangrove di wilayah yang kondisi mangrove nya telah mengalami kerusakan dan atau pada kawasan spesifik yang Hutan mangrove sulit tumbuh kembali;
h. memanfaatkan padang lamun yang tidak berdasarkan keberlanjutan fungsi ekosistem lamun;
i. mengelola teluk, estuaria dan laguna yang tidak memperhatikan daya dukung, sifat dan karakteristik wilayah dan Daerah Aliran Sungai;
j. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang secara teknis maupun ekologis, sosial dan budaya tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
(3) Penimbunan pantai hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dan dilaksanakan dengan hati-hati sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(4) Pada wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan dapat dilakukan kegiatan reklamasi
(5) Norma, standar dan pedoman pengendalian pemanfaatan ekosistem pesisir guna menjamin keberlanjutan fungsi dan keanekaragaman hayati ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 2
Rehabilitasi dan Pengkayaan Sumberdaya
Pasal 15
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi dan pengkayaan sumberdaya pesisir pada lokasi yang telah mengalami kerusakan, eksploitasi lebih, miskin jenis dan/atau jumlah yang memiliki nilai ekologi, estetika, keunikan, kealamiahan dan kelangkaan.
(2) Rehabilitasi dan Pengkayaan sumberdaya pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati setempat.
Bagian Kedua
Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 16
(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan gugusan pulau secara menyeluruh dan terpadu.
(2) Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk kegiatan investasi yang menggunakan fasilitas PMA dan PMDN harus memperhatikan kepentingan nasional dan masyarakat setempat.
(3) Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk tujuan observasi, penelitian dan kompilasi data/specimen guna pengembangan ilmu pengetahuan, wajib melibatkan lembaga atau instansi terkait dan atau pakar setempat.
(4) Bagi perorangan atau badan usaha yang memanfaatkan pulau-pulau kecil, wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(5) Persetujuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah atas pemanfaatan oleh pihak lain terhadap pulau-pulau kecil yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan masyarakat, setelah melakukan konsultasi dengan masyarakat yang bersangkutan.
(6) Mekanisme persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) setelah dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat dengan pihak lain yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
(7) Setiap pemanfaatan pulau-pulau kecil, disesuaikan dengan daya dukung lingkungan.
(8) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2, diprioritaskan untuk kepentingan:
a. konservasi;
b. pendidikan dan penelitian;
c. budidaya laut;
d. kepariwisataan;
e. usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari melalui perizinan khusus;
f. pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga.
(9) Pemanfaatan pulau-pulau kecil yang tidak termasuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
(10) Pemanfaatan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) yang merupakan bagian dari kegiatan industri/ekonomi, pertahanan dan keamanan strategis nasional penetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden.
(11) Titik pangkal pengukuran wilayah perairan Indonesia yang terdapat di pulau-pulau kecil, gosong, atol dan gugusan karang lainnya ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi.
(12) Pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Pasal 17
(1) Konservasi Pesisir dalam bentuk konservasi kawasan/habitat dan konservasi spesies dan dan konservasi genetis
(2) Konservasi pesisir dilakukan pada kawasan dengan ciri khas tertentu yang mencakup ekosistem pesisir, pulau-pulau kecil serta laut sebagai satu kesatuan ekosistem alami.
(3) Pemerintah mendorong perluasan kawasan konservasi pesisir, berukuran kecil maupun berukuran besar dengan tingkat dan kategori yang berbeda sebagai upaya pencapaian target kawasan konservasi laut nasional.
(4) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat mengembangkan jaringan kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki kesinambungan/hubungan yang satu dengan lainnya, baik secara nasional, regional maupun internasional.
Pengusulan dan Penetapan Kawasan Konservasi Pesisir
Pasal 18
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menetapkan kawasan konservasi pesisir yang berfungsi untuk:
a. Melindungi kesatuan ekosistem spesifik/lokal, termasuk species endemik;
b. Menghubungkan daerah/ekositem/ habitat untuk melindungi alur migrasi biota laut dan hubungan/konektifitas genetik dan lain-lain;
c. Melindungi habitat dan ekositem yang digunakan untuk biota langka dan biota yang terancam punah
d. Melindungi tempat bertelur, berkembang biak, mencari makan biota laut;
e. Mengidentifikasi daerah dengan budaya khusus atau tradisional;
f. Mendukung pengembangan ekowisata
(2) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud ayat (1) berdasarkan kategori tertentu.
(3) Kategori tertentu sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menteri
Pasal 19
(1) Pengusulan Kawasan Konservasi Pesisir dilakukan oleh perorangan, kelompok masyarakat atau instansi pemerintah dengan didukung oleh informasi yang cukup mengenai:.
a. Ekologi, termasuk biofisik, daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati serta ancaman-ancaman yang berdampak terhadap kelestarian ekosistem dan biota yang ada didalamnya;
b. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan di sekitar calon kawasan konservasi;
c. kepentingan atau keterkaitan kawasan tersebut untuk kawasan ekologi lainnya dalam suatu jaringan kesatuan ekologis;
d. aspirasi, keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal yang menggunakan kawasan tersebut, termasuk penggunaan untuk kepentingan tradisional atau budaya;
e. kapasitas dan kemampuan untuk mengelola kawasan tersebut;
f. informasi lain berdasarkan karakteristik setempat yang signifikan
(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai proses pengusulan kawasan konservasi pesisir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Menteri
Kategori Kawasan Konservasi Pesisir
Pasal 20
(1) Konservasi Pesisir dilaksanakan dalam bentuk kawasan konservasi nasional, provinsi, Kabupaten/Kota dan desa.
(2) Menteri menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat nasional berdasarkan kriteria setelah mendengarkan pertimbangan dari Gubernur dan bupati/walikota terkait dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
(3) Kriteria kawasan konservasi kawasan pesisir tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. memiliki nilai konservasi nasional atau internasional
b. wilayah ruaya biota laut migrasi antar provinsi atau negara
(4) Gubernur menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat provinsi dalam bentuk peraturan daerah dengan mempertimbangkan usulan dari Bupati/Walikota dan pemangku kepentingan.
(5) Bupati/Walikota menetapkan Kawasan Konservasi Pesisir tingkat Kabupaten/Kota dan tingkat desa setelah mendengarkan pertimbangan dari masyarakat dan masukan pemangku kepentingan setempat.
Pasal 21
1. Sistem Kawasan Konservasi Pesisir terdiri dari 4 (empat) kategori:
a. Pemanfaatan Secara Lestari Ekosistem Alami.
b. Konservasi Habitat dan Spesies.
c. Konservasi Bentang Alam.
d. Konservasi Ekosistem.
Pasal 22
(1) Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari :
a. zona inti;
b. zona pemanfaatan.
(2) Pada Zona inti dilarang semua kegiatan yang dapat mengancam kelestarian jenis, habitat dan ekosistem.
(3) Pada Zona Pemanfaatan langsung dan tak langsung, dilarang kegiatan-kegiatan yang dapat mengancam species atau habitat dan pemanfaatannya tidak berkelanjutan.
Bagian Keempat
Pengendalian Kerusakan
Paragraf 1
Akibat Kegiatan Manusia
Pasal 23
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan di wilayah pesisir yang dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan.
(2) Dalam rangka pengendalian dampak negatif atau kerusakan di wilayah pesisir, dilakukan upaya pencegahan, mitigasi dan atau pemulihan, yang meliputi :
a. Perlakuan non struktur
b. Perlakuan struktur
c. Pengaturan yang terintegrasi dari berbagai pelaku dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
(3) Pengendalian kerusakan pesisir akibat kegiatan manusia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 2
Akibat Alam
Pasal 24
(1) Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyusun perencanaan dan prosedur pelaksanaan pengendalian kerusakan akibat alam dan atau bencana alam maupun antisipasi terhadap terulangnya bencana alam di wilayah pesisir.
(2) Pengendalian kerusakan akibat alam dan atau bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya pencegahan dan atau mitigasi dan atau kesiap-siagaan dan atau tanggap-darurat dan atau pemulihan.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan dan/atau pengendalian kerusakan akibat bencana alam di wilayah pesisir diatur lebih lanjut oleh keputusan presiden.
BAB V
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Peran Pemerintah
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 26
Dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah wajib:
a. Melakukan koordinasi dan memfasilitasi kegiatan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang bersifat lintas wilayah Provinsi.
b. Menetapkan pedoman, norma, dan standarisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu
c. Menetapkan akreditasi dan memberikan insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. bagi yang mengajukan program akreditasi
d. Menetapkan dan mengatur suaka perikanan, kawasan konservasi pesisir dan laut pada tingkat nasional dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi Provinsi dan Kabupaten/Kota serta kepentingan masyarakat pesisir.
e. Pemerintah mengatur dan memberikan hak pengusahaan perairan laut kepada dunia usaha atau masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Paragraf 2
Provinsi
Pasal 27
(1) Pemerintah Provinsi mengkoordinasikan proses pengusulan dokumen perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau masyarakat.
(2) Pemerintah Provinsi menetapkan akreditasi dan memberikan insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota. bagi yang mengajukan program akreditasi.
(3) Pemerintah Provinsi memfasilitasi kegiatan Pengelolaan wilayah yang bersifat lintas wilayah Kabupaten/Kota, menetapkan pedoman pelaksanaan dan petunjuk teknis Pengelolaan wilayah, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berdasarkan kewenanganya.
(5) Pemerintah Provinsi mengatur hak pengusahaan perairan laut di wilayahnya kepada dunia usaha atau masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
(6) Pemerintah Provinsi menetapkan dan mengatur kawasan konservasi pesisir dan laut pada tingkat provinsi dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi Kabupaten/Kota serta kepentingan masyarakat lokal.
Paragraf 3
Kabupaten/Kota
Pasal 28
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota mengkoordinasikan, memfasilitasi dan menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi Pengelolaan Wilayah Pesisir.
(2) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan proses akreditasi pengusulan dokumen perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang disampaikan oleh masyarakat, dunia usaha ataupun kepala desa/lurah.
(3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur dan memberikan hak pengusahaan perairan laut di wilayahnya kepada dunia usaha atau masyarakat sesuai prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mengabaikan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat setempat.
(4) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk mengatur pemanfaatan kepada dunia usaha atau masyarakat sesuai prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mengabaikan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat setempat
(5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan dan mengatur kawasan konservasi pesisir pada tingkat Kabupaten/Kota dengan memperhatikan pertimbangan ilmiah, rekomendasi masyarakat local pesisir.
Paragraf 4
Desa
Pasal 29
(1) Pemerintah Desa bersama-sama dengan badan perwakilan desa atau nama lain sejenis berwenang menetapkan wilayah konservasi di tingkat Desa.
(2) Pemerintah Desa bersama-sama dengan badan perwakilan desa atau nama lain sejenis berwenang melaksanakan Pengelolaan wilayah pesisir tingkat desa.
Bagian Kedua
Lembaga Koordinasi Pengelolaan
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 30
(1) Dalam rangka melaksanakan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pemerintah dapat membentuk Badan Koordinasi atau menggunakan Badan Koordinasi yang telah ada
(2) Keanggotaan Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi pemerintah terkait, akademisi, organisasi non-pemerintah, perwakilan kelompok masyarakat dan dunia usaha
(3) Tugas pokok dan fungsi Badan Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:
a. Mengkoordinasikan kebijakan, keputusan dan pengaturan yang berhubungan dengan Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang berasal dari masing-masing instansi pemerintah;
b. membuat kajian program pengelolaan Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dan melakukan proses akreditasi;
c. membentuk, menyediakan, mengesahkan dan menyebarluaskan informasi pengelolaan sumberdaya pesisir ;
d. Mengkoordinasikan dan mendorong bantuan teknis kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat lokal;
e. memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menetapkan pedoman dan standar Pengelolaan Wilayah Pesisir bagi Pemerintah Provinsi dan PemerintahKabupaten/Kota.
Paragraf 2
Daerah
Pasal 31
(1) Dalam rangka melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir, Gubernur, Bupati/Walikota dapat membentuk badan koordinasi, atau menggunakan badan koordinasi yang telah ada
(2) Keanggotaan Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi pemerintah di daerah, akademisi, fungsional, organisasi non-pemerintah, perwakilan kelompok masyarakat dan dunia usaha, diketuai oleh Gubernur, Bupati/Walikota. Sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
BAB VI
PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Akreditasi Program
Paragraf 1
Umum
Pasal 32
(1) Pemerintah menyelenggarakan akreditasi terhadap program Pengelolaan Wilayah Pesisir.
(2) Akreditasi terhadap program Pengelolaan Wilayah Pesisir diajukan secara sukarela oleh:
a. Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah Kabupaten/Kota
c. Pemerintah Desa
d. Masyarakat
e. Dunia usaha
(3) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi diselenggarakan oleh Pemerintah.
(4) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi.
(5) Akreditasi yang diajukan oleh Pemerintah Desa, masyarakat, dan dunia usaha diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pasal 33
Akreditasi Program Pengelolaan Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk :
a. memperbaiki mekanisme pengelolaan pesisir, meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat serta dunia usaha.
b. menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat pesisir, dengan tetap memberikan keleluasaan dalam menyusun program untuk memenuhi aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat;
c. menyelaraskan program nasional dan program daerah serta masyarakat.
d. Mengatur alokasi sumberdaya secara obyektif.
Pasal 34
(1) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diberikan pada tingkat Nasional dan Tingkat Daerah;
(2) Proses akreditasi diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat kebutuhan, cakupan program, kepentingan dan sumber insentif;
(3) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir tingkat daerah akan diatur lebih lanjut melalui keputusan kepala daerah.
Pasal 35
Kriteria perencanaan yang dapat diakreditasi diberikan berdasarkan:
a. rencana yang disusun sejalan dengan prinsip dan tujuan undang-undang ini;
b. rencana mengakomodasikan satu atau lebih prioritas program nasional;
c. penyusunan rencana telah menggambarkan partisipasi publik yang memadai, serta proses koordinasi dan tinjauan pada tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi;
d. rencana menggambarkan kegiatan yang terus berlanjut setelah pelaksanaan program selesai;
e. mengatasi permasalahan pokok, prioritas dan kebutuhan tingkat lokal;
f. memiliki potensi dampak yang cukup besar terhadap perbaikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat;
g. adanya gambaran kemampuan institusi atau lembaga pelaksana;
h. adanya jaminan alokasi sebagian anggaran untuk pelaksanaan rencana dari pemrakarsa dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
i. rencana yang diajukan telah mempertimbangkan kepentingan nasional masyarakat sebagaimana diatur dalam undang-undangn ini;
j. rencana yang telah memenuhi pertimbangan terbaik, keilmuan dan sosioekonomi.
Paragraf 2
Akreditasi Nasional
Pasal 36
(1) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir tingkat nasional diajukan oleh:
a. Pemerintah Provinsi
b. Pemerintah kabupaten/kota
(2) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir yang diajukan oleh provinsi dilengkapi dengan dokumen:
a. Rencana Strategis Provinsi;
b. Rencana Zona Provinsi;
c. Rencana Pengelolaan pada kawasan lintas Kabupaten/Kota;
d. Rencana Aksi pada kawasan lintas Kabupaten/Kota.
(3) Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir yang diajukan oleh kabupaten dilengkapi dengan dokumen:
a. Rencana Strategis Kabupaten/Kota;
b. Rencana Zona Kabupaten/Kota;
c. Rencana Pengelolaan;
d. Rencana Aksi.
Pasal 37
Proses akreditasi nasional dapat diikuti oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Pemerintah Kabupaten/kota menyusun perencanaan Pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab III;
b. Pemerintah Kabupaten mempublikasikan rancangan Pengelolaan Wilayah Pesisir sebagai bahan kajian untuk memperoleh masukan dalam bentuk komentar dan bentuk lain partisipasi publik melalui konsultasi publik.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota menyerahkan dokumen akreditasi dan dokumen pelengkap kepada Pemerintah Provinsi;
d. berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, Pemerintah Provinsi mengkaji usulan perencanaan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan membuat rekomendasi untuk diakreditasi oleh Menteri;
e. Pemerintah Provinsi menyerahkan dokumen perencanaan dan dokumen pelengkap tingkat Provinsi kepada Menteri;
f. apabila evaluasi oleh Badan Koordinasi terhadap usulan pengelolaan telah memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan dalam pasal 35 maka program dapat memperoleh insentif berdasarkan Keputusan Menteri;
g. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam huruf f terhadap akreditasi program kabupaten /kota dilakukan berdasarkan:
1. rekomendasi dari gubernur;
2. rekomendasi dari badan koordinasi;
3. hasil pengecekan lapangan terhadap pemangku kepentingan.
h. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam huruf f terhadap akreditasi program provinsi dilakukan berdasarkan :
1. rekomendasi dari badan koordinasi;
2. hasil pengecekan lapangan terhadap pemangku kepentingan.
i. Keputusan Menteri tentang publikasi mengenai partisipasi, komentar dan konsultasi publik diberikan dengan menetapkan batas waktu tertentu;
j. berdasarkan komentar publik dan rekomendasi badan koordinasi, Menteri mengeluarkan keputusan akhir akreditasi dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan dokumen rencana pengelolaan.
k. apabila keputusan Menteri menetapkan penolakan terhadap rencana pengelolaan maka penolakan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 38
Tahapan pemberian akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir meliputi:
a. Akreditasi Tingkat I
b. Akreditasi Tingkat II
c. Akreditasi Tingkat III
Pasal 39
(1). Kriteria Akreditasi tingkat satu ditetapkan berdasarkan :
a. rencana strategis termasuk analisis garis dasar;
b. komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya, meliputi:
1. alokasi pembiayaan program;
2. memiliki sumberdaya manusia yang memadai dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir;
3. inisiasi perencanaan zona.
(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat I apabila rencana strategis yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, dan adanya komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya dan komitmen untuk mengimplementasikan sebagian dari kegiatan prioritas;
Pasal 40
(1). Selain kriteria akreditasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), kriteria Akreditasi tingkat dua ditetapkan berdasarkan:
a. rencana zona yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan;
b. komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya;
c. sebagian dari kegiatan prioritas yang telah dilaksanakan dengan baik dan memberikan hasil yang sesuai dengan ketetapan;
d. inisiasi program evaluasi, pengawasan dan pelaksanaan.
(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat II apabila rencana strategis, rencana zona telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, komitmen untuk melanjutkan kegiatan perencanaan tahap berikutnya dan implementasi sebagian dari kegiatan prioritas telah dilaksanakan dengan baik
Pasal 41
(1). Selain kriteria akreditasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1), kriteria Akreditasi tingkat tiga ditetapkan berdasarkan :
a. adanya rencana pengelolaan /rencana aksi pada lokasi prioritas;
b. adanya sistem pemantauan dan evaluasi yang berfungsi dengan baik, dan penegakan aturan meliputi, penerapan sanksi;
c. lembaga yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan yang telah berfungsi dengan baik;
d. tersedianya kerangka hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam bentuk Peraturan Daerah;
e. rencana zona telah dilaksanakan dengan baik;
f. penunjukkan keberhasilan dalam melaksanakan beberapa kegiatan Pengelolaan Wilayah Pesisir mengkonservasi sumberdaya pesisir oleh desa atau kabupaten/kota.
(2). Menteri dapat menerbitkan akreditasi tingkat III apabila rencana strategis, rencana zona, rencana pengelolaan dan rencana aksi telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, implementasi program yang telah memberikan dampak yang baik, adanya sistem monitoring dan evaluasi serta tersedianya kerangka hukum.
Pasal 42
Proses akreditasi Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dilakukan oleh Badan Koordinasi atau Badan Koordinasi Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Paragraf 3
Insentif
Pasal 43
(1) Pemerintah memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah, masyarakat yang telah mendapatkan akreditasi program pengelolaan pesisir terpadu maupun dalam pelaksanaan program Pengelolaan Wilayah khusus, dalam bentuk:
a. bantuan teknis;
b. bantuan keuangan;
c. konsistensi; dan
d. fasilitasi.
(2) Jenis, jumlah dan bentuk insentif diberikan sesuai dengan tingkat akreditasi yang ditetapkan, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah serta kemampuan Pemerintah.
(3) Pengaturan mengenai mekanisme pemberian insentif diatur lebih lanjut melalui keputusan menteri.
Pasal 44
Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Khusus yang diinisiasi oleh dunia usaha hanya bisa mendapat insentif dalam bentuk bantuan teknis, fasilitasi dan konsistensi.
Pasal 45
Bantuan keuangan program Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu yang telah diakreditasi maupun yang telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan program Pengelolaan Wilayah Pesisir khusus bersumber dari anggaran Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun sumber-sumber lain yang sah.
Pasal 46
Kegiatan yang bersifat strategis dan merupakan kepentingan nasional hanya dapat dapat diberikan program insentif setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat dan pemerintah setempat.
Paragraf 4
Program Kegiatan Khusus
Pasal 47
Program Kegiatan Khusus dilakukan oleh:
a. institusi atau pelaksana program yang memadai;
b. pemrakarsa dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang memberikan jaminan alokasi sebagian anggaran
Pasal 48
Kriteria untuk Program Kegiatan Khusus dilakukan berdasarkan
a. prinsip dan tujuan undang-undang ini;
b. satu atau lebih prioritas program nasional;
c. rencana pengelolaan pesisir yang telah diakreditasi;
d. yang memperlihatkan berkelanjutan;
e. permasalahan pokok, prioritas dan kebutuhan tingkat lokal;
f. lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat meperbaiki secara signifikan.
Pasal 49
(1) Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Khusus dapat disetujui berdasarkan:
a. persetujuan tertulis tentang prosedur sukarela oleh Pemerintah;
b. usulan program Pengelolaan wilayah pesisir khusus serta;
c. pengakuan pemerintah terhadap proses dan metode programnya yang telah memenuhi kriteria sesuai dengan undang-undang ini.
(2) Pengakuan Pemerintah terhadap pengelolaan berbasis Pengelolaan wilayah Pesisir yang telah dilakukan dan atau diusulkan oleh masyarakat perlu disertai dengan fasilitas.
Pasal 50
(1). Program Kegiatan Khusus diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2). Bupati/ Walikota mengkaji, menilai dan menetapkan Program Kegiatan Khusus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
(3). Pemerintah Kabupaten/Kota mengusulkan Program Kegiatan Khusus kepada Pemerintah Provinsi
(4). Usulan Program Kegiatan Khusus yang telah dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi dapat disetujui oleh Pemerintah.
(5). Usulan Program Kegiatan Khusus yang telah disetujui oleh Pemerintah dapat diberikan insentif.
Bagian Kedua
Perizinan
Pasal 51
Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan izin pengusahaan
Pasal 52
Hak pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir diberikan di semua wilayah kecuali pada kawasan konservasi suaka perikanan, alur pelayaran dan kawasan tertentu.
Pasal 53
Hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 diberikan kepada:
a. perorangan,
b. kelompok masyarakat,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
Pasal 54
Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 55
(1) Badan Koordinasi wajib mengkaji materi ijin yang dikeluarkan untuk mencapai keterpaduan.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijadikan bahan untuk menyempurnakan izin yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah.
Pasal 56
Pemberian ijin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan laut dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan masyarakat setempat.
Pasal 57
Pengaturan lebih lanjut mengenai izin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dilakukan oleh Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pemantauan, Pengawasan dan Evaluasi
Pasal 58
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
Pasal 59
Masyarakat berhak berperan serta dalam proses pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
Pasal 60
Setiap penanggung jawab program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib menyampaikan laporan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 61
Evaluasi untuk melakukan tindakan tertentu dilakukan terhadap setiap kegiatan yang berdasarkan hasil pemantauan dan pengawasan diperkirakan menimbulkan dampak negatif pada wilayah pesisir
Pasal 62
Dalam rangka pemantauan, pengawasan dan evaluasi pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan audit.
BAB VII
PELIBATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Bagian Pertama
Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 63
(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendorong dan memfasilitasi kegiatan usaha masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan.
(2). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin keadilan bagi masyarakat pesisir atas nilai atau manfaat dari pengelolaan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh pihak lain.
(3). Setiap kegiatan yang berkaitan dengan Pengelolaan wilayah pesisir wajib mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kemitraan lainnya secara aktif.
(4). Dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyadaran masyarakat, advokasi, dan pendampingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
(5). Pedoman pemberdayaan masyarakat pesisir diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri berdasarkan pertimbangan pemangku kepentingan utama
Pasal 64
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan proses konsultasi publik pada setiap pengambilan keputusan dalam program Pengelolaan wilayah pesisir
Bagian Kedua
Pengakuan Hak Masyarakat
Pasal 65
(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik sumberdaya wilayah pesisir untuk mengusahakan tanah pesisir dan perairan pesisir yang telah dimanfaatkannya secara turun temurun dan berkelanjutan.
(2). Pengakuan, penghormatan dan perlindungan Hak-hak masyarakat adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga penegakan hukum adatnya.
(3). Pengakuan hak-hak masyarakat adat dapat dilakukan berdasarkan prakarsa kelompok masyarakat itu sendiri melalui penetapan oleh Pemerintah Daerah dan/atau skema akreditasi.
(4). Pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui skema Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut melalui Peraturan Daerah.
(5). Pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui skema akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diajukan berdasarkan prakarsa masyarakat itu sendiri dan diproses oleh badan koordinasi atau lembaga yang berwenang dalam melakukan proses akreditasi berdasarkan undang-undang ini.
(6). Syarat-syarat pengajuan untuk mendapat pengakuan hak masyarakat adat seperti yang diatur pada ayat (4) tersebut adalah:
a. adanya wilayah pesisir yang dikelola dengan batas-batas pengelolaan yang jelas;
b. adanya kelompok masyarakat yang mengelola dengan organisasi kelembagaan yang jelas;
c. adanya norma-norma atau aturan pemanfaatan sumberdaya yang diterapkan dalam pelaksanaan sehari-hari;
d. adanya rencana pengelolaan yang disusun masyarakat itu sendiri berdasarkan kebiasaan atau kelaziman yang berlaku;
e. mempunyai asal usul sejarah yang jelas dan diakui oleh masyarakat adat itu sendiri.
(7). Hak masyarakat lokal yang tidak termasuk dalam masyarakat adat dapat diakui sepanjang telah menunjukkan pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan berdasarkan skema akreditasi.
(8). Pemberian hak pengusahaan perairan laut , dapat diberikan pada wilayah pesisir yang dialokasikan untuk pemanfaatan umum, kecuali pada kawasan konservasi suaka perikanan, alur pelayaran dan kawasan tertentu.
Bagian Ketiga
Kewajiban Masyarakat
Pasal 66
Masyarakat pengelola pesisir wajib:
a. mengembangkan budaya dan teknologi yang ramah lingkungan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir
b. mematuhi program Pengelolaan Wilayah Pesisir yang telah disepakati bersama atau diakreditasi.
c. memperhatikan keberlanjutan ekosistem pesisir yang dimanfaatkannya.
d. pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir
e. melaporkan pengelolaan sesuai dengan mekanisme pelaporan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
BAB XVIII
PENYELESAIAN KONFLIK
Bagian Pertama
Pencegahan Sengketa
Pasal 67
(1). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengupayakan tindakan-tindakan secara sukarela guna mencegah terjadinya sengketa diantara para pihak.
(2). Dalam rangka mengupayakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendahulukan upaya kerjasama dan cara-cara damai lainnya.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa
Paragraf 1
Umum
Pasal 68
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
Pasal 69
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Paragraf 2
di Luar Pengadilan
Pasal 70
(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.
(2) Setiap pihak yang bersengketa harus sepakat dengan tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(4) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan wilayah pesisir.
(5) Dalam penyelesaian konflik di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu penyelesaian konflik.
Paragraf 3
Melalui Pengadilan
Pasal 71
(1) Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 72
(1) Pengelolaan wilayah pesisir yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Wilayah Pesisir yang memnggunakan bahan berbahya beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan Pengelolaan wilayah pesisir.
(2) Untuk menghitung jenis dan besar ganti rugi dilakukan penelitian yang komprehensif dengan metode perhitungan ilmiah baku seperti Analisis Biaya Manfaat, metode penilaian kontinjen.
(3) Pengelolaan wilayah pesisir dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan Wilayah Pesisir disebabkan salah suatu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan;
b. adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia;
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan Wilayah Pesisir
(4) Bila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Bagian Ketiga
Pasal 73
(1) Sengketa yang timbul karena keputusan instansi pemerintah tentang perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih instansi pemerintah harus diselesaikan melalui keputusan administrasi pemerintah.
(2) Instansi pemerintah yang bersengketa dapat meminta Badan Koordinasi sebagai penengah, bilamana sengketa yang timbul tidak dapat diselesaikan melalui keputusan administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika sengketa yang terjadi antar pihak dalam tingkat yang berbeda dan/atau antar pemerintah dan masyarakat, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada Pejabat yang lebih tinggi.
(4) Apabila pihak-pihak yang bersengketa menolak keputusan pejabat yang lebih tinggi dan/atau pejabat yang lebih tinggi belum memberikan keputusan paling lama 30 (tiga puluh) hari maka pihak-pihak yang bersengketa dapat meminta Badan Koordinasi sebagai penengah dalam proses penyelesaian sengketa.
(5) Tata cara dan syarat-syarat untuk mengajukan keberatan dan peran badan koordinasi sebagai penengah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Gugatan Perwakilan
Pasal 74
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan.
Pasal 75
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan atau perusakan pesisir sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang pesisir dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Pasal 76
(1). Dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab Pengelolaan wilayah sesuai dengan pola kemitraan, organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan Pengelolaan wilayah pesisir yang lestari dan berkelanjutan.
(2). Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi.
(3). Organisasi masyarakat berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi masyarakat yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirkannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi Wilayah Pesisir
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 77
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah Pengelolaan Wilayah Pesisir oleh orang, masyarakat dan/atau organisasi masyarakat mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 78
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Tentara Nasional Iindonesia-Angkatan Laut dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan wilayah pesisir, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:
a. menerima laporan pengaduan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir
c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;
d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;
e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Pengelolaan wilayah pesisir;
f. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pengelolaan wilayah pesisir;
h. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
i. membuat dan menandatangani berita acara;
j. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut penyalaggunaan Pengelolaan wilayah pesisir.
(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
BAB X
GANTI RUGI
Bagian Pertama
Ganti Rugi dan Sanksi Administratif
Pasal 79
(1). Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan untuk membayar ganti rugi dan/atau tindakan tertentu yang diperlukan.
(2). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerusakan wilayah pesisir, maka ganti rugi diberikan kepada Negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi kawasan pesisir.
(3). Apabila perbuatan melanggar hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) menimbulkan kerugian kepada orang atau badan hukum, maka ganti rugi diberikan kepada orang atau badan hukum yang dirugikan.
(4). Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan membayar ganti rugi.
Pasal 80
Setiap pemegang izin pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dikenakan sanksi administratif.
Pasal 81
(1). Pemerintah dapat menghentikan dan atau menarik kembali insentif yang telah diberikan kepada pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat yang telah memperoleh akreditasi apabila program pengelolaan wilayah pesisir tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.
(2). Pemerintah mewajibkan pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk memperbaiki ketidaksesuaian antara program pengelolaan dengan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3). Apabila pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian tersebut, pemerintah dapat melakukan tindakan:
a. pencabutan sementara akreditasi program; dan
b. pencabutan tetap akreditasi program
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 82
(1). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama..... tahun dan/atau denda paling banyak Rp..........(......).
(2). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp...........
(3). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, g, h, dan j diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............
(4). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............
(5). Barang siapa dengan segaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama......(......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp............
(6). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).
(7). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).
(8). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, g, h, dan j, diancam dengan pidana penjara paling lama ... (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).
(9). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama .. (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).
(10). Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama .. (......) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.......(.....).
Pasal 83
Tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 21, 23 dan 25, apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 84
(1). Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam menyelamatkan kekayaan negara diberikan insentif.
(2). Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam keputusan menteri.
Bagian Ketiga
Sanksi Adat
Pasal 85
Setiap pelanggaran tertentu yang bersifat melanggar hukum adat setempat di wilayah pesisir dikenakan sanksi adat setempat.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 86
Program Pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang ditetapkan sebelum lahirnya undang-undang ini, serta lembaga/instansi yang ditunjuk sebelum dibentuknya Badan Koordinasi sesuai dengan UU ini dapat dianggap tetap berlaku dan melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini.
Pasal 87
Setiap instansi yang terkait dengan Pengelolaan wilayah pesisir menjalankan undang-undang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Pasal 88
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undangan ini tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal ...
SEKRETARIS NEGARA/SEKRETARIS
KABINET REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
BAMBANG KESOWO, SH., LL.M
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ....... NOMOR........
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA INDONESIA NOMOR TAHUN
======================================
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
Pasal 1
Cukup jelas
Dalam hal jarak pulau yang satu dengan lain lebih dari 12 mil laut, maka perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dalam satu bioecoregion pengelolaan Bioecoregion, termasuk perencanaan pengelolaan yang berbatasan dengan negara lain
Tata cara pengukuran 12 mil laut dari garis pantai akan mengikuti tata cara penetapan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan
Pasal 2
Azas keterpaduan dikembangkan dengan mengintegrasikan antara kebijakan dan perencanaan berbagai sektor pemerintahan pada berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan vertical maupun dengan pemerintah daerah, keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dengan menggunakan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses-proses pengelolaan pesisir.
Azas berkelanjutan diterapkan agar pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi substitusi sumberdaya nirhayati pesisir, dimana pemanfaatan sumberdaya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumberdaya pesisir, dan pemanfaatan sumberdaya yang belum diketahui dampaknya, harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai.
Azas Peran Serta Masyarakat menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui apa dan bagaimana kebijaksanaan pemerintah, mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir. Selain itu prinsip ini menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut dan agar dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan secara adil.
Azaz Keterbukaan
Azaz Berkeadilan
Azas Kepastian Hukum diperlukan untuk, menjamin hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat melalui mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir.
Azas Konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir yang telah diakreditasi.
Azas Desentralisasi Pengelolaan merupakan penyerahan kewenangan dalam bidang pengelolaan wilayah pesisir kepada pemerintah daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali untuk wilayah-wilayah khusus yang memerlukan perlakuan khusus
Pasal 3
Cukup jelas
Pengertian melindungi adalah mencegah masuknya spesies asing atau tidak boleh menggunakan ekosistem tersebut
Mengkonservasi adalah
Memanfaatkan adalah
Merehabilitasi adalah pemulihan dan restorasi
Memperkaya adalah
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
a. Rencana Strategis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berfungsi dalam menetapkan strategi untuk mencapai visi, tujuan, dan sasaran program Pengelolaan Wilayah Pesisir, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
b. Rencana Zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b berfungsi dalam pengalokasian ruang pesisir dari rencana tata ruang pesisir Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta rencana zona rinci bagi lokasi-lokasi tertentu, dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
c. Rencana Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c berfungsi mengarahkan pengelolaan sumberdaya pesisir secara seimbang antara aspek pemanfaatan dan perlindungan, pada suatu kawasan yang diprioritaskan, sesuai dengan peruntukkannya, berlaku 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
d. Rencana Aksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d berfungsi dalam menuntun penetapan kegiatan beserta alokasi sumberdayanya, sesuai dengan rencana pengelolaan dan berlaku maksimal 3 (tiga) tahun.
Ayat (4)
Renstra yang dimaksud merupakan bagian dari Renstra Umum yang disusun oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1).
Masyarakat dapat juga menentukan suatu Kawasan untuk disusun rencana zonasinya jika tidak terdapat dalam Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten/Kota dan ini dijadikan masukan dalam peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Ayat (4)
Fasilitasi dapat berupa bantuan teknis dan administratif
Ayat (5)
Beri penjelasan tentang mekanisme konsultasi publik
Pasal 14
Cukup Jelas
Ayat (3)
Penimbunan pantai adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengubah bentang pantai menjadi daratan
Yang dimaksud dengan bersifat strategis nasional adalah untuk tujuan pertahanan keamanan, perlindungan terhadap fasilitas vital dan pengamanan batas wilayah
Ayat (4)
Reklamasi pantai adalah kegiatan yang dilakukan pada wilayah yang secara teknis maupun ekologis telah mengalami kerusakan dan diarahkan untuk perbaikan lingkungan.
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Gugusan pulau adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya
Ayat (10)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bagi perorangan dan badan usaha yang sudah memanfaatkan pulau-pulau kecil sebelum berlakunya undang-undang ini diwajibkan berkonsultasi untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperbolehkan maksimal 50 (lima puluh) persen dari luas daratan pulau tersebut di luar kawasan konservasi.
Ayat (8)
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Kawasan Konservasi masyarakat adalah kawasan konservasi yang menjadi tanggungjawab berbagai kelompok masyarakat di dalam wilayah administrasi desa
Pasal 21
Ayat (6)
Huruf a
Kawasan Pemanfaatan secara lestari adalah kawasan yang memiliki sistem alami yang masih asli, dikelola untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang, yang pada saat bersamaan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk produk dan jasa-jasa.
Huruf b
Konservasi Habitat dan Spesies seperti : suaka margasarwa laut, suaka mamalia laut.
Huruf c
Kawasan Konservasi bentang alam adalah kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan laut yang sesuai, yang memperlihatkan terjadinya interaksi antara manusia dan alam setiap saat yang menghasilkan suatu karakteristik yang berbeda dengan keindahan estetikanya, ekologinya, dan nilai budaya serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Pemeliharaan terhadap kesatuan interaksi tradisional di atas adalah penting guna perlindungan, pemeliharaan dan perkembangan kawasan tersebut. Kawasan konservasi bentang alam seperti Taman wisata Alam Laut.
Huruf d
Kawasan Konservasi Ekosistem adalah daerah alami di pesisir, pulau-pulau kecil dan laut yang ditujukan untuk: perlindungan kesatuan ekologis dari satu atau lebih ekosistem
Termasuk Kawasan Konservasi Ekosistem seperti: Taman Laut Nasional, Taman Laut Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pasal 22
Ayat (1)
Zona pemanfaatan dapat secara langsung atau tidak langsung
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
a. Perlakuan non struktur seperti pengembangan sistem perigantan dini dan aturan-aturan yang menata bangunan fisik di daerah rawan bencana.
b. Perlakuan struktur terbagi dua yaitu pendekatan struktur lunak, dan struktur keras. Pendekatan struktur lunak lebih banyak menggunakan vegatif seperti mangrove, terumbu karang dll. Pendekatan struktur keras menggunakan bangunan fisik seperti breakwater.
c. Penerapan pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu dalam mengeliminir dampak tindakan manusia yang menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, misalnya penurunan
Ayat (3)
Pengaturan secara teknis akan disusun dalam pedoman teknis pendendalian kerusakan pesisir
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tindakan tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi upaya darurat untuk mengatasi kondisi sesudah bencana terjadi.
Tindakan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi:
a. restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi;
b. pemindahan penduduk.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Butir (a)
Cukup jelas
Butir (b)
Penyusunan pedoman, norma dan standar sebagaimana dimaksud dalam dikonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, organisasi non-pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Konsultasi dengan instansi yang bertanggung jawab dibidang kelautan dan perikanan dalam penyusunan pedoman, norma dan standar yang berhubungan dengan kegiatan masing-masing sektor yang memiliki dampak pada wilayah pesisir.
Butir (c)
Pemberian insentif, bantuan teknis dan bantuan lainnya dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya program PPW-PPT secara sukarela dan akreditasi.
Butir (d)
Dengan terbukanya pertimbangan ilmiah pada penetapan kawasan konservasi memberikan peluang perubahan status kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Butir (e)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hak pengusahaan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kwalitas sumberdaya pesisir sehingga pengertian kepentingan sosial ekonomi masyarakat dapat berlangsung secara terus menerus.
Yang dimaksud dengan wilayah provinsi yaitu mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/ kota
Ayat (6)
Pertimbangan ilmiah merupakan hasil dari studi mendalam
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Wilayah konservasi laut tingkat desa adalah daerah perlindungan laut tingkat desa
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pengertian dapat membentuk atau menggunakan Badan Koordinasi yang ada dengan maksud memberikan keleluasaan dalam proses pembentukan Badan atau Lembaga baru sesuai dengan kebutuhan. Badan koordinasi yang sudah ada misalnya Dewan Maritim Indonesia, atau Presiden menunjuk satu Departemen atau LPND yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (2)
Organsisasi Non Pemerintah (LSM) yang memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Berbadan Hukum
2. Punya kepedulian terhadap masalah kelautan
3. Punya kegiatan
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Dengan memperhatikan keragaman bentuk lembaga di daerah maka pembentukan Badan Koordinasi di daerah sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pembentukan lembaga di daerah. Alternatif lain Gubernur dapat menggunakan Dewan Maritim Daerah, atau menunjuk satu Dinas atau Badan otonom yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
a. Kelompok masyarakat, desa atau dunia usaha dapat mengusulkan program Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk diakreditasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, atau Pemerintah Provinsi atau Pemerintah;
b. bagi program yang diharapkan akan mendapat insentif dari Pemerintah Kabupaten/Kota maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
c. bagi program yang diharapkan akan mendapatkan insentif dari Pemerintah Provinsi maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi;
d. bagi program yang diharapkan akan mendapatkan insentif dari Pemerintah maka akreditasi akan dilakukan oleh Pemerintah setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Provinsi atau Badan Koordinasi Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cara lain partisipasi publik adalah dengar pendapat dalam satu pertemuan yang direncanakan, keterangan ahli yang didatangkan khusus untuk itu, dan musyawarah dan sebagainya. Edaran kepada tokoh-tokoh dan pimpinan masyarakat, pengumuman dalam surat kabar lokal, dan cara lainnya
huruf c
Dokumen akreditasi yang dimaksud sesuai dengan bab III
huruf d
Cukup Jelas
huruf e
Cukup Jelas
huruf f
Cukup Jelas
huruf g
Cukup Jelas
huruf h
Cukup Jelas
huruf I
Cukup Jelas
huruf j
Cukup Jelas
huruf k
Cukup Jelas
Pasal 38
Ayat (1)
huruf a
Akreditasi tingtat I juga disebut akreditasi tingkat dasar
huruf b
Akreditasi tingkat II juga disebut akreditasi tingkat lanjutan
huruf c
Akreditasi Tingtat III juga disebut akreditasi tingkat utama
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Proses partisipasi publik dapat meliputi, tetapi tidak terbatas pada :
a. mempublikasikan dan mendistribusikan rancangan keputusan di daerah yang akan terkena dampak;
b. mendapatkan masukan terhadap rancangan keputusan sesuai waktu yang cukup untuk menerima saran;
c. setelah periode waktu komentar, menyusunan keputusan terahir dan memberikan alasannya, meliputi jawaban bagi komentar publik diterima di dalam periode waktu komentar
Pasal 65
Ayat (1)
Mengusahakan bukan menguasai atau memiliki
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Pencegahan sengketa atau konflik dapat meliputi :
a. antisipasi munculnya sengketa/konflik;
b. mencegah perluasan sengketa/konflik;
c. mencegah terjadinya pengulangan konflik kekerasan;
d. pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap konflik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Tindakan hukum tertentu seperti :
1. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2. memulinhkan fungsi lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
3. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pasal 72
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak/strict liability ialah bentuk tanggung jawab yang berbeda dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata yakni unsur kesalahan tidak diperlukan dalam proses pembuktian.
Ayat (2)
Metode perhitungan ilmiah baku ialah tata cara menghitung jenis dan jumlah kerugian berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik perhitungan dar ilmu-ilmu terkait seperti menurunnya produktivitas perikanan dengan menggunakan regenerasi biota dalam mata rantai makanan (Food Chain) kehidupan ikan .
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
(note: kalau ada kemungkinan izin lain selain pemanfaatan dan pengusahaan tanah perairan)
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Sebelum Badan Koordinasi yang dibentuk berdasarkan undang-undang ini terbentuk semua lembaga atau Badan yang mempunyai tanggung jawab dibidang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tetap berlaku sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
<< Home