Wednesday, December 28, 2005

RINGKASAN EKSEKUTIF : RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

http://www.dkp.go.id/content.php?c=145

RINGKASAN EKSEKUTIF : RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.

Akan tetapi kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).

Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi. Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem mangrove. Sejak awal tahun 1980 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha. Hal ini disebabkan konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti tambak, kawasan industri dan pemukiman serta pemanfaatan kayu untuk bahan bakar dan bangunan. Selain itu, berbagai estuari yang dekat dengan kota besar mengalami tingkat pencemaran yang memprihatinkan terutama sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah serta bahan tidak melapuk.

Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener dan produktivitas tangkap udang.

Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak effektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.

Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.

Paradoksi mekanisme pengelolaan wilayah pesisir yang tidak effektif dan kemiskinan masyarakat tersebut harus segera diakhiri. Langkah ke arah itu dimulai dengan mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu. Melalui sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, diharapkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan serta memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang mengelolanya.

Untuk mewujudkan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu tersebut, maka dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa Undang-Undang (UU). Karena sampai saat ini 20 Undang-Undang (UU) dan berbagai konvensi internasional terkait belum ada yang mengatur keterpaduan pemanfaatan sumberdaya darat dan laut, dan belum memberikan kepastian hukum bagi para pengguna sumberdaya yang melestarikannya. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu dan dunia usaha terkait.

Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian hukum, maka perlu disusun suatu Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RUU PWP-PPK).

b. Tujuan

Rancangan Pengelolaan Undang-Undang WP-PPK ini bertujuan untuk:

1. Memperbaiki mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat daerah dalam mengelola sumberdaya pesisir dan PPK secara adil, seimbang dan berkelanjutan sesuai prinsip-prinsip dalam undang-undang ini.
2. Melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan, dan merehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau - pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan, bagi generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi akan datang.
3. Memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal dan adat, dan memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan oleh masyarakat lokal melalui pengakuan hak tradisional, pemberdayaan masyarakat, serta penumbuhan rasa tanggung jawab pengelolaan.

c. Sasaran

1. Mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperbaiki melalui mekanisme integrasi, koordinasi dan konsistensi program;
2. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terlindungi, terkonservasi, termanfaatkan secara lestari, dan yang rusak terehabilitasi;
3. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis masyarakat dan memberdayakan masyarakat dikembangkan;
4. Kepastian hukum bagi dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah dimantapkan.
5. Keseimbangan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota tertata.

2. Kajian Terhadap Perundang-undangan Yang Ada

Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat 20 undang-undang, 5 konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yang memberi legal mandat terhadap 14 sektor pembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir baik langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang diatur dalam perundang-undangan tersebut umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir jenis tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir di darat saja atau di perairan laut saja. Sehingga terdapat kekosongan hukum yang meregulasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah peralihan ekosistem darat dan laut tersebut. Keempat belas sektor tersebut meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tataruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan dan daerah.

Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah mendorong berbagai departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir sesuai dengan kepentingannya. Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian telah dan akan melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang berkepentingan dengan wilayah pesisir.

Berdasarkan hasil kajian terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu : i. Konflik antar Undang-Undang; ii. Konflik antara UU dengan Hukum Adat; dan iii. Kekosongan Hukum.

Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.

Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan sumber daya alam di perairan pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumberdaya pesisir, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumberdaya pesisir tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.

Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang pengusahaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.

Ketiga masalah krusial tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasikan berbagai nberbagai norma-norma hukum yang meregulasi pengelolaan wilayah pesisir.

3. Pokok-Pokok Pikiran, Obyek dan Lingkup Pengaturan

a. Pokok-pokok Pikiran

Pada saat ini terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan replikasi dari pendekatan sector yang cenderung untuk mengeksploitasi sumberdayanya. Undang-undang yang ada dan peraturan daerah lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga menimbulkan kerusakan fisik. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan SDP seperti sasi, seke, panglima laot. Terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik.

b. Justifikasi

b.1. Wilayah Pesisir Memerlukan Pengaturan Khusus
Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang bersifat khusus sehingga perlu diatur secara tersendiri. Wilayah pesisir ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan menerima dampak dari darat. Sementara terdapat kekosongan dan ketidakpastian hukum di wilayah pesisir. Selain itu terdapat kecenderungan konflik pengelolaan yang tinggi sehingga perlu penyelesaian konfliknya. Kawasan pesisir juga mempunyai dimensi global (agenda 21 bab 17, konvensi hukum laut). Undang-undang yang ada berorientasi darat sehingga perlu RUU baru yang menggunakan pendekatan paradigma laut.

b.2. Rujukan Legislasi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

* Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
* Tap MPR RI No. IX/MPR RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
* Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
* Agenda 21 Bab 17 Konvensi Rio De Jenairo.

b.3. Ciri-Ciri RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

* Bersifat multi sektor.
* Koordinatif, integratif dan konsistensi program.
* Keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya pesisir.
* Sharing pembiayaan dalam pengelolaan antara pusat dan daerah serta masyarakat.
* Pengakuan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir lainnya dalam pengelolaan berbasis masyarakat.

b.4. Fokus RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

* Pengaturan proses perencanaan secara wajib dan sukarela (voluntary) dan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
* Pengaturan norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara umum.
* Penataan mekanisme koordinasi, integrasi dan konsistensi antar tingkat pemerintahan dan antar instansi terkait dalam pemerintahan yang sama.

c. Obyek dan Lingkup Pengaturan
Berkenaan dengan kajian terhadap perundang-undangan diatas maka norma-norma yang perlu diatur dalam rancangan undang-undang tersebut meliputi:

i. Mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPW-PPK) terpadu, yang meliputi:

a. Perencanaan PPW-PPK terpadu,
b. Penataan ruang dan pemintakatan wilayah pesisir dan laut,
c. Pengelolaan pulau-pulau kecil,
d. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
e. Pengelolaan ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, dan estuaria; dan
f. Pengendalian kerusakan pesisir.

ii. Akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir secara sukarela;
Program PWP-PPK dapat diusulkan oleh masyarakat, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dan diakreditasi (dinilai) apakah telah memenuhi standar minimum yang ditetapkan melalui UU ini. Proses akreditasi dapat dilakukan oleh kabupaten/kota, provinsi atau pusat sesuai tingkat kebutuhan dan kepentingannya, lalu yang telah diberi akreditasi mendapat insentif antara lain sharing pembiayaan.

iii. Penataan kewenangan dan kelembagaan Pelaksana program PWP-PPK.
Kewenangan pengelolaan yang terpilah-pilah perlu diintegrasikan sejalan dengan otonomi daerah, agar setiap program atau perencanaan dapat dilaksanakan secara sinergis dalam satu zona di wilayah pesisir. Lembaga yang mengintegrasikannya perlu dibentuk atau menggunakan yang sudah ada saja.

iv. Pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat pesisir;
Hak-hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir bukan adat di akui untuk menjamin akses mereka terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir. Hak yang diakui ini dibarengi dengan kewajiban mereka untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Masyarakat pesisir ini juga diberdayakan dan mereka berpartisipasi setiap tahap pengelolaan sehingga dapat mengelola sumberdaya pesisir dan mampu menjaganya dari eksploitasi lebih yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab.

v. Penyelesaian konflik dan penegakan hukum.
Mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan dipengadilan namun lebih diprioritaskan diluar pengadilan agar pihak yang bertikai lebih didorong untuk bernegosiasi, berdamai, atau dimediasi lembaga yang ditunjuk. Sedang penegakan hukum dilakukan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dengan memperkuat mekanisme penegakan hukum tersebut di wilayah pesisir yang melibatkan masyarakat.

Norma-norma hukum dan mekanisme perizinan yang telah diatur dalam undang-undang lain dan masih tetap dipertahankan dan norma-norma hukum baru dibuat sepanjang terdapat kekosongan hukum, sedang norma-norma yang bertentangan akan disinkronkan.

4. Outline RUU Pengelolaan Pesisir

0. Konsideran

A. Menimbang
B. Mengingat
C. Memutuskan
D. Menetapkan

I. Ketentuan Umum

A. Definisi
B. Tujuan
C. Prinsip

II. Perencanaan Terpadu Wilayah Pesisir

A. Perencanaan Terpadu
B. Perencanaan Tata Ruang dan Pemintakatan

III. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir

A. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
B. Pengelolaan Kawasan Konservasi

IV. Pengkayaan Ekosistem dan Pengendalian Kerusakan

A. Pemanfaatan dan Pengkayaan Ekosistem Pesisir
B. Pengendalian Kerusakan

V. Program Akreditasi

A. Umum
B. Kewenangan
C. Proses
D. Materi
E. Tingkatan dan Kriteria
F. Persetujuan terhadap Program Khusus
G. Insentif

VI. Kewenangan

A. Pemerintah
B. Pemerintah Provinsi
C. Pemerintah Kabupaten/Kota
D. Desa/Nagari

VII. Kelembagaan

A. Kelembagaan di Pusat
B. Kelembagaan di Daerah

VIII. Pengakuan Hak dan Pemberdayaan Masyarakat

A. Hak
B. Kewajiban
C. Mekanisme
D. Partisipasi

IX. Perijinan dan Pembiayaan

A. Perijinan
B. Pembiayaan

X. Pemantauan, Pengawasan, dan Evaluasi

A. Pemantauan
B. Pengawasan
C. Evaluasi

XI. Penyelesaian Konflik dan Penegakan Hukum

A. Penyelesaian Konflik
B. Penegakan Hukum
C. Sanksi (administrasi, pidana, perdata)

XII. Ketentuan Peralihan

XIII. Ketentuan Penutup

5. Jangkauan dan Arah Pengaturan

Berdasarkan prinsip dan obyek pengaturan tersebut, maka jangkauan dan arah dalam RUU PWP-PPK ini adalah mendorong inisiatif semua pihak, khususnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat pesisir untuk mengelola sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Wilayah pesisir dalam RUU PWP-PPK ini dibatasi kearah laut sejauh 12 mil laut dari garis pantai dan kearah darat sejauh batas wilayah administratif kecamatan.

Pengelolaan sumberdaya pesisir belum diatur oleh Undang-undang yang ada. Sehingga regulasi pemanfaatan pulau-pulau kecil cenderung didasarkan pada undang-undang dengan konteks pengelolaan pulau besar berbasis sumberdaya darat. Belum ada yang berangkat dengan kerangka berpikir dari matra laut.

Prinsip pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu difokuskan pada empat aspek. Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi. Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut. Integrasi antara sain dan manajemen. Prinsip berkelanjutan dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak boleh mengorbankan kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang. Prinsip ini bisa lebih effektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis, trasparan dan didesentralisasikan ke level pemerintahan yang rendah yang melibatkan masyarakat pesisir setempat.

Mengingat pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bersifat lintas sektor, maka progranm PWP-PPK perlu dikoordinasikan oleh suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sesuai dalam bidang pesisir dan kelautan. Akan tetapi fungsi koordinasi itu mungkin bisa dilihat dari beberapa alternatif. Apakah menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya Departemen Kelautan dan Perikanan, atau membentuk badan baru yang bersifat lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat.

Pemberian hak pengusahaan/pengelolaan perairan laut belum diatur dalam bentuk undang-undang, sementara dilapangan telah banyak pelaku-pelaku ekonomi yang memanfaatkannya. Banyak kegiatan di perairan laut yang dilakukan seperti budidaya mutiara, pontoon dan reklamasi pantai, yang telah berkembang di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Untuk mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang, maka hak pengusahaan pengelolaan di perairan laut ini perlu diatur dalam bentuk undang-undang dengan pendekatan matra laut dan prinsip sukarela.

Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan dengan inisiatif sendiri dapat memilih secara sukarela untuk mengikuti atau tidak program akreditasi. Bagi daerah yang berinisitif menyusun program PWP-PPKnya dapat mengusulkan ke pemerintah provinsi dan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk diakreditasi. Daerah yang melaksanakan akreditasi program PWP-PPK secara sukarela sewajarnya diberi insentif. Ada dua sumber dana untuk insentif yaitu: Departemen Kelautan dan Perikanan mengalokasikan sebagian APBN-nya untuk mengimplementasikan program PWP-PPK. Pemerintah provinsi dapat juga menggunakan dana APBD-nya untuk alokasi dana pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, dengan keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah pusat, maka sumber dana ini menjadi relatif kecil, dan kurang memadai sebagai insentif bagi pemerintah daerah. Sumber kedua adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung program PWP-PPK. Dana ini, tidak mutlak harus didistribusikan ke pemerintah daerah, tetapi tersedia bagi kebutuhan khusus yang dianggap penting.

Pendekatan insentif yang berbentuk instrumen ekonomi ini diusulkan karena pelaku usaha melihat peluang keuntungan apabila melakukan pentaatan (compliance) terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendekatan ini, setiap penanggung jawab usaha/kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem pesisir, secara rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauhmana melaksanakan pentaatan atau melakukan pelanggaran (violation) mendatangkan keuntungan. Sedangkan pendekatan insentif instrumen non-ekonomi dapat dikembangkan melalui salah satunya publikasi kinerja usaha/kegiatan, akreditasi yang terkait dengan usaha pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Salah satu kunci efektivitas pengelolaan ialah kegiatan penyelesaian konflik, monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan secara konsisten dan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian konflik diantara pengguna sumberdaya dan diantara pemerintah akan menstimulasi keinginginan pihak yang terkait untuk menjaga sumberdayanya. Kegiatan monitoring ini mendorong adanya pentaatan dan penegakan hukum (enforcement). Ketiganya menentukan keberhasilan penerapan Undang-undang ini dilapangan.

Hak Cipta 2003, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia