Wednesday, December 28, 2005

Raperda Prop. Sulut ttg Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI UTARA
NOMOR TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT
TERPADU BERBASIS MASYARAKAT DI PROPINSI SULAWESI UTARA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROPINSI SULAWESI UTARA


Menimbang:

a. bahwa pesisir dan laut merupakan suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri sebagai wilayah yang sangat dinamik dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat, tempat di mana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan tempat bertelur dan berlindung berbagai jenis species, terumbu karang, hutan bakau, pantai dan bukit pasir adalah pelindung alam yang penting dari erosi banjir dan badai, ekosistem pantai dapat berperan dalam mengurangi akibat polusi dari daratan, dan sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi dan rekreasi;

b. bahwa wilayah pesisir dan laut sebagai daerah yang paling kaya secara ekonomis dan ekologis, tempat untuk fasilitas pelabuhan dan fasilitas industri, sumber mineral dan pertambangan: minyak, gas, emas, pasir, bahan galian lain, dan sebagainya, sumber energi, tempat yang sangat disenangi untuk kegiatan pariwisata, resort dan tujuan berlibur, sumber obat, pangan dan gizi manusia, memiliki nilai penting untuk menunjang pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat Sulawesi Utara;

c. bahwa karenanya dipandang perlu untuk memperbaiki perlindungan sumberdaya pesisir dan laut, meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan, mengkoordinasikan antara tingkat pusat dan kabupaten bagi pengelolaan pesisir dan laut, dan memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan pesisir dan laut;

d. bahwa untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Propinsi Sulawesi Utara, perlu dituangkan dalam suatu Peraturan Daerah.


Mengingat:

1. Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 (Perubahan Keempat);

2. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;

3. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;

4. Staatsblad 1926 - 226: Hinderordonnantie (Ordonansi Gangguan);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan;

7. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;

8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

9. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;

10. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea;

11. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

13. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;

14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

15. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

16. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

17. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

18. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah;

19. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

20. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;

21. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam;

22. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendaloian Pencemaran dan atau Perusakan Laut;

23. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2000 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

24. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;

25. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Lintas Damai;

26. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing;

27. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Keadaan Geografis Titik-titik Garis Pangkal;

28. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung;

29. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir laut;

30. Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi Utara;


Dengan persetujuan bersama antara

GUBERNUR PROPINSI SULAWESI UTARA

DAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PROPINSI SULAWESI UTARA


MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI UTARA TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT TERPADU BERBASIS MASYARAKAT DI PROPINSI SULAWESI UTARA


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:

1. Atol adalah rangkaian pulau karang yang membentuk suatu lingkaran mengelilingi laguna dengan kedalaman antara beberapa hingga puluhan meter.

2. Bagan adalah adalah alat penangkap ikan berbentuk bangunan, baik yang menetap atau bagan tancap maupun yang tidak menetap atau bagan apung, yang menggunakan jaring dan operasional selalu pada malam hari dengan menggunakan alat bantu lampu.

3. Budidaya laut (marine culture) adalah cara pemeliharaan hewan dan tumbuhan laut seperti berbagai jenis ikan laut, udang-udangan, kerang-kerangan dan berbagai jenis rumpur laut, di suatu tempat dan dengan menggunakan metode tertentu;

4. Daerah Perlindungan Laut adalah daerah pesisir dan laut yang meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun, atau habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut yang dikelola oleh masyarakat setempat serta ditetapkan dalam peraturan desa;

5. Daerah Aliran Sungai adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh dua punggung gunung di mana curah hujan yang jatuh ke daerah tersebut mengalir melalui satu saluran tertentu, yaitu sungai atau aliran air lainnya;

6. Degradasi adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung lingkungan akibat dari aktivitas/kegiatan manusia (anthropogenic) ataupun alami;

7. Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun;

8. Estuari adalah daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai, tempat sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari laut, biasanya berkaitan dengan pertemuan perairan sungai dengan perairan laut;

9. Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai wilayah laut;

10. Garis sempadan pantai adalah garis batas yang diukur dari air laut pasang tertinggi ke arah daratan mengikuti lekukan pantai dan/atau disesuaikan dengan topografi setempat;

11. Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfaatan dengan tidak mengekstrasi sumberdaya pesisir, tetapi memanfaatkan fungsinya untuk tempat rekreasi dan pariwisata, sebagai media transportasi, sumber energi gelombang dan lain-lain;

12. Karamba Jaring Apung adalah suatu sarana pemeliharaan ikan atau biota air yang kerangkanya terbuat dari bambu, kayu, pipa pralon atau besi berbentuk persegi yang diberi jaring dan diberi pelampung (misalnya drum plastik atau streoform) dan menggunakan jaring, agar wadah tersebut tetap terapung di dalam air. Kerangka dan pelampung berfungsi untuk menahan jaring agar tetap terbuka di permukaan air dan jaring yang tertutup di bagian bawahnya digunakan untuk memelihara ikan selama beberapa bulan;

13. <![endif]>Konservasi laut adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati laut yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keaneka ragaman dan nilainya, serta merehabilitasi sumberdaya alam laut yang rusak;

14. <![endif]>Lamun adalah sejenis tumbuhan laut berbunga yang tumbuh di dasar laut berpasir atau bersubstrat halus yang tidak begitu dalam, dan sinar matahari masih dapat menembus ke dasar sehingga memungkinkan tumbuhan tersebut berfotosintesis;

15. <![endif]>Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;

16. <![endif]>Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora spp);

17. <![endif]>Masyarakat lokal adalah kelompok orang atau masyarakat yang mendiami desa pantai dan menjalankan tatanan hukum, sosial dan budaya yang ditetapkan dan ditaati oleh mereka sendiri secara turun temurun.

18. <![endif]>Pantai adalah luasan tanah termasuk sedimen yang membentang di sepanjang tepian laut yang merupakan perbatasan pertemuan antara darat dengan laut, terdiri dari sempadan pantai dan pesisir;

19. <![endif]>Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

20. <![endif]>Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

21. <![endif]>Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu adalah proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut serta jasa lingkungan yang mengintegrasikan kegiatan para pemangku kepentingan, perencanaan horizontal dan vertikal, ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen, sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut bekerlanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya;

22. <![endif]>Pengelolaan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut;

23. <![endif]>Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang berada di atas permukaan air;

24. <![endif]>Pulau kecil adalah kesatuan ekologis pulau dengan luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut dari garis pantai.

25. <![endif]>Rumpon atau rompong adalah alat berupa rakit yang ditempatkan secara tertentu di laut yang ditujukan untuk mengumpulkan jenis ikan pelagis, terbuat dari rotan atau tali ke dasar laut yang diberi pelampung di atasnya, dan sepanjang tali atau rotan dibelitkan bahan-bahan seperti daun kelapa, atau umbai-umbai yang dapat menarik ikan untuk berkumpul;

26. <![endif]>Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri atas sumberdaya hayati dan nir-hayati. Sumberdaya hayati, antara lain ikan, rumput laut, padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang, biota perairan; sedangkan sumberdaya nir-hayati terdiri dari lahan pasir, permukaan air, sumberdaya di airnya, dan di dasar laut seperti minyak dan gas, pasir, timah, dan mineral lainnya;

27. <![endif]>Terumbu karang adalah koloni hewan dan tumbuhan laut berukuran kecil yang disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang menyekrasikan kalsium karbonat (CaCO3) menjadi terumbu;

28. <![endif]>Terumbu karang buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut untuk hidup dan menetap;

29. <![endif]>Wilayah laut kewenangan Propinsi adalah wilayah laut Propinsi dikurangi sepertiganya sebagai wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.

30. <![endif]>Wilayah laut Propinsi adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal lurus daratan dan pulau-pulau Sulawesi Utara, yaitu garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari daratan dan pulau-pulau terluar Sulawesi Utara, dan laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus tersebut.

31. <![endif]>Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, di mana ke arah laut 4 (empat) mil laut dari garis pantai dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.



BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKU

Pasal 2

(1) <![endif]>Peraturan Daerah ini berlaku untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam lingkungan Wilayah Propinsi Sulawesi Utara.

(2) <![endif]>Pulau-pulau di Wilayah Propinsi Sulawesi Utara termasuk dalam ruang lingkup berlakunya Peraturan Daerah ini.

(3) <![endif]>Pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya dilakukan secara menyeluruh berdasarkan satu gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitan pulau tersebut dengan ekosistem pulau induk.

Pasal 3

Pemerintah Daerah Propinsi dan/atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai hak meminta informasi dan mengawasi usaha dan/atau kegiatan di luar Wilayah Propinsi Sulawesi Utara yang dapat memiliki dampak yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara.


BAB III

ASAS, TUJUAN, MANFAAT DAN PRIORITAS

Pasal 4

Asas-asas dalam Peraturan Daerah Propinsi ini adalah:

1. <![endif]>Asas berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri;

2. <![endif]>Asas keterpaduan, yaitu:

a. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan pertimbangan ekologi;

b. Keterpaduan antara ekosistem darat dengan ekosistem laut;

c. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen;

d. Keterpaduan perencanaan sektor secara horizontal, dengan mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan dari sektor dan instansi terkait;

e. Keterpaduan perencanaan secara vertikal, dengan mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan dari level pemerintahan yang berbeda, seperti pusat, Propinsi dan kabupaten/kota;

f. Keterpaduan antar pemangku kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat.;

g. Keterpaduan antar negara di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang bertetangga;

h. Keterpaduan perencanaan Tata Ruang dilakukan secara partisipatif dan transparan, yang mengakomodir kepentingan arus bawah.

3. <![endif]>Asas berbasis masyarakat, yaitu proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut, dengan prinsip-prinsip: Sukarela bukan persyaratan atau keharusan; insentif, bukan sanksi; penguatan, bukan birokrasi; proses, bukan substansi; dan, penunjuk arah, bukan jalan spesifik.;

4. <![endif]>Asas wilayah dan ekosistem, yaitu wilayah dan ekosistem merupakan dua pokok yang menyatu (convergent), di mana secara yuridis berlakunya Peraturan Daerah ini terbatas pada Wilayah Daerah Propinsi Sulawesi Utara tetapi karena pencemaran dan perusakan di suatu tempat akan langsung memiliki dampak terhadap lokasi yang berdekatan maka sekalipun bukan merupakan hak pengelolaan namun Daerah memiliki hak untuk setidaknya mengetahui dan mengawasi kegiatan di lokasi yang kemungkinan besar akan berdampak pada Daerah;

5. <![endif]>Asas keseimbangan dan berkelanjutan, yaitu tiap kegiatan yang dijalankan harus memperhatikan pemulihan fungsi ekosistem sehingga pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya mempertimbangkan kelestarian sumberdaya yang ada;

6. <![endif]>Asas pemberdayaan masyarakat pesisir, yaitu kegiatan dijalankan bertujuan untuk membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan sehingga masyarakat memiliki akses yang adil dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

7. <![endif]>Asas tanggunggugat (akuntabel) dan transparan, yaitu mekanisme kegiatan ditetapkan secara transparan, demokratis, dapat dipertanggung-jawabkan, menjamin kesejahteraan masyarakat, serta memenuhi kepastian hukum, dijalankan oleh pemerintah, masyarakat, sektor swasta serta berbagai pihak lain yang berkepentingan;

8. <![endif]>Asas pengakuan terhadap kearifan tradisional masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu penerimaan oleh pemerintah tentang kenyataan adanya ketentuan-ketentuan memelihara lingkungan alam sekitar oleh kelompok masyarakat yang telah dijalani turun-temurun dan telah menunjukkan adanya manfaat yang diterima masyarakat maupun lingkungan.

Pasal 5

Tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat adalah:

1. Menyusun dan menetapkan kerangka kerja dan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat;

2. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi, dan mengendalikan tindakan dari kegiatan-kegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut;

3. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir dan laut dalam rangka pembangunan di wilayah pesisir yang memperhatikan daya dukung lingkungan;

4. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu antara masyarakat lokal, pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan;

5. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian mengelola sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu oleh masyarakat lokal di tingkat pedesaan.

Pasal 6

Manfaat pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat adalah:

1. Terwujudnya rencana, penetappan dan koordinasi prioritas-prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka memanfaatkan secara effisien dan konsisten kapasitas dan sumberdaya wilayah pesisir dan laut;

2. Terlindunginya wilayah-wilayah penting dari degradasi akibat pemanfaatan dan konsumsi yang berlebihan, dan perusakan habitat;

3. Berkembangnya sumberdaya di wilayah pesisir bagi pemanfaatan ekonomi melalui cara-cara keilmuan yang benar dan adil secara ekonomis;

4. Terwujudnya tanggunggugat (akuntabilitas) dan kepemimpinan dalam pengelolaan pesisir dan laut.

Pasal 7

Prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat adalah :

1. Meningkatkan koordinasi penggambilan keputusan melalui proses antar sektor dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir;

2. Melindungi habitat pesisir dan laut melalui penetapan dan pelaksanaan Daerah Perlindungan Laut atau Taman Laut Propinsi dan Kabupaten/Kota;

3. Meningkatkan keadilan dan partisipasi melalui pengakuan hak masyarakat tradisional;

4. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan dan pelayanan kepada masyarakat;

5. Memajukan dan mempertahankan sumberdaya perikanan pesisir melalui pengurangan dan penghapusan kegiatan penangkapan secara merusak;

6. Memperbaiki perencanaan tata ruang melalui prioritas ketergantungan pemanfaatan pada wilayah pesisir.

Pasal 8

Untuk menjabarkan asas, melaksanakan tujuan, mencapai manfaat dan menentukan prioritas masing-masing Kabupaten/Kota di Propinsi Sulawesi Utara membentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pengelolaan pesisir.


BAB IV
KEWENANGAN DAERAH

Bagian Pertama
Kewenangan Propinsi

Pasal 9

(1) <![endif]>Kewenangan Propinsi dalam pengelolaan pesisir dan laut untuk bidang-bidang tertentu mencakup:

Untuk seluruh wilayah pesisir dan laut:
a. <![endif]>Menata dan mengelola perairan di wilayah laut Propinsi;

b. <![endif]>Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional;

c. <![endif]>Penetapan tata ruang Propinsi berdasarkan kesepakatan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota;

d. <![endif]>Pengawasan atas pelaksanaan tata ruang.

Di wilayah laut kewenangan Propinsi:
a. <![endif]>Melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

b. <![endif]>Melakukan konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka perikanan;

c. <![endif]>Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut;

d. <![endif]>Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan;

e. <![endif]>Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut.

Yang bersifat lintas Kabupaten/Kota:
a. <![endif]>Pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota;

b. <![endif]>Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas Kabupaten/Kota;

c. <![endif]>Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota;

d. <![endif]>Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas Kabupaten/Kota;

(2) Kewenangan lainnya dari Propinsi berkenaan dengan pengelolaan pesisir dan laut adalah:

1. <![endif]>Kewenangan atau bagian tertentu dari kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi;

2. <![endif]>Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara tegas menunjuk kewenangan tersebut sebagai kewenangan Propinsi;

3. <![endif]>Kewenangan dalam rangka melaksanakan tugas sebagai wilayah administrasi dan tugas pembantuan.


Bagian Kedua
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 10

Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota:

1. <![endif]>Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pengelolaan pesisir dengan memperhatikan asas-asas dan pedoman umum dalam Peraturan Daerah Propinsi ini;

2. <![endif]>Pembuatan peraturan operasional untuk melindungi sumberdaya pesisir, yang mencakup atol, mangrove, terumbu karang dan terumbu karang buatan;

3. <![endif]>Pengaturan mengenai penggunaan karamba jaring apung dan bagan di wilayah pesisir;

4. <![endif]>Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.


Bagian Ketiga
Kewenangan Desa

Pasal 11

Kewenangan Desa mencakup :

1. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

2. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan

3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten untuk pengelolaan pesisir dan laut.



BAB V

HAK MASYARAKAT LOKAL

Pasal 12

Masyarakat lokal memiliki hak-hak sebagai berikut:

1. <![endif]>Hak ekonomi tertentu atas wilayah pesisir dan laut;

2. <![endif]>Hak ekologi tertentu atas wilayah pesisir dan laut;

3. <![endif]>Hak memperoleh dan memberikan informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut;

4. <![endif]>Hak memperoleh pendidikan dan pelatihan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut;

5. <![endif]>Hak untuk mengetahui dan memberi persetujuan atas setiap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan pihak lain sebelum pemberian izin oleh pemerintah daerah.

Pasal 13

(1) <![endif]>Hak-hak ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 butir 1 didaftarkan menurut ketentuan pada Pasal 14 atau Pasal 15 Peraturan Daerah ini.

(2) <![endif]>Pelaksanaan hak-hak ekologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 butir 2 didaftarkan sebagai program sebagaimana dimaksud pada Bab VIII Peraturan Daerah ini.

(3) <![endif]>Informasi dari masyarakat berkenaan dengan lingkungan hidup dapat disampaikan kepada badan sebagaimana dimaksud pada Bab VII Peraturan Daerah ini.

Pasal 14

(1) <![endif]>Pemerintah Daerah Propinsi melalui Badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini menyelenggarakan pendaftaran hak-hak ekonomi tertentu dari masyarakat lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan Propinsi.

(2) <![endif]>Pendaftaran sebagaimana pada ayat (1) pasal ini dilaksanakan dengan proses:

1. <![endif]>Pemuka-pemuka adat dari kelompok masyarakat lokal mengumpulkan dan menyajikan bukti kepada Pemerintah Daerah Propinsi melalui Badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) bahwa masyarakat senantiasa menjalankan praktek-praktek tersebut secara teratur dan turun-temurun;

2. <![endif]>Pemerintah Daerah Propinsi melalui Badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) melakukan peninjauan atas bukti ini untuk menyusun rancangan keputusan;

3. <![endif]>Gubernur menetapkan keputusan, setelah melalui proses partisipasi masyarakat atas rancangan keputusan dimaksud di atas.

Pasal 15

(1) <![endif]>Pendaftaran hak-hak ekonomi tertentu dari masyarakat lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing.

(2) <![endif]>Proses pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan pokok-pokok sebagai berikut:

1. <![endif]>Sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dalam lingkup ulayat masyarakat lokal harus diberitahukan dan dilaporkan secara tertulis oleh Pemerintah Desa kepada Bupati melalui Badan Pengelola Pesisir Kabupaten.

2. <![endif]>Pemerintah desa berkewajiban menginventarisir dan melaporkan dalam bentuk tertulis semua data kegiatan masyarakat tersebut kepada Bupati melalui Badan Pengelola Pesisir Kabupaten.

3. <![endif]>Proses pengakuan praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir adalah sebagai berikut:

a. <![endif]>Pemuka-pemuka adat dari kelompok masyarakat lokal mengumpulkan dan menyajikan bukti kepada Pemerintah Daerah melalui Badan Pengelola Pesisir Kabupaten bahwa masyarakat senantiasa menjalankan praktek-praktek tersebut secara teratur dan turun-temurun;

b. <![endif]>Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Badan Pengelola Pesisir Kabupaten, melakukan peninjauan atas bukti ini untuk menyusun rancangan keputusan;

c. <![endif]>Bupati menetapkan keputusan, setelah melalui proses partisipasi masyarakat atas rancangan keputusan dimaksud di atas.



BAB VI

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN PERGURUAN TINGGI

Pasal 16

(1) <![endif]>Lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup berperan untuk:

Meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan peran serta masyarakat lokal;
2. <![endif]>Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat lokal;

3. <![endif]>Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat lokal untuk melakukan pengawasan sosial;

4. <![endif]>Memberikan saran pendapat;

5. <![endif]>Menyampaikan informasi dan/atau laporan.

(2) <![endif]>Perguruan tinggi berperan untuk:

1. <![endif]>Mengembangkan sistem pengelolaan pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan tridharma perguruan tinggi.

2. <![endif]>Membantu pemerintah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan pengelolaan lingkungan hidup.



BAB VII

BADAN KOORDINASI PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT

Bagian Pertama

Badan Koordinasi Pengelolaan Pesisir dan Laut Propinsi

Pasal 17

(1) <![endif]>Dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat di Propinsi Sulawesi Utara oleh Gubernur dibentuk suatu badan koordinasi pengelolaan pesisir dan laut Propinsi atau ditunjuk suatu badan yang sudah ada untuk melaksanakan fungsi termaksud.

(2) <![endif]>Keanggotaan badan yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini terdiri atas perwakilan dari dinas dan instansi terkait, badan pengelola pesisir kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha dan perguruan tinggi.

(3) <![endif]>Struktur pokok badan yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini terdiri atas Gubernur sebagai Ketua merangkap Anggota, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai Ketua Pelaksana, seorang Sekretaris dan Anggota-anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini.

(4) <![endif]>Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dibantu oleh suatu sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.

(5) <![endif]>Dalam hal suatu badan yang sudah ada ditunjuk untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini maka keanggotaan dan struktur badan tersebut disesuaikan dengan ketentuan ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

Pasal 18

Badan koordinasi pengelolaan pesisir dan laut Propinsi mempunyai tugas:

1. <![endif]>Mengkoordinasi setiap kebijakan yang berhubungan dengan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah Propinsi, sampai ke tingkat desa;

2. <![endif]>Menjabarkan dan menyebarluaskan setiap kebijakan Pemerintah Propinsi berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut;

3. <![endif]>Mengkoordinasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut;

4. <![endif]>Mengkoordinasi bantuan teknis di bidang pengelolaan sumberdaya maupun di bidang dana ke kabupaten/kota yang melakukan atau akan melakukan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut;

5. <![endif]>Mengidentifikasi, mengklarifikasi, mengverifikasi serta mencari solusi atas masalah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir lintas kabupaten/kota;

6. <![endif]>Melakukan pemantauan dan evaluasi atas setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang dilakukan oleh pihak-pihak manapun di wilayah pesisir dan laut;

7. <![endif]>Menjalankan kegiatan Pusat Informasi Pesisir dan Laut;

8. <![endif]>Mengadakan pertemuan koordinasi setiap 3 (tiga) bulan sekali, dan atau setiap saat apabila dianggap penting dan atau sesuai kebutuhan;

9. <![endif]>Tugas lain yang dianggap penting yang berhubungan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat dan yang tidak bertentangan dengan asas, tujuan, manfaat dan prioritas yang diatur dalam Bab III Peraturan Daerah ini;

10. <![endif]>Melaporkan kegiatan perkembangan sumberdaya alam di wilayah pesisir secara tertulis setiap tahun dan pada akhir masa tugas kepada Gubernur.

Bagian Kedua

Badan Koordinasi Pengelolaan Pesisir Kabupaten/Kota

Pasal 19

Di setiap Kabupaten/Kota dibentuk badan yang menjalankan tugas utama untuk mengkoordinasikan pengelolaan pesisir di wilayah Kabupaten/Kota masing-masing.



BAB VIII

PERENCANAAN DAN PROGRAM

Bagian Pertama
Umum

Pasal 20

Perencanaan dan Program Pengelolaan Pesisir dan/atau Laut berasal dari prakarsa pemerintah, masyarakat lokal atau perorangan.

Bagian Kedua

Perencanaan dan Program Daerah Propinsi

Pasal 21
(1) <![endif]>Daerah Propinsi harus memiliki rencana dan program pengelolaan wilayah laut kewenangan Propinsi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) <![endif]>Rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini sekaligus mencakup pengelolaan di bidang ekonomi dan lingkungan hidup.

Pasal 22

(1) <![endif]>Rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 Peraturan Daerah ini mencakup:

1. <![endif]>Rencana Strategis, untuk masa 10 sampai 20 tahun;

2. <![endif]>Rencana Pemintakatan (Zonasi), untuk masa 5 sampai10 tahun;

3. <![endif]>Rencana Pengelolaan, untuk masa 3 sampai 5 tahun;

4. <![endif]>Rencana Aksi, untuk masa 1 sampai 2 tahun.

(2) <![endif]>Dalam rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini antara lain:

1. <![endif]>Diakui dan diatur hak-hak tertentu di bidang ekonomi dan lingkungan hidup dari masyarakat lokal berdasarkan rekomendasi dari badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini;

2. <![endif]>Didukung pembentukan Daerah Perlindungan Laut di wilayah laut kewenangan Propinsi;

3. <![endif]>Pembentukan Taman Laut Propinsi apabila dimungkinkan oleh suatu studi kelayakan.

Pasal 23

Penggunaan bagan dan rumpon serta alat dengan nama apapun juga yang memiliki tujuan seperti bagan dan rumpon di wilayah laut kewenangan Propinsi diatur lebih lanjut oleh dinas yang tugasnya dalam bidang perikanan dan kelautan.

Pasal 24

Perencanaan dan Program dalam bidang lingkungan hidup di wilayah laut kewenangan Propinsi yang berasal dari prakarsa masyarakat disampaikan kepada Pemerintah Daerah Propinsi melalui badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini.

Pasal 25

Dalam peraturan tersendiri diatur tentang:

1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang melintasi lebih dari satu Kabupaten/Kota dan bermuara di wilayah pesisir setelah terlebih dahulu dilakukan kesepakatan dengan Kabupaten/Kota termaksud;

2. Penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Propinsi, penetapan alur penyeberangan lintas Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, dan hal-hal lain yang menyangkut perairan dan pelabuhan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi.



Bagian Ketiga

Perencanaan dan Program Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 26

(1) Daerah Kabupaten/Kota harus memiliki rencana pengelolaan wilayah pesisir yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(2) Dalam rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini didukung pembentuk Daerah Perlindungan Laut di wilayah pesisir baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sendiri, Pemerintah Desa maupun oleh masyarakat lokal.

Bagian Keempat

Perencanaan dan Program Desa

Pasal 27

Pedoman dan tata cara pendaftaran untuk Perencanaan dan Program Desa di bidang ekonomi dan lingkungan hidup ditetapkan oleh masing-masing Kabupaten/Kota.

Bagian Kelima

Perencanaan dan Program Masyarakat Lokal

Pasal 28

(1) <![endif]>Pedoman dan tata cara pendaftaran untuk Perencanaan dan Program Masyarakat Lokal dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup di wilayah pesisir ditetapkan oleh masing-masing Kabupaten/Kota.

(2) <![endif]>Perencanaan dan Program Masyarakat Lokal dengan kesepakatan antara masyarakat lokal dan Pemerintah Desa dapat dialihkan menjadi Perencanaan dan Program Desa.

Bagian Keenam

Perencanaan dan Program Perorangan

Pasal 29

(1) <![endif]>Pedoman dan tata cara pendaftaran untuk Perencanaan dan Program Perorangan dalam bidang lingkungan hidup di wilayah pesisir ditetapkan oleh masing-masing Kabupaten/Kota.

(2) <![endif]>Perencanaan dan Program Perorangan semata-mata untuk pengelolaan lingkungan hidup.



BAB IX

PENATAAN RUANG PESISIR DAN LAUT

Pasal 30

(1) <![endif]>Penataan ruang laut Daerah Propinsi dilakukan dalam bentuk rencana pemintakatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Daerah ini dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Propinsi.

(2) <![endif]>Penataan ruang pesisir Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam bentuk rencana pemintakatan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.



BAB X

PERJANJIAN DAN JAMINAN LINGKUNGAN

Pasal 31

(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang hendak melakukan usaha di wilayah pesisir wajib:

1. <![endif]>Mendapat persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat lokal pesisir;

2. <![endif]>Membuat rencana rehabilitasi lingkungan;

3. <![endif]>Membuat rencana pemberdayaan masyarakat.

(2) Pemerintah Daerah memberikan hak pengusahaan di wilayah pesisir setelah dipenuhinya kewajiban di maksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 32
Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan usaha di wilayah pesisir wajib:

1. <![endif]>Memperhatikan dan melindungi lingkungan hidup;

2. <![endif]>Melaksanakan pemberdayaan masyarakat.

Pasal 33
(1) <![endif]>Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud di atas dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) <![endif]>Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana rehabilitasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud di atas dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah pesisir tersebut.



BAB XI

BENCANA

Pasal 34

(1) <![endif]>Pemerintah daerah harus mempunyai perencanaan dan prosedur pelaksanaan pengendalian kerusakan akibat alam dan/atau bencana alam maupun antisipasi terhadap terulangnya bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(2) <![endif]>Pengendalian kerusakan akibat alam dan/atau bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi upaya pencegahan dan/atau mitigasi dan/atau kesiap-siagaan (kesiapan dini) dan/atau tanggap-darurat dan/atau pemulihan.



BAB XII

PENDANAAN DAN KERJASAMA

Pasal 35

Pemerintah Propinsi mengalokasi dana untuk melaksanakan Peraturan Daerah ini di dalam setiap tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 36

Pendanaan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat diperoleh melalui pungutan dari berbagai sektor kegiatan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.



BAB XIII

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pasal 37

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program dan pendanaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini sekurang-kurangnya setahun sekali.



BAB XIV

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 38

(1) <![endif]>Sengketa pengelolaan di wilayah pesisir dan laut antara anggota masyarakat dalam satu Desa didamaikan oleh Kepala Desa dengan dibantu oleh lembaga adat Desa yang ada.

(2) <![endif]>Jika perdamaian dapat dicapai, maka perdamaian itu dibuat tertulis dan ditandatangani para pihak serta saksi-saksi dan anggota lembaga adat Desa yang ada, kemudian disahkan oleh Kepala Desa.

(3) <![endif]>Sengketa yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang bersengketa.

Pasal 39

(1) <![endif]>Sengketa yang terjadi dalam pengelolaan di wilayah pesisir dan laut yang melibatkan lebih dari satu Desa diselesaikan melalui musyawarah mufakat antara para pihak.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.

(3) Apabila tidak terjadi musyawarah mufakat dalam konflik, maka para pihak dapat meminta penyelesaian melalui badan yang dibentuk untuk itu, boleh dilakukan dengan melibatkan atau tidak melibatkan pihak pemerintah.

(4) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.



BAB XV
PENEGAKAN HUKUM

Pasal 40

Pemerintah Daerah Propinsi melaksanakan perlindungan sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan Propinsi terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum dengan:

1. <![endif]>Menyediakan sarana/prasarana dan pendanaan yang diperlukan untuk itu; dan,

2. <![endif]>Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum sesuai dengan bidang tugas dan kewenangannya;

3. <![endif]>Melakukan koordinasi dengan Propinsi lain untuk penegakan hukum di laut.

Pasal 41

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melaksanakan perlindungan sumberdaya alam di wilayah pesisir terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum dengan:

1. <![endif]>Menyediakan sarana/prasarana yang diperlukan untuk itu;

2. <![endif]>Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum sesuai dengan bidang tugas dan kewenangannya

3. <![endif]>Melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota lain.

Pasal 42

Pemerintah Desa melaksanakan perlindungan sumberdaya alam setempat dengan menegakkan sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Desa yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan kewenangan Desa.



BAB XVI

KETENTUAN SANKSI

Pasal 43

Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan tindak pidana, perbuatan melawan hukum dan/atau pelanggaran administratif berkenaan dengan lingkungan hidup di wilayah pesisir dan laut diterapkan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 44

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa dapat ditetapkan sanksi berdasarkan kewenangannya.



BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45

(1) <![endif]>Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) <![endif]>Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Sulawesi Utara.

Ditetapkan di : Manado

Pada tanggal :





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI UTARA

NOMOR TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

TERPADU BERBASIS MASYARAKAT DI PROPINSI SULAWESI UTARA



I. UMUM

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Pelaksanaan pengelolaan ini juga terkait erat dengan berbagai aspek pembangunan yang lebih luas yang disebutkan dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, antara lain: (1) hukum (dan hak asasi manusia), (2) ekonomi; (3) politik; (4) pendidikan; (5) sosial dan budaya; (6) pembangunan daerah; (7) sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dan (8) pertahanan dan keamanan; sehingga permasalahan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil juga merupakan bagian dari permasalahan berbagai aspek pembangunan tersebut.

Peraturan Daerah Propinsi ini juga merupakan pelaksanaan pokok-pokok tertentu dari Program-program Prioritas dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi Utara, khususnya: (1) Program Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dan (2) Program Ekonomi.

Dalam Program Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, sebagai salah satu Arah dan Kebijakan, yaitu (butir 9): Mengatur pengamanan terhadap garis pantai terutama menjaga pelestarian tanaman bakau, biota laut, terumbu karang, dan sejenisnya. Dalam Program Ekonomi, sebagai Arah dan Kebijakan antara lain adalah: (1) Mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir guna menghindari terjadinya degradasi sumberdaya tersebut (butir 20), dan (2) Meningkatkan dan membina kepariwisataan yang berbasis alam budaya, teknologi dan lingkungan hidup (butir 21).

Selain itu, Peraturan Daerah Propinsi ini merupakan suatu matarantai dari rangkaian peraturan tentang pengelolaan pesisir. Perkembangannya dimulai dari gerakan pembuatan peraturan-peraturan tingkat desa sejak tahun 1997-1998 di wilayah Kabupaten Minahasa, pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa, yang dimaksudkan sebagai ketentuan payung untuk peraturan dan keputusan desa setempat, sampai pada upaya pembuatan Undang-undang tentang Pengelolaan Pesisir yang sekarang berada dalam tahap draft Rancangan Undang-undang.

Beberapa pokok dalam Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Sistem Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat.

Sistem Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan pesisir dan laut yang terbentuk dari dua unsur yang merupakan dua gagasan pokok, yaitu: (1) Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu, dan (2) Pengelolaan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat.

Gagasan Pengelolaan Pesisir Terpadu adalah suatu proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan vertikal, ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen, sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut bekerlanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu).

Gagasan Pengelolaan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat adalah suatu proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut. Gagasan ini berpangkal pada Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan: Hari Depan Kita Bersama, 1987, dan telah mulai diterapkan di sejumlah desa di Kabupaten Minahasa sejak tahun 1997. Beberapa prinsip dalam gagasan ini, yaitu: (1) Sukarela bukan persyaratan/keharusan; (2) Insentif, bukan sanksi; (3) Penguatan, bukan birokrasi; (4) Proses, bukan substansi; dan (5) Penunjuk arah, bukan jalan spesifik.

Tujuan perlindungan lingkungan hidup dari Sistem Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat adalah pemanfaatan sumberdaya alam pesisir secara berkelanjutan, sedangkan sebagai program yang mendapatkan perhatian khusus adalah pengelolaan pesisir dan laut yang muncul dari kehendak masyarakat lokal pesisir, antara lain dengan menentukan sendiri Daerah Perlindungan Laut di lokasi mereka.

2. Dari gunung-gunung hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, daerah-daerah sekitar dan sepanjang garis pantai, laut, pulau-pulau kecil sampai menuju ke arah laut lepas, merupakan satu ekosistem.

Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun. Pengelolaan ekosistem daerah-daerah sekitar dan sepanjang garis pantai semata-mata, tanpa adanya perhatian terhadap gunung-gunung hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, laut, pulau-pulau kecil sampai menuju ke arah laut lepas, tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Ini karena wilayah pesisir (coastal zone) adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, serta saling mempengaruhi. Dengan demikian, semua daerah tersebut seharusnya dipandang sebagai satu ekosistem dan semuanya perlu mendapatkan perhatian.

Peraturan Derah Propinsi ini memiliki keterbatasan. Pertama, tidak dapat sekaligus mengatur semua daerah tersebut, dan kedua, keterbatasan yuridis wilayah berlakunya suatu Peraturan Daerah Propinsi. Keterbatasan pertama perlu diatasi dengan pembentukan Peraturan Daerah lainnya yang akan menjadi suatu matarantai peraturan dengan Peraturan Daerah ini, sedangkan keterbatasan kedua perlu diatasi antara lain dengan mengadakan analogi terhadap ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dengan menggunakan analogi terhadap ketentuan tersebut, maka sekalipun Daerah Propinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara tidak memiliki hak pengelolaan terhadap wilayah di luar wilayah Propinsi Sulawesi Utara tetapi memiliki hak untuk mengetahui dan mengawasi aktivitas di situ yang dapat memiliki dampak terhadap Daerah Propinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara.

3. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan ekologi dalam pengambilan keputusan.

Tiap keputusan pembangunan harus memperhatikan keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan ekologi. Pembangunan yang mengabaikan pertimbangan ekologi hanya mendatangkan manfaat ekonomi jangka pendek tapi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kerugian ekonomi dalam jangka panjang karena biaya pemulihan yang harus ditanggung di masa depan. Di masa sekarang pun, dalam tiap perhitungan manfaat pembangunan sudah seharusnya dimasukkan perhitungan akuntansi sumberdaya alam (natural resources accounting), yang mencakup antara lain apa dan siapa yang dirugikan, berapa besar kerugian dan rencana rehabilitasi. Tanpa perhitungan ini maka manfaat ekonomi di masa sekarang sebenarnya tidak sebesar yang kelihatan karena di dalamnya tersirat kerugian yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat di kemudian hari.

Sebaliknya, perlindungan lingkungan hidup tidak berarti menutup pembangunan ekonomi; kecuali untuk lokasi-lokasi tertentu yang ditetapkan sebagai daerah perlindungan terakhir. Pembangunan tetap diperlukan oleh negara, daerah dan masyarakat itu sendiri, dengan memperhatikan adanya syarat-syarat tertentu. Selain itu pembangunan yang langsung untuk kepentingan dan fasilitas umum seperti pembangunan pelabuhan penumpang internasional, nasional dan regional, merupakan kewenangan sepenuhnya Pemerintah Daerah dengan tetap memperhatikan daerah perlindungan terakhir dan perlindungan lingkungan hidup.

4. Pemberdayaan masyarakat benar-benar diberikan arti dan konsekuensi praktis.

Pemberdayaan masyarakat hanya akan mencapai hasil yang diharapkan apabila benar-benar diambil langkah-langkah praktis, yang mencakup antara lain:

a. desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat setempat, yang antara lain dengan pemberian hak pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat lokal;

b. adanya pemberian suara yang efektif pada masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut, antara lain dengan adanya wakil masyarakat dalam badan-badan koordinasi pengelolaan pesisir dan laut;

c. hak masyarakat lokal sebagai kesatuan untuk memberikan persetujuan atau menolak rencana pembangunan di wilayahnya;

d. tanggungjawab sosial pengusaha untuk rencana pemberdayaan masyarakat lokal.

5. Kedudukan Peraturan Daerah Propinsi ini terutama untuk memberikan pedoman dan mendorong kabupaten dan kota di Propinsi Sulawesi Utara membentuk peraturan-peraturan daerah mereka sendiri yang didasarkan pada Sistem Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat.

Pembentukan Peraturan Daerah Propinsi ini adalah dengan memperhatikan batas-batas kewenangan Propinsi, di mana berdasarkan Undang-undang-undang No.22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, tugas dan kewenangan Propinsi mencakup: (1) Tugas dan kewenangan sebagai Wilayah Administrasi (Asas Dekonsentrasi); (2) Tugas dan kewenangan sebagai Daerah Otonom (Asas Desentralisasi); dan, (3) Tugas Pembantuan. Otonom untuk Daerah Propinsi, menurut Penjelasan Umum butir 1 huruf h UU No.22 Tahun 1999, diberikan secara terbatas; yang meliputi:

a. <![endif]>Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999);

b. <![endif]>Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya (Pasal 9 ayat (1) UU No.22 Tahun 1999), yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000;

c. <![endif]>Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 9 ayat (2) UU No.22 Tahun 1999). Propinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota (Pasal 3 ayat (3) PP No.25 Tahun 2000). Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi (Pasal 3 ayat (4) PP No.25 Tahun 2000). Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 PP No.25 Tahun 2000).

Titik berat Otonomi berada pada Daerah Kabupaten dan Kota sehingga kewenangan dan kewajiban untuk secara langsung mengatur masyarakat itu sendiri terutama ada pada Daerah Kabupaten dan Kota. Dalam hal ini, kedudukan Peraturan Daerah Propinsi terutama untuk memberikan pedoman dan pendorong pembentukan Peraturan-peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang didasarkan pada Sistem Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat. Pengecualiannya hanyalah apabila suatu hal menurut peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan Propinsi atau memerlukan adanya kesepakatan antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota.



II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ketentuan ini merupakan analogi dan penjabaran lebih lanjut terhadap ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pasal 4

Butir 1

Dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam adalah memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan (Pasal 5 huruf g).

"Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini" berarti memenuhi:

1. Kebutuhan ekonomi, yang mencakup kebutuhan hidup yang layak;

2. Kebutuhan sosial, budaya dan kesehatan, yang mencakup pemukiman yang sehat, aman, dan laik usaha, dengan dukungan air bersih, saluran air, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan perlindungan dari bencana alam;

3. Kebutuhan politik, yang mencakup kebebasan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang lingkungan hidup;

"Tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" berarti:

1. Meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat dibaharui;

2. Penggunaan yang hemat terhadap sumberdaya yang dapat dibaharui, yang mencakup penggunaan air bersih, tanah, dan hutan dengan cara-cara yang sebolah-bolehnya dapat menjamin pemulihan kembali oleh alam itu sendiri;

3. Menjaga kemampuan serap alam terhadap limbah, yang mencakup kemampuan sungai menyerap limbah.

Butir 2

Cukup jelas

Butir 3

Dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam adalah melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah Propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam (Pasal 5 huruf l)

Butir 4 - 8

Cukup jelas



Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Kewenangan-kewenangan ini merupakan kewenangan Daerah Kabupaten/Kota itu sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan disebutkan di sini untuk menegaskan bahwa Daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengatur perilaku (behavior) masyarakat lokal berkenaan dengan pengelolaan pesisir daripada Daerah Propinsi yang lebih berperan untuk memberikan pedoman berkenaan dengan segi kelembagaan dan asas-asas pengelolaan.

Pasal 11

Cukup jelas



Pasal 12

Butir 1 s.d. 4

Cukup jelas

Butir 5

Dasar sosiologis ketentuan ini adalah karena masyarakat lokal yang pertama-tama dan langsung terkena dampak kegiatan di pesisir.

Dasar yuridis ketentuan ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Ordonansi Gangguan (Hinderordonnantie, Staatsblad 1926 - 226) yang menentukan bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditentukan tempat-tempat di mana dilarang mendirikan tempat bekerja tanpa izin di luar daripada yang sudah ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Hinderordonnantie.

Pada Pasal 6 ayat (2) angka II Ordonansi Gangguan ditentukan bahwa keberatan-keberatan yang dapat menyebabkan ditolaknya permintaan izin untuk mendirikan bangunan adalah keberatan-keberatan yang disebabkan karena kuatir akan terjadi: (a) bahaya; (b) kerusakan harta milik, perusahaan atau kesehatan; (c) gangguan yang berat. Untuk jaminan kepastian hukum yang lebih baik bagi para calon penanam modal, maka dalam Peraturan Daerah Propinsi ini diberikan ketentuan bahwa sebelum pemberian izin oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu harus telah ada persetujuan dari masyarakat lokal sebagai kesatuan.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Butir 1

Cukup jelas

Butir 2

Dalam rencana pemintakatan (zonasi) perlu diperhatikan peraturan tentang zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut, antara lain Keppres No.33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.33/Men/2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut.

Butir 3-4

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Butir 1

Cukup jelas

Butir 2

Kewenangan Propinsi dalam bidang kelautan dan perhubungan sebagaimana yang ditentukan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, seperti penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Propinsi (Pasal 3 ayat 5 butir 2 (bidang kelautan) huruf a), penetapan alur penyeberangan lintas Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi (Pasal 3 butir 15 (bidang perhubungan) huruf a), dan pengelolaan pelabuhan regional (Pasal 3 ayat 2), merupakan hal-hal yang perlu diatur tetapi dalam peraturan tersendiri.

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas
Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Hal ini sesuai dengan tugas dan kewajiban Kepala Desa menurut Pasal 101 huruf e Undang-undang No.22 Tahun 1999, yaitu mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, yang dalam bagian penjelasan pasal diberikan keterangan bahwa untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa; dan segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih.

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Butir 1

Untuk perlindungan sumberdaya alam di wilayah laut dari 4 sampai dengan 12 mil laut terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum seperti pencurian ikan, Pemerintah Daerah Propinsi perlu menyediakan sarana/prasarana perlindungan yang antara lain dapat berupa penyediaan Kapal Angkatan Laut.

Hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menentukan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

Butir 2

Cukup jelas

Butir 3

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas