Raperda Masyarakat Adat Tau Taa Wana Sulteng (2): Usulan
Kawan-kawan Miliser,
Di bawah ini saya kirimkan :
USULAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH INISIATIF/PRAKARSA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT TAU TAA WANA DI PROPINSI SULAWESI TENGAH
Bila ada masukan dan kritikan harapkan ditujukan kepada kawan Nasution Camang dg alamat imel: tion_camang@telkom.net
Tentunya jangan lupa di-CC-kan pula ke Milis Lingkungan <lingkungan@yahoogroups.com> atau Moderator Milis Lingkungan di alamat imel : senoaji@cbn.net.id agar forum milis dapat mencermatinya bersama, shg bila semakin banyak orang yg mengkritisinya maka akan sebaik hasilnya.
salam,
djuni
============================================
USULAN
NASKAH AKADEMIK
PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH
INISIATIF/PRAKARSA
TENTANG
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT TAU TAA WANA
DI PROPINSI SULAWESI TENGAH
Disusun berdasarkan Harapan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana
di Kawasan Hulu Sub Das Bongka untuk diajukan kepada
Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sulawesi Tengah
agar dipertimbangkan sebagai bahan perumusan Peraturan Daerah
Propinsi Sulawesi Tengah tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Propinsi Sulawesi Tengah
Tim Penyusun:
H. Nungci H.A
Nasution Camang S.Sos
M. HR. Tampubolon SH.
YAYASAN MERAH PUTIH PALU
JULI 2005
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................... 2
A. Latar Belakang ............................................................. 2
A.1. Dasar Petimbangan Mengapa Kebijakan Pengakuan dan
Perlindungan Masyakat Hukum Adat Tau Taa Wana Penting ...... 3
A.2. Rumusan asas/landasan nilai yang harus menjadi pedoman
pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat
Tau Taa Wana .............................................................. 5
A.3. Rumusan bentuk dan isi kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana ................................. 6
A.4. Bentuk Hukum bagi Pengakuan dan Perlindungan
Tau Taa Wana sebagai Masyarakat Hukum Adat ..................... 8
B. Tujuan dan Sasaran............................................................... 9
C. Metode ............................................................................. 9
BAB 2. RUANG LINGKUP ............................................................ 11
A. Dasar Pertimbangan Pengaturan ................................................ 11
B. Dasar Hukum Pengaturan ....................................................... 12
C. Ketentuan Umum ................................................................. 13
D. Materi Muatan ..................................................................... 14
1. Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat ............................ 14
a. Umum ........................................................................ 14
b. Masyarakat Hukum Adat .................................................. 14
c. Wilayah Masyarakat Hukum Adat ....................................... 14
d. Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat ................................. 15
2. Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat ......................... 15
E. Ketentuan Penutup ................................................................ 15
BAB 3. KESIMPULAN .................................................................. 16
* Lampiran 1 : Masyarakat Adat: Konsep dan Defenisi ............................ 17
* Lampiran 2 : Hak-Hak Komunitas Adat dalam Instrumen Hukum Nasional ...... 20
* Lampiran 3 : Tau Taa Wana di Kawasan Hulu SubDAS Bongka
Sebuah Potret Masyarakat Hukum Adat ................................ 26
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam 5 tahun terakhir, issue masyarakat adat, mulai mendapat apresiasi politik di negeri ini, baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Gejala ini paling tidak, diindikasikan oleh 2 hal: Pertama, sebutan-sebutan (stigma) negatif seperti, masyarakat terasing atau suku terasing, masyarakat terbelakang, peladang berpindah, perambah hutan, perlahan-lahan mulai ditanggalkan, diganti istilah yang lebih netral, seperti masyarakat hukum adat atau komunitas adat terpencil.1) Kedua, hak-hak masyarakat adat telah dimasukkan dalam sejumlah instrumen hukum nasional, yang secara garis besar menegaskan adanya kewajiban bagi negara untuk mengakui dan menghormati identitas dan hak-hak tradisional masyarakat adat sepanjang kenyataannya masih ada dan selaras dengan perkembangan zaman (masyarakat).
Sejumlah Pemerintah Daerah dan DPRD di Indonesia, nampaknya telah memberikan respon terhadap harapan yang termaktuf dalam instrumen hukum nasional tersebut. Ini dibuktikan dengan dibuatnya kebijakan-kebijakan daerah, baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah yang mengukuhkan keberadaan dan hak-hak komunitas adat di daerahnya masing-masing.2)
Dalam kaitan itu, Tau Taa Wana --- pihak luar menyebutnya Suku Wana --- yang bermukim di kawasan hulu Sub Daerah Aliran Sungai (SubDAS) Bongka adalah salah satu komunitas adat di Sulawesi Tengah yang sejak tahun 2001, telah mengungkapkan harapanya untuk mendapatkan pengukuhan berupa pengakuan dan perlindungan atas identitas dan hak-hak tradisional mereka, termasuk di dalamnya hak Sipil Politik dan hak Ekonomi dan Sosial Budaya. Harapan tersebut sering diungkapkan secara eksplisit pada berbagai forum-forum musyawarah adat dan semakin menguat hingga sekarang.
Untuk memenuhi harapan tersebut, Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, pada tahun 2004, memfasilitasi sejumlah forum diskusi, mulai dari Seminar Sehari, Dialog Publik dan Dialog Kebijakan di Kab. Tojo Una-Una, hingga diskusi dengan komuitas Tau Taa Wana. Tujuannya adalah untuk mensosialisasikan harapan Tau Taa Wana serta menggali dan membahas bersama signifikansi dan substansi pengakuan dan perlindungan Tau Taa Wana sebagaimana yang mereka harapkan.
Dari forum-forum diskusi yang difasilitasi oleh Yayasan Merah Putih (YMP) Palu tersebut, diperoleh temuan-temuan penting, yakni:
1). Rumusan dasar petimbangan mengapa Peraturan tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana sangat penting di keluarkan;
2). Rumusan asas-asas atau landasan-landasan nilai yang harus menjadi pedoman dalam mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana;
3). Rumusan bentuk-bentuk dan gagasan materi peraturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana;
4). Bentuk hukum atau bentuk peraturan yang menjadi instrumen hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.
A.1. Dasar Petimbangan Mengapa Peraturan tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyakat Hukum Adat Tau Taa Wana Penting
Dari berbagai forum diskusi tersebut, para partisipan (peserta) umumnya sepakat, bahwa sebagai negara demokratis, Pemerintah sudah sepatutnya merespon tuntutan komunitas adat Tau Taa Wana untuk mendapatkan pengukuhan melalui instrumen hukum daerah. Respon itu tidak saja merupakan kewajiban politik terhadap rakyat, tetapi juga merupakan amanat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) serta mandat TAP MPR No. XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) yang telah dijabarkan melalui sejumlah Peraturan Perundang-Undangan (lihat: Lampiran 2).
Selain pertimbangan tersebut di atas, forum-forum diskusi tersebut, juga masih menyertakan sejumlah pertimbangan yang lebih menitik beratkan pada urgensi dan manfaat kebijakan pengukuhan tersebut bagi Sulawesi Tengah, antara lain:
a. Pengukuhan hak Tau Taa Wana merupakan indikator politik pemerataan pembangunan di Sulteng
Data Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Departemen Sosial RI menunjukkan, dari sepuluh besar kantong KAT di Indonesia, Propinsi Sulawesi Tengah menempati urutan kedua (83.164 Jiwa) setelah Nusa Tenggara Timur (154.313 Jiwa).3) Dari jumlah tersebut, sebanyak 57.941 jiwa yang belum tersentuh oleh layanan sosial, ekonomi dan politik oleh pemerintah.4) Data ini tentu saja menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pembangunan dan akses layanan sosial masih merupakan masalah di Sulteng.
Karenanya, mayoritas peserta dalam forum-forum diskusi tersebut ber-pandangan bahwa "produk kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah yang berkenaan dengan pengukuhan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat," secara politik dapat menaikkan citra positif Pemerintah Sulteng, karena produk kebijakan tersebut merupakan salah satu indikator (alat ukur) terhadap pemerataan pembangunan di Sulteng.
b. Pengukuhan Hak Tau Taa Wana merupakan upaya Pengendalian Deforestasi secara Partisipatif.
Wilayah adat Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka adalah kawasan hutan yang merupakan daerah tangkapan air terluas di Sulawesi Tengah (327.500 Ha). Sayangnya, dalam 5 tahun terakhir, kawasan tersebut telah menjadi sasaran illegal loging oleh pihak-pihak luar yang sering melibatkan oknum dari kepolisian setempat.5) Akibatnya, kawasan hutan di SubDAS Bongka telah mengalami kecenderungan deforestasi.6)
Terhadap illegal loggers tersebut, hukum adat Tau Taa Wana tak berdaya melarangnya, karena para illegal loggers menggunakan argumentasi bahwa wilayah adat Tau Taa Wana adalah "hutan negara bebas." Oleh karena itu, pengukuhan hak Tau Taa Wana atas wilayah adatnya, merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan pengawasan dan pengendalian ekstraksi sumber daya hutan secara partisipatif.
Pandangan ini sangat dimungkinkan, karena: Pertama, dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan), Tau Taa Wana sampai sekarang masih berpedoman pada kearifan lokal dan sistem hukum adat yang secara turun temurun terbukti mampu mendatangkan keadilan dan kelestarian lingkungan (lihat lampiran 3); kedua, kebijakan pengukuhan tersebut merupakan kekuatan hukum yang akan memperkuat otoritas kelembagaan adat Tau Taa Wana dalam menerapkan hukum adatnya yang arif lingkungan terhadap pihak luar.
c. Pengukuhan Hak Tau Taa Wana dapat meningkatkan citra Sulteng di Dunia Internasional.
Dari semua komunitas adat di Indonesia, Tau Taa Wana (Suku Wana) merupakan salah satu komunitas adat yang sudah banyak dikenal di dunia internasional. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuan-ilmuan dari luar negeri terhadap Tau Taa Wana.7) Dalam konteks ini, kebijakan pengukuhan hak Tau Taa Wana, dapat meningkatkan citra pemerintah Sulawesi Tengah di dunia internasional, karena kebijakan pengukuhan tersebut eksplisit menunjukkan tingkat apresiasi Pemerintah Sulawesi Tengah terhadap Tau Taa Wana sebagaimana apresiasi dari kalangan peneliti.
A.2. Rumusan asas/landasan nilai yang harus menjadi pedoman pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.
Walaupun forum-forum diskusi menyepakati perlunya Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah memproduk kebijakan yang mengakui dan melindungi komunitas adat Tau Taa Wana, namun para peserta umumnya juga setuju bahwa pengakuan dan perlindungan tersebut, mesti disertai rambu-rambu sehingga tidak berkembang ke arah yang destruktif. Dalam hal ini, forum-forum diskusi merekomendasikan, bahwa kebijakan mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap Tau Taa Wana sebagai masyarakat hukum adat, harus:
a). Menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan;
b). Tidak melembagakan nilai-nilai feodalistik, artinya harus menghindari pengaturan yang berpotensi memperkuat nilai dan struktur feodalisme;
c). Menghargai kemajemukan atau keberagaman masyarakat Indonesia, sehingga keunikan budaya Tau Taa Wana diterima sebagai bagian dari kemajemukan.
d). Dalam hal pengelolaan ruang dan kekayaan alam, harus berorientasi pada prinsip keselamatan dan kesejahteraan rakyat, produktifitas rakyat, serta kelangsungan pelayanan alam.
A.3. Rumusan bentuk dan isi kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
Berkenaan dengan bentuk dan substansi pengukuhan, forum-forum diskusi menitik beratkan bahwa, Kebijakan mengenai pengukuhan Tau Taa Wana sebagai masyarakat hukum adat harus mencerminkan pengakuan dan perlindungan terhadap :
a). Hak atas Identitas Budaya, berupa:
* Penguatan legitimasi struktuk dan fungsi lembaga kepemimpinan masyarakat adat (perangkat penguasa adat) yang berlaku sesuai dengan perkembangan.
* Penguatan jaminan hukum dan politik atas pranata dan perangkat hukum adat, serta putusan-putusan peradilan yang dijatuhkan pada anggota komunitas setempat, maupun terhadap pihak-pihak yang bukan anggota komunitas setempat yang melakukan pelanggaran dalam wilayah hukum adat.
* Penyediaan ruang publik kepada Tau Taa Wana untuk mengekspresikan adat istiadat dan seni budayanya, termasuk situs maupun benda-benda budaya.
* Pemberian penghargaan dan jaminan hukum terhadap hak kekayaan intelektual serta kearifan setempat (lokal) yang ramah lingkungan.
b). Hak atas Wilayah Hukum Adat, berupa:
* Penetapan tata batas (koordinat dan batas alam) masing-masing wilayah penguasaan satuan-satuan mukim (lipu) di dalam wilayah hukum adat, khususnya satuan-satuan mukim di kawasan hulu SubDAS Bongka.
* Pemberian jaminan hukum atas tata guna lahan dan ruang yang mengunakan pengaturan dan kebijakan setempat yang melindungi hak penguasaan dan kepemilikannya secara komunal maupun individual.
* Pemberian jaminan hukum dan politik terhadap inisiatif kebijakan setempat untuk melindungi sumber-sumber kehidupan, seperti tanah, air, hutan (daerah penyanggah kehidupan), aliran sungai dan daerah rawan bencana dalam wilayah hukum adatnya.
* Pemberian jaminan hukum dan politik terhadap inisiatif kebijakan setempat untuk melakukan: (a) Pengaturan dan pelarangan terhadap investasi dan pe-rambahan hutan tangkapan air dan daerah aliran sungai, serta lokasi rawan bencana dalam wilayah hukum adatnya; (b) Pengaturan dan pelarangan terha-dap komoditisasi tanah/lahan dalam wilayah hukum adatnya; (c) Pencegahan eksploitasi hutan, pencemaran air, termasuk introduksi tanaman transgenic dan pestisida.
c). Hak Pemanfaatan Keakayaan Alam, berupa:
* Pemberian jaminan perlindungan hukum dan ekonomik bagi komunitas Tau Taa Wana untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam di wilayah adatnya dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya;
* Pemberian jaminan hukum bahwa pemberian izin pemanfaatan lahan dan kekayaan alam dalam wilayah hukum adat Tau Taa Wana, harus atas persetujuan komunitas Tau Taa Wana setempat.
d). Hak Otonomi dan Pengembangan Diri, berupa:
* Pemberian kewenangan untuk menentukan penataan dan pengembangan satuan mukimnya (lipu) sesuai perkembangan masyarakat, serta kemung-kinkan pelembagaan satuan mukim (lipu) tersebut sebagai pemerintahan setingkat desa sesuai tuntutan masyarakat setempat;
* Pemberian kewenangan untuk membentuk dan mengembangkan struktur dan kelembagaan baru (ekonomi, politik, hukum, sosial budaya) sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat;
* Pemberian kewenangan untuk memilih dan menentukan pemimpin dalam komunitasnya, termasuk pilihan atas pimpinan kabupaten, propinsi dan nasional dalam Pilkada dan Pemilu.
e). Hak atas Pembangunan, berupa:
* Pemberian jaminan hukum tentang adanya "proses konsultasi publik" oleh pemerintah/pemodal tentang rencana pembangunan yang mengintroduksi alat dan cara produksi baru di wilayah yang berpotensi memberi dampak dan atau memberi manfaat bagi komunitas setempat (prior informed consent)
* Hak dan kebebasan Tau Taa Wana untuk berserikat dan berkumpul serta ikut dalam pengambilan keputusan pembangunan;
* Hak Tau Taa Wana untuk "mendapatkan informasi yang objektif" mengenai rencana dan/atau program pembangunan di wilayah hukum adatnya;
* Hak Tau Taa Wana untuk mendapatkan pelayanan sosial sesuai dengan kebu-tuhan dan perkembangannya, seperti kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain.
A.3. Bentuk Hukum bagi Pengakuan dan Perlindungan Tau Taa Wana sebagai Masyarakat Hukum Adat
Berkenaan dengan bentuk hukum pengaturan pengukuhan Tau Taa Wana, Forum-forum diskusi, menyepakati:
Pertama, bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 41/1999 tentang kehutanan, maka bentuk hukum pengaturan pengukuhan Tau Taa Wana adalah Peraturan Daerah.
Kedua, bahwa mengingat wilayah hukum adat Tau Taa Wana melintasi batas wilayah administratif 3 kabupaten, yakni Tojo Una-Una, Morowali dan Banggai, maka Peraturan Daerah yang mengukuhkan keberadaan Tau Taa Wana, harus berupa Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang menegaskan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana serta bentuk dan prinsip-prinsip umum pengakuan dan perlindungan tersebut.
Ketiga, pengaturan bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip pengakuan dan per-lindungan yang bersifat teknis sebagaimana harapan Tau Taa Wana, dapat ditindak lanjuti melalui Peraturan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah, Peraturan Daerah Kabupaten, atau Peraturan Bupati, misalnya:
* Peraturan Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah tentang Tata Batas Wilayah Hukum Adat Tau Taa Wana, yang pada kenyataannya melintasi 3 wilayah administratif kabupaten (Tojo Una-Una, Morowali, dan Banggai);
* Peraturan Daerah Kabupaten atau Peraturan Bupati yang berkenaan dengan aspek kelembagaan, hak-hak tradisional termasuk hak ulayat, serta hak-hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
Keempat, pada tingkat komunitas (lipu/opot), perlu pula adanya peraturan-peraturan lokal atau kebijakan lembaga adat untuk mengimplementasikan produk Perundang-Undangan yang sudah ada.
Berdasarkan hasil-hasil atau masukan-masukan tersebut di atas, maka disusunlah usulan "Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Prakarsa (Inisiatif) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Propinsi Sulawesi Tengah".
B. Tujuan dan Sasaran
Usulan naskah akademik ini bertujuan, hendak merumuskan materi muatan Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Pripinsi Sulawesi Tengah.
Dengan demikian, sasaran yang ingin diwujudkan adalah terciptanya konsep materi muatan Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Pripinsi Sulawesi Tengah.
C. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan usulan naskah akademik ini adalah metode sosio-legal dengan pendekatan partisipatoris. Metode sosio-legal digunakan dengan cara mengkaji ruang yang ada dalam produk Perundang-Undangan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kemudian diselaraskan dengan fakta-fakta empirik dan cita-cita masyarakat hukum adat Tau Taa Wana. Sedangkan pendekatan partisipatoris digunakan dengan cara menyerap aspirasi masyarakat hukum adat bersangkutan (Tau Taa Wana), Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas dan Instansi terkait dan akademisi. Usaha-usaha tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Kegiatan ! Hasil
Studi Kelembagaan dan Sosial Budaya pada 11 satuan mukim (opot/lipu) di kawasan hulu SubDAS Bongka.8) (Februari - Juli 2004) ! Laporan hasil studi yang menggambarkan struktur sosial, kepemimpinan, hukum adat, dan wilayah hukum adat Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka.
Studi Etnobotani pada 11 satuan mukim (opot/lipu) di kawasan hulu SubDAS Bongka. (Maret - Juni 2004) ! Laporan hasil studi tentang pengetahuan lokal dan pola pemanfaatan sumber daya hutan (tumbuh-tumbuhan) Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka.
Pemetaan Tata Batas dan Tata Guna Lahan.9) (Maret - Juli 2004) ! Peta Tata Batas dan Tata Guna Lahan Tau Taa Wana di kawasan Vananga Bulang dan Mpoa
Seminar Sehari di Ampana Kab. Tojo Una-Una (23 September 2004) ! Rekomendasi untuk melakukan perlindungan kearifan lokal komunitas Tau Taa Wana
Pogombo Ada (musyawarah adat) 11 satuan mukim (opot/lipu) di kawasan hulu SubDAS Bongka
(30 September - 2 Oktober 2004) ! Rekomendasi untuk menuntut pengakuan terhadap wilayah adat dan hukum adat Tau Taa Wana.
Dialog Publik di Ampana Kab. Tojo Una-Una (11 Desember 2004) ! Rekomendasi dan komitmen untuk mendukung tuntuan pengakuan dan perlindungan Tau Taa Wana atas wilayah adat dan pengembangan lipu (satuan mukim) sebagai pemerintahan setingkat desa.
Dialog Kebijakan di Ampana Kab. Tojo Una-Una (22 Desember 2004) ! * Rekomendasi untuk mengukuhkan pengakuan dan perlindungan Tau Taa Wana melalui Peraturan Daerah * Rekomendasi untuk merumuskan draft Perda.
Workshop dengan Komunitas Tau Taa Wana di Ampana Kab. Tojo Una-Una (25 - 27 Februari 2005) ! Rumusan aspirasi Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka tentang aspek-aspek dan ruang lingkup hak yang harus diakui dan dilindungi
Workshop dengan Komunitas Tau Taa Wana di Palu (13 - 16 Maret 2005) * Penyempurnaan rumusan aspirasi Tau Taa Wana tentang tentang aspek-aspek dan ruang lingkup hak yang harus diakui dan dilindungi * Konsep Paper Awal yang berisi asas-asas dan ruang lingkup kebijakan pengukuhan Tau Taa Wana
Diskusi konsultatif dengan LSM di Palu (9 Juni 2005) ! * Penyempurnaan (konsep paper) tentang substansi asas-asas dan ruang lingkup kebijakan pengukuhan Tau Taa Wana * Pembentukan tim drafting Rancangan Perda usulan
Bab II
RUANG LINGKUP
A. Dasar Pertimbangan Pengaturan
Pada bagian dasar pertimbangan ini, akan dicantumkan sejumlah basis argumentasi mengenai signifikansi kehadiran kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, dengan mengedepankan 3 hal, yakni :
1. Alasan empirik Tau Taa Wana sebagai Masyarakat Hukum Adat:
a). Bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan sosiologis, Komunitas Tau Taa Wana di Propinsi Sulteng, tumbuh dan berkembang secara turun temurun selama berabad-abad sebagai warga bersama suatu persekutuan masyarakat hukum adat yang sampai sekarang masih mengakui dan menerapkan keten-tuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari, memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayah tersebut;
b). Bahwa di dalam wilayah tersebut Komunitas Tau Taa Wana telah melang-sungkan sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam secara turun-temurun dengan ditopang oleh sebuah kearifan dan sistem hukum adat yang terbukti mampu mendatangkan keadilan dan kelestarian lingkungan;
2. Alasan perlindungan Tau Taa Wana dari ancaman ekstraksi SDA oleh pihak luar dalam wilayah hukum adat Tau Taa Wana:
a). Bahwa dengan semakin banyaknya kepentingan luar melangsungkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang mengutamakan pengerukan di dalam dan di sekitar wilayah komunitas Tau Taa Wana, dikhawatirkan akan merusak dan menghancurkan kelembagaan dan lingkungan komunitas Tau Taa Wana;
b). Bahwa untuk menjamin keberadaan komunitas Tau Taa Wana melangsungkan kehidupannya, maka dipandang perlu mengukuhkan Pengakuan dan Perlindungan keberadaan komunitas Tau Taa Wana sebagai masyarakat hukum adat;
3. Alasan kewajiban konstitutif dan hukum bagi negara:
a). Bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen IV mengharuskan negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat termasuk identitas budaya dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan/atau peradaban serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b). Bahwa Pasal 4 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan agar pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
B. Dasar Hukum Pengaturan
Pada bagian dasar hukum, akan dicantumkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan pokok maupun acuan, masing-masing:
1. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
2. UU No. 13/1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah (Lem-baran Negara Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
4. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara RI tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
6. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 167; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
7. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lem-baran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4369);
8. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 142; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4155);
10. Peraturan Menteri Agraria dan Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
11. Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah Nomor 9 tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2001 - 2006.
C. Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum, akan dirumuskan beberapa istilah yang akan digunakan, yakni :
a. Daerah, adalah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah;
b. Pemerintah Daerah, adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah Propinsi Sulawesi Tengah;
c. Gubernur, Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah
d. Masyarakat hukum adat, adalah kelompok masyarakat yang masih berbentuk paguyuban; masih terikat dengan tatanan hukum adat, adat istiadat, dan kepemimpinan lembaga adat; memiliki wilayah hukum adat serta memiliki hubungan lahiriah dan batiniah dengan wilayah hukum adatnya;
e. Tau Taa Wana, adalah komunitas yang masih bercirikan masyarakat hukum adat yang memiliki garis keturunan Tau Taa Wana, baik yang ada di dalam maupun di luar wilayah hukum adat;
f. Hukum adat Tau Taa Wana, adalah seperangkat aturan atau norma hukum tidak tertulis yang berlaku di dalam wilayah hukum adat Tau Taa Wana yang bersifat mengatur, mengikat dan dipertahankan serta memiliki sanksi yang dihargai, dan dihormati serta ditaati semua pihak;
g. Hak Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana atas Sumber Daya Alam, adalah hak secara turun temurun dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam dalam bentuk komunal dan individu;
h. Adat istiadat, adalah kebiasan-kebiasaan, nilai-nilai, kaidah-kaidah serta kepercayaan sosial yang hidup dan dipertahankan secara turun temurun oleh komunitas adat sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari;
i. Lembaga Adat, adalah perangkat penguasa adat ataupun pemangku kepemim-pinan dalam komunitas adat.
j. Wilayah hukum adat, adalah kawasan yang ditempati dan dikuasai turun temurun oleh komunitas adat, dan komunitas adat memiliki hubungan lahiriah dan batiniah dengan wilayah tersebut.
D. Materi Muatan
Fokus substansi materi muatan akan dititik beratkan pada 2 (dua) tema atau isu pokok, yakni batasan pengaturan yang berkenaan dengan "Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat, serta batasan pengaturan yang berkenaan dengan "Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat".
1. Pengakuan Terhadap Masyarakat Hukum Adat
a. Umum
Pemerintah Daerah mengakui Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana sebagai masyarakat hukum adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat, Kelembagaan Adat, Adat Istiadat, wilayah hukum adat, serta kearifan-kearifan lokal, yang harus mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan dan non feodalistik.
b. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana adalah masyarakat yang berdasarkan asal-usul leluhur dan mendiami wilayah hukum adat, serta memiliki tata nilai dan/atau norma-norma adat istiadat dan lembaga adat yang diakui bersama secara turun temurun serta memiliki kearifan-kearifan lokal.
c. Wilayah Masyarakat Hukum Adat
(1). Wilayah hukum adat Tau Taa Wana, dalam hal hukum adat terbagi kedalam 2 (dua) wilayah hukum adat, yakni wilayah Hukum Adat Untunu'ue dan wilayah Hukum Adat Ntongo.
(2). Wilayah hukum adat Tau Taa Wana, adalah wilayah yang terbagi-bagi ke dalam wilayah-wilayah persekutuan Opot dan atau Lipu, yang penetapan wilayahnya berpedoman pada hak asal usul mukim dan/atau hubungan lahiriah dan batiniah secara turun temurun antara warga persekutuan opot dan/atau lipu dengan wilayah bersangkutan, berdasarkan pada patokan gunung dan sungai.
(3). Persekutuan Opot dan/atau Lipu yang telah terlembagakan merupakan pemerintahan setingkat desa, yang wilayah persekutuannya menjadi wilayah administratif Opot dan/atau Lipu dan memiliki peta tata batas yang men-cantumkan tanda-tanda kartografi sesuai standar pemetaan.
(4). Wilayah Hukum Adat Tau Taa Wana seperti yang diuraiakan pada point 2, akan ditetapkan dalam peraturan tersendiri, berdasarkan kesepakatan dengan prinsip keadilan, kejujuran dan keterbukaan, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait.
d. Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat
(1). Pemangku Lembaga Adat:
(a). Pemangku lembaga adat dalam persekutuan opot adalah Tau Tua Opot
(b). Pemangku lembaga adat dalam persekutuan lipu terdiri atas: 1) Tau Tua Lipu, yakni perangkat penguasa adat untuk urusan sosial kemasyarakatan; 2) Tau Tua Ada, yakni perangkat penguasa adat untuk urusan peradilan adat.
(2). Pengembangan Sistem dan Kelembagaan Adat diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Hukum
Adat Tau Taa Wana sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib dihormati oleh Masyarakat Umum dan Pemerintah.
2. Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat
a. Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana sebagai masyarakat adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat, Kelembagaan Adat, Adat Istiadat, Wilayah Hukum Adat, dan kearifan-kearifan lokal.
b. Bentuk perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana diwujudkan dengan cara :
(1). Setiap pemberian izin pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak luar dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana, harus atas persetujuan warga persekutuan Opot dan/atau Lipu setempat;
(2). Pemerintah Daerah berkewajiban memberdayakan, melestarikan dan menghormati Sistem Hukum dan Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.
E. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup, akan menegaskan bahwa keberadaan Peraturan Daerah adalah:
a. Merupakan wujud dari pengakuan dan perlindungan serta penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana; dan
b. Telah berkekuatan hukum dan diberlakukan sejak tanggal ditetapkan.
Bab III
KESIMPULAN
Naskah akademik ini, telah menguraikan bahwa persoalan pengukuhan masyarakat hukum adat dalam bentuk instrumen hukum daerah, sudah bukan "barang haram" di Indonesia. Sejumlah instrumen hukum nasional (UUD 45, Tap MPR, UU) bahkan mengharuskannya (lihat lampiran 2).
Naskah akademik ini, juga telah menguraikan hasil pengkajian dari beberapa studi bahwa Tau Taa Wana merupakan komunitas masyarakat hukum adat (lihat lampiran 3), dan karenanya sejumlah forum diskusi (Seminar, Dialog Publik dan Dialog Kebijakan) merekomendasikan keberadaan masyarakat hukum adat Tau Taa Wana perlu dikukuhan melalui produk kebijakan daerah. Hal-hal yang dianggap penting tercakup dalam produk kebijakan daerah tersebut adalah:
1. Kebijakan pengukuhan tersebut harus berlandaskan pada prinsip dan asas demokrasi, keadilan, non feodalistik, dan pluralisme.
2. Kebijakan pengukuhan tersebut harus mencakup pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya, wilayah hukum adat, pemanfaatan kekayaan alam, hak otonomi pengembangan diri, serta hak atas pembangunan.
3. Bentuk hukum pengaturan kebijakan pengukuhan tersebut adalah Peraturan Daerah Propinsi dengan muatan pengaturan yang bersifat umum, dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah Kabupaten dan atau Peraturan Bupati dengan muatan pengaturan bersifat teknis.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka naskah akademik ini kemudian merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan untuk dituangkan sebagai kaidah hukum dalam materi Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Sulawesi Tengah. Rumusan pokok pikiran tersebut menegaskan:
1. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat Tau Taa Wana; serta
2. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat Tau Taa Wana.
====================================================
Lampiran 1
MASYARAKAT ADAT
Konsep dan Defenisi
Masyarakat adat adalah istilah yang dipopulerkan oleh Ornop (organisasi non pemerintah) di Indonesia untuk menterjemahkan kosa kata "indigenous peoples", sebuah istilah yang digunakan oleh Internasional Labour Organization (ILO) sebagai sebutan bagi entitas "penduduk asli". ILO memang telah menaruh perhatian terhadap isu "indigenous peoples" sejak 1950-an.10) Dan perbincangan tentang indigenous peoples semakin mendunia, setelah World Bank (Bank Dunia) mulai menjadikannya sebagai salah satu isu pokok dengan mengeluarkan Operational Manual Statement (1982) serta Operational Directive (1991).11)
World Bank mendefenisikan indigenous peoples sebagai: "spektrum kelompok sosial yang luas (meliputi indigenous ethnic minorities, tribal groups, dan schedules tribes), yakni kelompok yang memiliki sebuah identitas sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses pembangunan."12)
Di Indonesia, istilah indigenous peoples mulai diperkenalkan pada pertemuan bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam Kawasan Hutan", tanggal 25 - 29 Mei 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan.13) Lokakarya menyepakti "masyarakat adat" sebagai terjemahan indigenous peoples, serta merumuskan defenisi "masyarakat adat" sebagai "kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan wilayah sendiri". Rumusan defenisi inilah yang digunakan kalangan Ornop sampai sekarang.
Tetapi belakangan, defenisi tersebut nampaknya mulai mendapat kritikan, karena: Pertama, defenisi itu dinilai terlampau umum sehingga menyulitkan pemakaiannya secara deduktif dalam pengalaman empirik; Kedua, defenisi tersebut terkesan memahami masyarakat adat sebagai sesuatu yang statis dan final, sehingga seolah-olah tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan; Ketiga, dengan mengedepankan karakteristik "ketersendirian" (sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosbud dan wilayah sendiri), gerakan masyarakat adat bisa terjebak pada orientasi yang netral, yakni tidak adanya orientasi keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan dan demokrasi.14)
Dari perspektif sosio-ekologis, kritik diatas cukup logis, karena entitas-entitas masyarakat adat di Indonesia yang tergabung dalam jaringan Gerakan Masyarakat Adat di bawah payung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ternyata cukup beragam dan menunjukkan dinamika perkembangan yang berbeda-beda. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipe:15)
Pertama, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan, yang menempatkan diri sebagai "pertapa bumi". Mereka percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat "terpilih" yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lain;
Kedua, kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga. Kelompok ini pada dasarnya cukup ketat dalam memelihara dan menerapkan adat-istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan "komersil" dengan dunia luar;
Ketiga, kelompok masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat Kanekes maupun Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ketiga ini, antara lain: Masyarakat Dayak dan Penan di Kalimantan; Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah; Masyarakat Dani dan Deponsoro di Papua Barat; Masyarakat Krui di Lampung; dan Masyarakat Haruku di Maluku;16)
Keempat, kelompok masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang "asli" sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan tahun. Termasuk dalam kategori kelompok ini adalah Masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara. Mereka menyebut dirinya sebagai rakyat penunggu.
Dari empat tipe kelompok masyarakat adat tersebut, tiga tipe kelompok yang disebut pertama, boleh dibilang adalah kelompok masyarakat yang oleh UU Kehutanan No. 41/1999 disebut sebagai "Masyarakat Hukum Adat", yakni kelompok masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechts-gemeenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.17)
Sedangkan khusus untuk masyarakat adat yang masuk dalam tipe kelompok ketiga, oleh Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Keputusan Mensos No. 67/2000, disebut sebagai "Komunitas Adat Terpencil" (KAT), yakni kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Ciri-cirinya: (a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; (b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan; (c) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau; (d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (e) peralatan dan teknologi sederhana; (f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya alam setempat relatif tinggi; (g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
=============================================================
Lampiran 2
Hak-Hak Komunitas Adat
Dalam Instrumen Hukum Nasional
Eksistensi komunitas adat sesungguhnya telah tercantum dalam sejumlah instrumen hukum nasional, meskipun disadari masih mengundang banyak tafsir dan debatable. Tetapi dibanding sebelumnya, keberadaan instrumen hukum tersebut relatif semakin memperkuat "alas hak" bagi pengakuan, penghormatan dan perlindungan komunitas adat, karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang secara eksplisit mengatur berbagai hak yang melekat pada komunitas adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen)
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), pengakuan dan peng-hormatan terhadap komunitas adat, sangat gamblang disebutkan pada pasal 18B ayat (2), bahwa:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyeleng-gara negara bagaimana seharusnya komunitas adat diperlakukan. Dengan demikian, pasal ini sesungguhnya adalah sebuah deklarasi, bahwa :
(a) pengakuan dan penghormatan terhadap komunitas adat (masyarakat hukum adat) merupakan kewajiban konstitusional negara;
(b) pengakuan dan penghormatan terhadap identitas dan hak-hak tradisional komunitas adat merupakan hak konstitusional komunitas adat.
Selain itu, bagian akhir pasal 18B ayat (2) ini, sangat jelas memandatkan bahwa pengakuan dan penghormatan komunitas adat harus diatur dalam UU. Ini berarti, pengakuan dan penghormatan tersebut diberi landasan operasional oleh UU, dengan demikian rumusan norma dalam UU, harus tidak bertentangan dengan semangat pasal 18B ayat (2) tersebut. Bila terjadi pertentangan subtansi, maka doktrin atau ajaran hukum tentang sifat "automatically" hukum yang lebih tinggi mem-batalkan hukum yang lebih rendah, berlaku.
Pasal lain dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan komunitas adat adalah pasal 28I ayat (3) yang menyebutkan: "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban".
Maksud dari anak kalimat "selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" tersebut, harus dimaknai bahwa, dalam tatanan kehidupan modern yang bagaimanapun, penghormatan atas identiras budaya dan hak masyarakat tradisional harus terus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan, demokrasi, HAM, dan kesetaraan bagi komunitas masyarakat tradisional tersebut sesuai dengan dinamika komunitasnya.
Ketetapan MPR RI
Sebelum UUD 1945 diamandemen, Tap MPR No. XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) sudah terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak komunitas adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bagian tak terpisahkan dari TAP MPR ini, ditegaskan: "Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman".
Dengan adanya pasal ini, maka hak-hak dari komunitas adat yang ada (masyarakat tradisional), ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati, dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat.
Bahkan dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak komunitas adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumber daya agraria/sumber daya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal ini termaktuf dalam pasal 4 ketetapan tersebut, bahwa:
"Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip: ... j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam ".
Secara umum, Tap MPR No. IX tahun 2001 ini sesungguhnya lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinkan rakyat (termasuk komunitas adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan serta kerusakan lingkungan yang massif. Karenanya Tap MPR ini merekomendasikan untuk segera mengakhirinya, dan melakukan pembaharuan agraria dan PSDA berdasarkan prinsip-prinsip diantaranya: penghormatan pada HAM, demokratisasi, transparansi dan partisipasi rakyat, keadilan dalam penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
UU Pokok Agraria No 41/1999
Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa:
"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa".
Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat.
Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999
Undang-Undang ini boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
(1) Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
(2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa "hak adat" yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan.
Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM.
UU Kehutanan No 41/1999
Undang-Undang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: "Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat".
Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai hutan negara, seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: "Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat"; dan bahwa "Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).
Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan: "Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional". Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga menguraikan:
"Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya... Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan."
Dengan demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa :
"Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya".
Lantas, bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak-haknya dapat ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: "Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah". Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:
"Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari".
UU Pemerintahan Daerah No 32/2004
Berbeda dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan budaya, UU No. 32/2004 lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
"Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah".
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): "Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku".
=====================================================
Lampiran 3
Tau Taa Wana Di Kawasan Hulu SubDAS Bongka
Sebuah Potret Masyarakat Hukum Adat
Penegasan Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka sebagai komunitas yang masih bercirikan "masyarakat hukum adat", sebagaimana judul tulisan ini, berlandaskan pada acuan berikut:
a). Hasil pengamatan Yayasan Merah Putih (YMP) selama membangun proses belajar bersama dengan Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS DAS Bongka sejak 1999 hingga sekarang; 18)
b). Laporan hasil-hasil studi dan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh YMP;19)
c). Laporan hasil Pengkajian Calon Lokasi Pemukiman (PCLP) Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Wana (Tau Taa) di Lokasi Mpoa, Desa Bulan Jaya, Kecamatan Ampana Tete, Kab. Poso, Propinsi Sulawesi Tengah, yang dilakukan oleh Tim Antropolog Universitas Tadulako bekerjasama dengan Tim Dinkesos Sulteng, tahun 2003.20)
Tulisan ini akan memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang dipersyaratkan oleh UU Kehutanan No. 41/1999 sebagai indikator keberadaan masyarakat hukum adat. Objek paparanya tentu saja komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka dengan mengacu pada sumber-sumber di atas. Kondisi kelembagaan sosial serta pola penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, jika merujuk kepada beberapa sumber tertulis lainnya, relatif merepresentasikan kondisi Tau Taa Wana di kawasan Cagar Alam Morowali. 21)
Tau Taa Wana: Batasan Operasional
Tau Taa Wana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah komunitas yang oleh pihak luar --- termasuk pemerintah maupun peneliti --- lebih mengenalnya dengan sebutan To Wana atau Suku Wana. Dikatakan sebagai sebutan pihak luar, karena kata wana tidak dikenal dalam kosa kata bahasa mereka. Kecuali itu, mereka sendiri lebih suka mengidentifikasi diri sebagai Tau Taa sesuai bahasa mereka, Bahasa Taa.
Tetapi pengguna Bahasa Taa, dari segi dialek, menurut Barbara Grimes, masih harus dklasifikasi ke dalam dua kelompok besar: Pertama, "Wana" yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan; Kedua, "Topo Taa" yang bermukim di bagian pesisir, khususnya Tojo, Ulubongka, Ampana Tete, Batui, Toili, Bungku Utara dan Bungku Tengah.22)
Terhadap kelompok pertama yang disebut Grimes, tulisan ini akan menyebut-nya sebagai "Tau Taa Wana". Alasanya, kosa kata tersebut tetap tidak menghilang-kan cara mereka mengidentifikasi diri. Disamping itu, juga untuk membedakan mereka dengan komunitas "Topo Taa" yang sudah tidak lagi memenuhi unsur-unsur sebagai masyarakat hukum adat.
Gambaran Lokasi
Jika merujuk pada pemetaan Grimes, kawasan hulu subDAS Bongka se-sungguhnya hanyalah sebahagian kecil dari cakupan wilayah sebaran Tau Taa Wana secara keseluruhan.23) Di dalam kawasan tersebut, lokasi-lokasi pemukiman Tau Taa Wana yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini, terpencar di sekitar Sungai Bongka (sungai utama SubDAS Bongka), Sungai Bulang (bermuara di S. Bongka), serta Sungai Salaki (bermuara di S. Bulang).24)
Posisi kawasan hulu SubDAS Bongka, dilihat dari perspektif ekologis, merupakan daerah penyangga (buffer zone) sekaligus koridor lintasan satwa endemic dari 3 kawasan konservasi utama di jazirah timur Pulau Sulawesi, yakni Cagar Alam Morowali di bagian barat daya, Cagar Alam Tanjung Api di bagian utara, serta Suaka Margasatwa Bangkiriang di bagian tenggara. Selain itu, karena letaknya di bagian hulu, sudah tentu pula berfungsi sebagai catcment area (kawasan tangkapan air).25)
Itulah sebabnya penetapan fungsi hutan dalam SubDAS Bongka di dominasi oleh Hutan Lindung mencapai 135.842 Ha (41.5 %), menyusul Hutan Produksi Terbatas 63.798 Ha (19,5 %), Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 57.620 (17,6 %), Areal Penggunaan Lain 31.556 Ha (9,6 %), Hutan Produksi 29.280 Ha (8,9 %), serta Hutan Produksi Konversi 9.404 Ha (2,9 %).26) Dengan dominannya hutan lindung, maka bisa dipastikan kondisi kemiringannya pun didominasi pula oleh tingkat kemiringan 40 % ke atas, yang ditandai oleh banyaknya barisan pegunungan yang melingkari sejumlah dataran lembah berbukit dengan tingkat elevasi, berkisar antara 350 m - 2.630 m dari permukaan laut.
Keadaan iklim di Kawasan hulu SubDAS Bongka dapat diklasifikasikan menurut iklim Oldeman, yakni klasifikasi iklim C2, dimana keadaan curah hujan dengan bulan basah selama 5 - 6 bulan dan bulan kering 2 - 3 bulan. Curah hujan rata-rata minimum pada bulan basah berkisar 200 mm/bulan, dan bulan kering rata-rata maksimum 100 mm/bulan.27)
Keadaan Penduduk
Komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini, tersebar di 11 satuan pemukiman (lipu/opot), yakni lipu Mpoa, Tikore, Vatutana, Lengkasa, Liku Layo, Ratuvoli, Kanaso, Kapoya, Kablenga, Salumangge, Sakoi.28) Jumlah mereka per Januari 2002, mencapai 274 KK atau 1.123 jiwa, terdiri atas 578 laki-laki dan 551 perempuan.29) Jumlah ini sesungguhnya belum mencerminkan jumlah seluruh populasi penduduk Tau Taa Wana yang menyebar di kawasan hulu SubDAS Bongka. Sebab masih banyak satuan-satuan pemukiman (opot) yang belum sempat terdata, seperti di Lengko Bae dan Ngoyo.
Untuk besaran populasi secara keseluruhan, meskipun tak ada angka pasti, namun data kisaran berikut paling tidak, bisa memberikan gambaran. Misalnya, Dinas Sosial Sulteng, melaporkan jumlah komunitas Tau Taa Wana yang belum diberdayakan, masih berkisar 1.338 KK atau 6.020 Jiwa.30) Sedangkan data jumlah yang dikeluarkan Direktorat Pemberdayaan (KAT) Depsos RI, baik yang belum maupun yang sudah diberdayakan, sebanyak 3.492 KK yang tersebar di 23 lokasi dalam wilayah Kecamatan Ampana Tete, Ulu Bongka, Bungku Utara dan Bungku Tengah. Dari jumlah itu, sebanyak 1.161 sudah tersentuh program pemberdayaan KAT, selebihnya 2.268 KK belum tersentuh.31)
Jika jumlah anggota keluarga Tau Taa Wana di pukul rata antara 4 s/d 5 jiwa per KK, sebagaimana perbandingan data dari Depsos Sulteng,32) maka populasi Tau Taa Wana secara keseluruhan bisa diproyeksikan berkisar antara 13.968 jiwa s/d 17.460 jiwa. Sementara yang belum tersentuh program pemberdayaan KAT, berkisar antara 9.072 jiwa s/d 11.340 jiwa.
Di kawasan hulu SubDAS Bongka, rata-rata anggota komunitas Tau Taa Wana belum pernah bersentuhan dengan pendidikan formal, baik anak-anak maupun orang tua. Hanya sebahagian kecil saja yang telah mengecap pendidikan formal. Dari sebahagian terkecil itu pun, kebanyakan hanya sampai tingkat SD.33) Tetapi sejak 2002, SD Inpres Bulan Jaya telah membuka kelas jauh di Lipu Mpoa yang bertempat di Banua Bae (Balai Adat).
Seperti umumnya masyarakat yang tinggal dan bermukin di hutan hujan tropis, Tau Taa Wana pun tak asing lagi dengan penyakit malaria selain penyakit kulit dan muntaber. Penyakit malaria, boleh dibilang telah menjadi penyakit endemi. Sebahagian besar penduduk usia tua adalah pengidap malaria yang sudah menahun, yang ditandai dengan pembengkakan limva. penyakit ini menjadi sebab utama dari banyak kasus kematian di lipu-lipu Tau Taa Wana. Secara tradisional, Tau Taa Wana memiliki pengetahuan meramu obat-obatan dari tumbuhan hutan untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut, tetapi pada tingkatan yang cukup parah, pengobatan dilakukan dengan melakukan ritual "mobolong" untuk mengusir roh-roh penyebab penyakit, sebagaimana diyakini dalam agama lokal mereka.34)
Sampai sekarang, anggota komunitas Tau Taa Wana memang rata-rata masih menganut agama lokal yang mereka sebut agama halaik. Pemeluk agama resmi yang diakui pemerintah, umumnya Islam dan Kristen, tergolong masih sangat sedikit, antara 1 KK s/d 3 KK, dan mereka pun masih belum lepas dari ritual-ritual agama leluhur mereka.35)
Pengelompokan Sosial: Paguyuban
Jika dilihat dari pola pengelompokan dan hubungan sosial yang terbangun, maka dapat dipastikan bahwa komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, masih merupakan tipe masyarakat yang oleh Ferdinan Tonnies di sebut sebagai masyarakat "Paguyuban" (Gemeinschaft).36) Hal ini secara kasat mata dapat ditengarai pada pola mukimnya yang masih menyebar atau terpencar secara berkelompok. Pola mukim ini dapat dikategorikan ke dalam 2 bentuk:37)
Pertama, "Opot", yakni satuan-satuan pemukiman kecil yang dibangun di kawasan perladangan (langa), sehingga cenderung berpindah-pindah mengikuti sistem perladangan gilir balik yang masih di terapkan. Persekutuan Opot sebagai kelompok mukim, terbentuk berdasarkan garis keturunan (genealogis). Biasanya, setiap Opot terdiri atas 3 KK s/d 7 KK yang kesemuanya merupakan satu keluarga atau kerabat dekat, misalnya kakek, nenek, bapak, ibu, kemenakan, sepupu dan ipar. Karenanya, kepemimpinan dalam Opot secara otomatis dipegang oleh anggota tertua persekutuan (Tau Tua) yang berasal dari keluarga inti.
Kedua, "Lipu" yakni satuan pemukiman besar sebagai sebuah kampung yang relatif menetap dan sudah terpisah dari langa (ladang). Walaupun Lipu relatif menetap, namun sistem perladangannya masih tetap menggunakan pola gilir balik. Persekutuan Lipu biasanya terbentuk berdasarkan paduan antara garis keturunan (genealogis) maupun kesamaan tempat tinggal (territorial). Sebagai misal, meskipun terdapat beberapa anggota persekutuan tidak memiliki garis kekerabatan, namun rata-rata keanggotaannya didominasi oleh satu lingkaran kekerabatan, baik melalui jalur ayah (patriliniel) maupun jalur ibu (matriliniel). Dengan kata lain, Lipu terdiri dari beberapa kelompok keluarga inti yang memiliki ikatan kekerabatan antara satu dengan lainnya. Dalam satu lipu, biasanya paling sedikit terdiri atas 15 KK.
Fenomena pembentukan lipu, sesungguhnya dilatar belakangi oleh motiv kesadaran yang berbeda. Lipu Vatutana dan Lengkasa umpamanya, dibentuk oleh se-jumlah keluarga inti yang dahulunya telah direlokasi ke Uetangko (Desa Matopa). Tetapi karena merasa mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah desa, maka mereka pun meninggalkan Uetangko dan membentuk Lipu. Beda halnya dengan Lipu Mpoa dan Tikore, terbentuk karena didasari motiv ingin membangun kampung agar tidak lagi menjadi target relokasi. Sementara, Lipu Ratuvoli, Liku Layo, Kablenga, Sikoi, Salumangge, lebih didasari oleh kesadaran alamiah untuk memperbesar pe-ngelompokan sosialnya setelah melihat perkembangan Lipu Vatutana, Lengkasa, Mpoa dan Tikore.
Boleh jadi, karena terdorong oleh motiv ingin membangun kampung yang diatur sendiri agar tidak didiskriminasi dan dikerja-kejar untuk untuk direlokasi, maka dalam perkembangan selanjutnya, terlihat kecenderungan untuk mengembangkan pengelompokan sosial yang lebih besar. Lipu-lipu yang berdekatan diorganisir dalam satu sistem kepemimpinan adat. Misalnya, Lipu Vatutana, Lengkasa, Liku Layo, dan Ratuvoli telah mengorganisir diri menjadi "Lipu Vananga Bulang". Demikian halnya dengan Lipu Mpoa dan Tikore, telah mengorganisir diri menjadi "Lipu Mpoa".
Selain pola pengelompokan sosial, Bentuk paguyuban komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, dapat pula dilihat pada tata hubungan dan pergaulan sosialnya yang masih mencerminkan ikatan kekeluargaan. Misalnya, mereka sangat pantang (kapali) menyebut atau memanggil langsung nama orang yang lebih tua, karena dinilai tindakan tidak sopan dan dapat dikenai sanksi adat (givu) Bila Persaya. Sebutan terhadap orang lebih tua mesti dilakukan dengan menyebut "ayah fulan". Misalnya, Apa Inse (ayahnya Inse). Pantangan ini juga berlaku dalam pergaulan orang muda dan orang tua antar Lipu. Hal ini secara tegas menunjukkan masih kuatnya moral penghargaan terhadap posisi orang tua.38) Rasa kebersamaan sebagai sebuah keluarga besar juga masih diinternalisasi sebagai sebuah moral sosial di kalangan anggota komunitas Tau Taa Wana, sebagaimana terlihat pada pelembaga-an babjuyu (gotong royong) yang masih sangat kuat.
Dalam hal perkawinan, Tau Taa Wana menganut sistem endogami. Tradisi ini sekaligus mempengaruhi sistem pengelompokan pengerahan tenaga kerja yang berasal dari satu kerabat dekat. Artinya anggota kerabat tetap berkumpul dalam berladang dan mengelola serta menjaga keutuhan sumber daya alam yang diperlukan. Untuk pembagian kerja dalam kegiatan-kegiatan produktif, pria membuka dan membakar ladang, berburu, meramu dan menangkap ikan. Sementara wanita menanam bibit, menyiangi rumput, memelihara tanaman, panen. Sedangkan untuk kegiatan reproduktif, pria mengambil kayu bakar, mengambil air, membangun rumah, menjual hasil pertanian dan belanja. Sedangkan wanita memasak, merawat dan memelihara anak.39)
Selanjutnya dalam hal pewarisan, hak pria dan wanita sama banyaknya sesuai system adat istiadat "lempa dua". Pembagian warisan dilakukan sebelum ayah meninggal dan dilakukan dihadapan pemimpin adat. Meskipun dalam hal pewarisan pria dan wanita setara haknya, tetapi dari segi status pria masih dianggap lebih tinggi kedudukannya dari wanita sehingga kebijakan rumah tangga banyak ditentukan oleh pria atau suami.40)
Perangkat Penguasa Adat
Tampaknya, konstruksi kekuasaan adat yang terbangun dalam komunitas Tau Taa Wana dapat dilihat menurut priodisasi sebagai berikut:41) Pertama, periode perang antar suku. Pada masa ini, kekuasaan dipegang oleh "Talenga", yang ber-fungsi sebagai panglima perang dan pemimpin "Bente" (benteng).42)
Kedua, periode kekuasaan kerajaan lokal (Tojo, Bungku, Banggai, dan Mori). Pada masa ini, satuan pemukiman "bente" mulai terpecah-pecah menjadi "Opot" yakni satuan mukim kecil (satuan kelompok keluarga) yang dipimpin oleh kepala keluarga inti sebagai orang tertua (Tau Tua). Pada masa itu, Talenga pun oleh raja-raja lokal dirubah gelar dan fungsinya menjadi "Bonto", yang berfungsi sebagai kepala hukum adat dari pecahan-pecahan Opot yang sebelumnya dibawah kepemim-pinannya ketika masih dalam satuan mukim Bente.
Ketiga, periode penaklukan Kerajaan Ternate dan kolonialisme Belanda (sekitar Abad ke XVII s/d pertengahan Abad ke XIX). Pada masa ini muncul gelar kepemimpinan "Basal" dan "Tau Daa" yang berfungsi membantu "Bonto" dalam menjalankan kepemimpinannya.43) Jika Basal bertugas sebagai pelaksana adat per-tanian, maka Tau Daa sebagai juru bicara dan urusan yang terkait dengan masalah kemasyarakatan.
Keempat, periode Pasca-Kolonial sampai sekarang. Dalam rentang masa ini, gelar-gelar kepemimpinan atau perangkat penguasa adat tersebut perlahan-lahan mengabur dan akhirnya tak lagi digunakan, bahkan tak lagi dikenal umum. Hal ini tentu saja terkait dengan kebijakan politik pemerintah pada masa Orde Baru yang amat menafikan eksistensi masyarakat hukum adat.
Walaupun gelar-gelar tersebut tak lagi digunakan, tidak berarti perangkat penguasa adat dalam komunitas Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka ikut hancur atau tidak ada lagi. Terbukti, pada satuan mukim Opot, mereka masih meng-akui dan mentaati Tau Tua sebagai pemimpin adat. Sedangkan pada satuan mukim Lipu, kepemimpinan adat yang ditaati adalah Tau Tua Lipu dan Tau Tua Ada. Bahkan dengan adanya kecenderungan penggambungan lipu-lipu yang berdekatan menjadi satu kesatuan lipu yang lebih besar, perangkat penguasa adatnya pun terlembagakan sebagai berikut:
* Lipu Mpoa dan Tikore yang mengelompokkan diri menjadi Lipu Mpoa, dipimpin oleh 1 orang Tau Tua Lipu dan 2 orang Tau Tua Ada, yang masing-masing berkedudukan di Mpoa dan Tikore; sementara
* Lipu-lipu di sekitar Sungai Bongka (Vatutana, Lengkasa, Liku Layo, dan Ratuvoli) yang mengelompokkan diri dengan nama Lipu Vananga Bulang, melembagakan semacam "Dewan Tau Tua Lipu" dan "Dewan Tau Tua Ada" yang beranggotakan Tau Tua Lipu dan Tau Tua Ada dari masing-masing lipu kecil (Vatutana, Lengkasa, Liku Layo, dan Ratuvoli). Masing-masing Dewan tersebut memilih seorang ketua (koordinator) yang bukan berasal dari anggota yang ada.
Selain Tau Tua Lipu dan Tau Tua Ada, Tau Taa Wana masih mengenal pula adanya peran-peran kepemimpinan adat lain, seperti Worotana, Tadulako, dan Tau Valia. Secara ringkas, posisi, peran dan fungsi dari masing-masing perangkat penguasa adat itu dapat digambarkan sebagai berikut:
* Tau Tua Lipu, adalah pemimpin adat yang berposisi sebagai kepala lipu (kepala kampung). Fungsinya mengurus berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Jabatan ini biasanya dipegang oleh orang tua yang menjadi perintis awal terbentuknya lipu. Tetapi jika meninggal, maka penggantinya dipilih melalui mogombo (musyawarah).
* Tau Tua Ada, adalah pemimpin adat yang berposisi sebagai kepala hukum adat lipu. Fungsinya menegakkan, memutuskan dan menetapkan sanksi adat (givu). Jabatan ini biasanya dipegang oleh orang yang dituakan dan banyak mengetahui norma-norma hukum adat, serta memiliki kejujuran.
* Worotana, adalah seseorang yang memimpin pelaksanaan adat pertanian untuk urusan penentuan lokasi lahan, pembukaan lahan, sampai pada penanaman padi pertama. Jabatan ini biasanya di pegang sendiri oleh Tau Tua Lipu, dan tak jarang pula dipegang oleh seseorang yang banyak mengetahui adat pertanian.
* Tadulako, adalah seseorang yang memimpin pelaksanaan adat pertanian untuk urusan panen pertama hingga memasukkan padi ke dalam lumbung (konda). Jabatan ini umumnya dipegang oleh seorang perempuan (orang tua).
* Tau Valia, adalah seseorang yang memimpin pelaksanaan ritual pengobatan penyakit (mobolong). Siapapun bisa memegang peran ini asal memiliki kekuatan supra natural.
Pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap segala urusan yang menjadi tanggung jawab pemimpin-pemimpin adat tersebut diatas, dilakukan dengan mekanis-me Pogombo (musyawarah) yang dihadiri oleh para pemimpin adat dan anggota komunitas (masyarakat) lipu.
Pranata dan Perangkat Hukum Adat
Seperti halnya perangkat penguasa adat yang masih ditaati, pranata-pranata hukum adat pun masih berlaku sebagai pemelihara tertib sosial dalam kehidupan sehari-hari Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, khususnya pada 11 lipu yang menjadi (objek) paparan tulisan ini. Secara garis besar, hukum adat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:44)
Pertama, aturan-aturan hukum adat yang berkenaan dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai leluhur, baik yang terkait dengan perlakukan terhadap alam lingkungan maupun perlakukan terhadap orang yang lebih tua. Termasuk dalam aturan hukum adat ini antara lain: Bilapersaya, yakni jenis givu (sanksi) yang dikenakan kepada seseorang yang melakukan perbuatan tidak menyenangkan ter-hadap orang yang lebih tua, atau melanggar pantangan adat pertanian maupun adat mengelola hutan yang ditentukan oleh orang tua, khususnya pemimpin adat; Bangunsaya, yakni hukuman bagi orang yang tidak mengindahkan keputusan peradilan adat; dan lain-lain.
Kedua, aturan-aturan hukum adat yang berkenaan dengan pelanggaran terhadap tata krama pergaulan laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya perbuatan melecehkan perempuan, antara lain: Salampale dan Kaebone (pelecehan dengan tangan); Salampajuyu (mengajak berpergian isteri orang); Salariada (laki-laki dan perempuan tidur berdua tanpa ikatan perkawinan); Panjaat (menghamili perempuan); Koronsala (menzinahi atau memperkosa isteri orang); dan lain-lain.
Ketiga, aturan-aturan hukum adat perkawinan, antara lain; Linompobanua (pengikat perkawinan); Manupansusur dan Usoraka (tentang peminangan); Ada lima nuada (perkawinan tanpa setahu orang tua); Torumpatekaraya dan Tanggongguma (tentang perkawinan keluarga); Kamea/Kamea Anangkotu (pembatalan janji kawin/ pembatalan pinangan); Belo (penggantian perceraian); dan lain-lain.
Keempat, aturan-aturan hukum adat yang berkenaan dengan pencemaran nama baik, intimidasi dan tindak kekerasan. Termasuk dalam aturan hukum adat ini, antara lain: Tarabale (memfitnah); Jamumu Ntongku (menghina); Karanindi Ngkoro (Mengancam); Kamea Ntambale (menuduh tanpa terbukti); Ada Lima (mencuri); Ou Mata (membunuh); Pakatida (menyiksa); dan lain-lain.
Kelima, aturan-aturan hukum adat pewarisan. Dalam adat istiadat Tau Taa Wana, pembagian warisan dilakukan sebelum ayah meninggal yang disaksikan oleh Tau Tua Ada dan Tau Tua Lipu. Perbandingan hak waris antara laki-laki dan perempuan adalah 4 berbanding 6. Jenis hara benda yang diwariskan, yaitu kebun, lading serta harta kekayaan lainnya. Rumah beserta tanah dan pekarangan, diwariskan kepada anak laki-laki terakhir. Tetapi jika dia telah kawin mendahului kakak-kakaknya, maka diharus dikenai givu (sanksi) dengan membayar vintasi (denda).
Proses peradilan adat, umumnya dilakukan melalui Pogombo Ada (musyawah adat) yang dipimpin Tau Tua Ada, dan dihadiri oleh Tau Tua Lipu, Tertuduh/ Pelanggar (Terdakwa), Saksi, serta orang-orang tua lipu. Pogombo Ada dipersyarati Kaponga (sesajian) sebagai wujud permohonan kepada Pue (Tuhan) yang menguasai alam, agar apa yang menjadi permohonan mereka dalam Pogombo Ada dapat direstui.
Sebelum memutuskan Givu (sanksi adat/denda), Tau Tua Ada meminta penjelasan kepada pelanggar, serta saksi-saksi yang memberatkan ataupun meringankan. Setelah diketahui duduk masalahnya, barulah Tau Tua Ada memutus-kan, apakah di tertuduh/pelanggar terkena Givu (sanksi adat/denda) atau tidak. Kadangkala sebelum mengambil keputusan, Tau Tua Ada terlebih dahulu meminta pertimbangan kepada Tau Tua Lipu, jika perkaranya cukup berat.
Jika terkena Givu (sanksi adat), maka hasil dari pembayaran Givu tersebut, oleh Tau Tua Ada, akan dibagi-bagikan kepada anggota komunitas, baik perempuan maupun laki-laki, utamanya kepada orang-orang tua. Bentuk pembayaran Givu, umumnya berupa kain sarung, piring, dan baju, yang jumlahnya sangat tergantung pada berat ringannya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Dalam Pogombo Ada Bae (Musyawarah Adat Besar) di Lipu Lengkasa (Oktober 2004) yang dihadiri oleh sejumlah Opot dan Lipu di kawasan hulu SubDAS Bongka, para pemuka adat menyepakati, perkara-perkara atau pelanggaran berat yang tidak dapat diselesaikan dalam peradilan adat, dapat diserahkan penyelesaiannya kepada lembaga peradilan negara.
Wilayah Hukum Adat dan Tata Kelolanya
Berdasarkan keterangan pemimpin-pemimpin adat Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, etnik Taa sesungguhnya mengenal 3 pembagian wilayah hukum adat, yakni wilayah hukum adat Untunu Ue, Tongo dan Mananga. Meskipun batas-batas wilayah hukum adat ini tidak begitu jelas, namun dapat teridentifikasi bahwa:45)
* Wilayah hukum adat Untunu Ue, meliputi kawasan Kajumarangka dan sekitarnya. Kawasan ini merupakan wilayah lingkar dalam dari seluruh wilayah sebaran Tau Taa Wana.
* Wilayah hukum adat Ntongo, meliputi wilayah di luar kawasan Kajumarangka yang merupakan wilayah lingkar luar dari seluruh wilayah sebaran Tau Taa Wana. Kawasan hulu SubDAS Bongka termasuk dalam wilayah hukum adat ini.
* Wilayah hukum adat Mananga, meliputi wilayah-wilayah sebaran Topo Taa di bagian pesisir. Termasuk dalam wilayah hukum adat ini adalah di bagian Tojo, Ulobongka, Ampana Teta, dan mungkin pula Bungku Utara.
Wilayah hukum adat Untunu Ue dan Ntongo, oleh Tau Taa Wana, diklaim sebagai Tana Ntau Tua (tanah leluhur), sesuai keyakinan mitologi.46) Kajumarangka umpamanya, dipercaya sebagai tempat penitisan nenek moyang Tau Taa Wana, yakni Ngga (perempuan) dan Pue Makale (laki-laki). Turunan ketiga nenek moyang Tau Taa Wana adalah Pue Loloisong, Pue Rorat, dan Janggu Wawu sebagai tiga orang kakak beradik. Di Kawasan hulu SubDAS Bongka, Puncak gunung Sarambe dipercaya sebagai tempat pemakaman Pue Rorat,47) dan memang di tempat ini banyak ditemukan artefak-artefak kuno berupa gumbang dan patung-patung kecil. Dengan demikian, dalam perspektif arkeologi, kaitan historis antara Tau Taa Wana dengan wilayah hukum adatnya, merupakan fakta ilmiah.
Pada masa perang antar suku, masa kepemimpinan Talenga (masa sebelum kerajaan lokal berkuasa), masing-masing wilayah hukum adat tersebut, terbagi-bagi ke dalam wilayah kekuasaan (pengaturan dan penjagaan) satuan mukim Bente, yakni satuan-satuan mukim Lipu yang berfungsi sebagai benteng pertahanan. Batas-batas wilayah kekuasaan antara satu Bente dengan Bente lainnya, ditandai oleh batas alam yang berpatokan pada aliran-aliran sungai (koro) dan puncak-puncak gunung (buyu). Batas-batas inilah yang menjadi patokan bagi penentuan batas-batas wilayah kelola (wilayah penguasaan) satuan-satuan mukim Lipu hingga saat ini.
Pada Lipu-lipu di kawasan hulu SubDAS Bongka (khusus pada 11 lipu yang membangun proses belajar dengan YMP) umpamanya, masing-masing saling mengenal batas-batas wilayah penguasaan antara satu lipu dengan lipu lainnya. Tetapi dengan adanya perkembangan penggabungan lipu-lipu yang berdekatan menjadi satu kesatuan lipu yang lebih besar, maka masing-masing lipu pun sepakat meng-gabungkan wilayah penguasaannya.
Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif tata kuasa dan tata guna, maka wilayah hukum adat tersebut, oleh Tau Taa Wana, dibagi ke dalam beberapa jenis dan fungsi sebagai berikut:
Pertama, kawasan yang belum terkelola. Kawasan ini disebut Pangale, yang pada umumnya berupa kawasan hutan primer. Pangale ini adalah milik bersama Tau Taa Wana. Kendati demikian, dari aspek tata kuasa, Pangale yang berada di wilayah hukum adat Ntongo, penguasaannya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim di wilayah hukum adat Ntongo. Demikiam pula sebaliknya. Jika Tau Taa Wana Untunu Ue hendak mengelola Pangale di wilayah hukum adat Ntongo, maka harus seizin dengan Tau Taa Wana di wilayah hukum adat Ntongo dan tunduk pada hukum adat Ntongo. Begitu pula sebaliknya. Kawasan pangale ini akan dikelola jika dikemudian hari dibutuhkan.
Kedua, wilayah atau kawasan terlarang. Kawasan ini disebut Pangale Kapali, yakni kawasan yang dikeramatkan karena diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh-roh leluhur. Kawasan ini boleh dibilang sebagai kawasan "hutan suaka adat" yang terlarang dikelola secara serampangan. Pangale kapali juga merupakan milik ber-sama Tau Taa Wana, tetapi penguasaannya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim pada wilayah hukum adat dimana pangale kapali tersebut berlokasi.
Ketiga, wilayah atau kawasan terkelola. Kawasan terkelola ini oleh Tau Taa Wana, masih diklasifikasi lagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsinya, masing-masing:
a) Pangale Pompalipu yakni kawasan tempat pemungutan (meramu) hasil hutan, khususnya rotan dan damar. Kawasan ini pun merupakan milik bersama Tau Taa Wana yang penguasaannya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim pada wilayah hukum adat dimana pangale pompalipu berlokasi. Karenanya hak peman-faatan terhadap pangale pompalipu ini melekat pada setiap anggota komunitas Tau Taa Wana. Kawasan ini, terlarang dimanfaat-kan untuk membuka ladang atau kepentingan lain jika tidak dalam keadaan terpaksa dan tanpa persetujuan bersama anggota komunitas sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku.
b) Yopo adalah kawasan perladangan gilir balik. Kawasan Yopo merupakan areal bekas ladang (navu/langa) yang sudah menjadi hutan kembali dan tetap berfungsi sebagai kawasan perladangan. Yopo masih dibagi lagi ke dalam dua jenis:
(1) Yopo Masia, merupakan kawasan atau areal bekas ladang yang sudah di-istirahatkan cukup lama. Umur hutannya rata-rata mencapai 7 tahun ke atas, dan telah siap di buka kembali menjadi areal ladang utama (navu tou) dalam bentuk Langa, yakni ladang (navu) yang dibuka secara bersama-sama dalam satu lokasi areal yang luas.
(2) Yopo Mangura, merupakan kawasan atau areal bekas ladang yang umur hutannya baru mecapai kurang lebih 1 - 7 tahun. Kawasan ini baru boleh dijadikan sebagai lokasi membuka ladang antara (navu bonde) yang dibuka secara perorangan atau per kepala keluarga.
Kepemilikan Yopo, baik Yopo Masia maupun Yopo Mangura adalah hak bersama Tau Taa Wana yang bermukim di wilayah hukum adat dimana kawasan Yopo tersebut berada, tetapi penguasaannya berada pada satuan-satuan mukim yang berlokasi di dalam dan sekitar kawasan Yopo tersebut. Selain itu, jika dilihat dari aspek pengelolaan atau pemanfataan, kawasan Yopo nampaknya dapat pula dilekati hak individual. Misalnya, seseorang yang membuka Yopo dalam luasan tertentu, maka orang tersebut memiliki hak individual untuk menggunakan lahan/tanah yang telah dibukanya. Hak individual ini dapat dialihkan kepada orang lain sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku. Tetapi jika lahan tersebut telah ditinggalkan atau ditelantarkan, maka hak tersebut kembali menjadi hak kelompok.48)
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
Melihat konsep tata guna hutan seperti yang tergambar di atas, jelas sekali terlihat bahwa keberlangsungan hidup dan penghidupan Tau Taa Wana sangat ber-gantung pada hutan. Studi Etnobotani yang dilakukan Yayasan Merah Putih (YMP) di kawasan hulu SubDAS Bongka, semakin menegaskan hal tersebut, bahwa hampir seluruh kebutuhan hidup sehari-hari Tau Taa Wana dipenuhi dari kegiatan memungut hasil hutan yang ada di sekelilingnya.
Studi tersebut, menunjukkan terdapat paling sedikit 257 jenis tumbuh-tumbuhan hutan yang saat ini masih sering dimanfaatkan Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari jumlah itu, hanya rotan dan damar (kucing) yang bernilai ekonomi, dalam arti telah diperjual belikan, selebihnya hanya dikonsumsi (dipakai) sendiri. Secara umum tumbuh-tumbuhan hutan tersebut, dimanfaatkan sebagai: bahan pangan (64 jenis), sandang (4 jenis); bahan bangunan (142 jenis), obat-obatan, kosmetik dan pewarna (47 jenis); sarana produksi pertanian (22 jenis), bahan bakar dan alat rumah tangga (50 jenis), dan pelengkap ritual dan seni budaya (29 jenis). Dari seluruh jumlah tersebut, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang termasuk dalam satu atau dua kategori.49)
Selain memungut hasil hutan, Tau Taa Wana juga memanfaatkan kawasan hutan sebagai areal perladangan (padi, jangung dan palawija) dengan sistem gilir balik. Kawasan yang dibuka sebagai kebun/ladang (navu) adalah Yopo. Tau Taa Wana mengenal 3 jenis navu, masing-masing:
a). Tou adalah kebun atau ladang utama yang dibuka di yopo masia yang ditanami pae (padi) umur
panen 5 bulan (pae molengi). Proses pengelolaannya, sejak dari pembukaan lahan sampai pemanenan, dipersyarati ritual dan pesta adat.
b). Bonde adalah kebun atau ladang antara yang umumnya dibuka di yopo mangura dan pae (padi) umur panen 3 bulan (pae morali). Fungsi utama bonde adalah untuk menunjang atau menjamin ketersediaan padi atau menjaga kekosongan stok padi sebelum masa panen ladang utama. Jadi ketika tou masih sementara diolah ada bonde yang bisa dipanen.
c). Totos adalah kebun atau ladang pelengkap yang diolah pada lokasi bekas tou atau bonde yang disebut wakanavu atau kura. Totos biasanya ditanami jagung, singkong, palawija. Karena diolah di bekas bonde atau tou, maka tidak perlu membuka hutan. Sistim pengelolaan pada umumnya dikerjakan oleh perempuan dan orang tua.
Jenis pae (padi) yang ditanam Tau Taa Wana adalah varietas lokal. Demikian pula teknologi pertaniannya, masih menggunakan peralatan sederhana, seperti Vada (parang) dan kampak, serta ritual-ritual adat tertentu sejak membuka lahan, sampai memanen hasil. Dari hasil inventarisasi Yayasan Merah Putih, per Januari 2000, terdata sebanyak 41 jenis varietas padi lokal Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka. Dari jumlah tersebut, 15 diantaranya adalah padi ketan (pae puyu).50)
Sampai saat ini, padi atau beras hasil panen, belum diperjual belikan oleh Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka. Padi atau beras hasil panen tersebut biasanya baru diperjual belikan jika dalam keadaan mendesak maupun untuk menolong orang lain yang kehabisan beras.
Di luar perladangan (padi, jagung dan palawija), sistem pertanian Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, nampaknya telah pula mengenal perkebunan hortikultura. Kelapa dan coklat (kakao) merupakan tanaman yang populer, khususnya komunitas Tau Taa Wana di lipu Vatutana, Lengkasa dan Ratuvoli. Perkebunan tanaman holtikultura ini mulai marak diusahakan sejak tahun 2000.
========================================
1 Istilah "masyarakat hukum adat" dapat ditemukan dalam UUD 1945, UU HAM No. 39/1999 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999. Sedangkan istilah komunitas adat terpencil, dapat dilihat pada Kepres No. 111/1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Lihat juga Keputusan Mentersi Sosial No. 67/2000 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PEKAT).
2 Dari sejumlah kebijakan daerah tersebut, beberapa diantaranya bisa disebutkan adalah: Perda Prop. Sumatera Barat, No. 9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari; Perda Kab. Saggau, No. 4/ 2002 tentang Pemerintahan Kampung; Perda Kab. Toraja, No. 2/2000 tentang Pemerintahan Lembang; Perda Kab. Kampar, No. 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat; Perda Kab. Lebak, No. 32/2001 tentang Perlindungan Hak Atas Ulayat Masyarakat Badui; Keputusan Bupati Bungo, No. 1249/ 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo; Keputusan Bupati Merangin, No. 287/2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin; Keputusan Bupati Luwu Utara, tahun 2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.
3 Lihat: Lihat, Pusat Informasi KAT, Direktorat Pemberdayaan KAT, Dirjen Pember-dayaan Sosial, Departemen Sosial RI, dalam http://www.katcenter.info.
4 Komunitas Adat Terpencil (KAT) tersebut, terdiri atas 12 kelompok etnik, masing-masing: Saluan (Kahumamaon/ Loinang), Osan, Sea-sea, Wana (Taa), Rampi, Ledo (Raranggonao), Da'a (Tolare), Lauje, Pandau, Tajio, Kori, Dondo (Sulteng dalam Angka 2003).
5 Laporan komunitas Tau Taa Wana di kawasan Vananga Bulang dalam Seminar Sehari bertema "Kearifan lokal Masyarakat Adat dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Berkeadilan", yang dilaksana-kan di Ampana, 23 September 2004.
6 Pemaparan Ketua Bappeda Kab. Tojo Una-Una yang menggunakan foto citra satelit dalam Dialog Kebijakan bertema "Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan Berbasis Masyarakat Adat di DAS Bongka", yang dilaksanakan di Ampana, 22 Desember 2004.
7 Beberapa nama peneliti yang dapat disebutkan disini antara lain: (1) Kruyt, Antopolog Kebangsaan Belanda, dan sekaligus Misionaris yang bermukim di wilayah Tenteta sekitar awal abad ke XX. Dia melakukan riset umum etnografi terhadap Tau Taa Wana Posangke, yang hasilnya telah diterbitkan dalam buku berjudul De To Wana op Oost-Celebes: Tijdschrift voor Indische taal, land, en volkenkunde, 1930; (2) Jane Monnig Atkinson, Guru Besar Antopologi berkebangsaan Amerika, yang melakukan penelitian etnograpi jangka panjang di pedalaman Wana pada tahun 1970. Dia mahir berbahasa Indonesia dan Taa. Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul "The Art and Politics of Wana Shamanship", University of California Press, Barkeley, 1989; (3) Michael Alvard, melakukan riset tentang perilaku berburu Tau Taa Wana di Cagar Alam Morowali, sejak Januari 1995 - Maret 1996. Laporan penelitiannya ditulis dengan judul, " The Impact of Traditional Subsistence hunting and Traping on Prey Populations: Data from Wana Horticulturalist of Upland Central Sulawesi, Indonesia. dalam John Robinson and Elizabeth Bennett (ed), Hunting for Sustainability in Tropical Forest, Columbia University Press, 1999.
8 Studi kelembagaan sosial budaya, banyak merujuk pada hasil-hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya: Studi Sistem Hutan Kerakyatan pada komunitas Tau Taa Wana di lokasi Mpoa, Vatutana dan Salumangge, yang dilakukan oleh Yayasan Merah Putih Palu bekerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, tahun 2000; serta Pengkajian Calon Lokasi Permukiman Komunitas Adat Terpencil Suku Wana (Tau Taa) di lokasi Mpoa, yang dilakukan Oleh Dinas Sosial Sulawesi Tengah dengan melibatkan Peneliti-peneliti Antropologi Sosial Untad, tahun 2003.
9 Pemetaan Tata Batas dan Tata Guna Lahan tahun 2004, merupakan kelanjutan dari pemetaan yang sama tahun-tahun sebelumnya, yakni sejak tahun 2001.
10 Tahun 1953 ILO mempublikasikan hasil studinya tentang "penduduk asli". Berdasarkan hasil studi tersebut, pada tahun 1957, ILO mengeluarkan Konvensi No. 107 dan Rekomendasi No. 104 tentang "Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku". Tahun 1989, Konvensi No. 107, diperbaharui dengan Konvensi No. 169. Lihat, Komnas HAM, "Hak Penduduk Asli" (Lembar Fakta 09) dalam Kampanye Dunia untuk HAM, Lembar Fakta HAM, Komnas HAM, Jakarta.
11 Lihat, Arianto Sangaji, "Otokritik Terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah: Pelajaran dari Sulawesi Tengah", makalah pada konferensi "Adat revivalism in Indonesia's democratic transtition: European connection", 26-27 Maret 2004
12 Davids dan Lars T. Soeftestad, dalam Arianto Sangaji, Ibid, halaman 3
13 Pertemuan tersebut dihadiri oleh Ornop, kelompok masyarakat adat sendiri, dan individu-individu yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain: Medan, Jakarta, Surabaya, Bogor, Bali, Toraja, Palu, Kasimbar, Biak, Sorong, Kaltim.
14 Lihat Arianto Sangaji, Op. cit.; dan Tania Li (Departemen Antropologi Sosial, Universitas Delhousie, Kanada), "Adat in Central Sulawesi: Contemporary Deployment," (makalah yang disarikan dari lokakarya Adat revivalism in Indonesia's democratic transtition: European connection", Batam, 26-27 Maret 2004).
15 Lihat, "Hak-hak Masyarakat adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, (Artikel), Tempo Interaktif, 17 Juni 2004.
16 Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan, Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, termasuk masyarakat adat dalam tipe kelompok ketiga.
17 Lihat, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Penjelasan pasal 67 (1).
18 Proses belajar bersama antara YMP dengan Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, berkenaan dengan penguatan hak-hak, kedaulatan dan kemandirian dalam membangun dan merencanakan masa depan. Laporan dan catatan-catatan proses belajar bersama tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul, "Tau Taa Wana Bulang: Bergerak untuk Berdaya", yang disusun oleh Nasution Camang, dan diterbitkan oleh YMP dan Regnskogsfondet Indonesia, 2002.
19 Studi-studi dan pemetaan partisipatif yang telah dilakukan, antara lain: Studi Sistem Hutan Kerakyatan (pola penguasaan dan pengeloaan sumber daya hutan); Studi Sosial Budaya (Kelembagaan Sosial); Studi Etnobotani (Pola pemanfaatan sumber daya hutan); Pemetaan Wilayah Adat; dan Pemetaan Tata Guna Lahan.
20 Komunitas Mpoa adalah salah satu satuan mukim yang sejak 1999 s/d sekarang intens membangun proses belajar bersama dengan YMP.
21 Lihat misalnya, Laporan Studi Yayasan Sahabat Morowali, Hutan dalam Pandangan Orang Wana, Studi Kasus untuk Advokasi Kebijakan, 1998; serta sejumlah artikel dalam rubrik "Selingan" Majalah Tempo, Edisi 4-10 Agustus 2003.
22 Bahasa Taa sendiri, menurut Barbara Grimes, adalah salah satu sub dialek Bahasa Pamona, selain sub dialek Pamona (Bare'e), Laiwonu (Iba), Batui, Sinohoan (Daido, Ido, Idore'e), Mbelala (Baria, Bela, Belala), Rapangkaka (Aria), Tomoni, Tobau (Tobao, Tobalo, Bare'e), Tokondindi, Topada. Lihat misalnya Summerynya, Pamona: a language of Sulawesi (Indonesia), dalam Barbara Grimes (Editor), Ethnologue Sulawesi, Part of Ethnologue, 13 th Edition Copyright @ 1996, Summer Institute of Linguistic, Inc.
23 Peta sebaran etnik di Sulawesi yang digambarkan Grimes, menunjukkan konsentrasi sebaran terbesar Tau Taa Wana mulai dari kawasan pegunungan Tokala, pegunungan Balingara hingga pegunungan Batui. Lihat, Barbara Grimes, Op. cit. Wilayah sebaran tersebut sebahagian masuk dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bongka-Malik, DAS terpanjang (1.685,75 Km) dan terluas (463.550 Ha) di Sulawesi Tengah, serta terdiri atas 6 SubDAS, masing-masing: SubDAS Bongka, Tojo, Lobu, Toima, Balingara dan SubDAS Bunta.
24 Lokasi pemukiman Tau Taa Wana tersebut dapat dicapai melalui dua rute dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua, yakni melalui rute Toili-Transmigrasi Bulang atau Balingara-Transmigrasi Bulang, masing-masing sejauh kurang lebih 62 Km dengan waktu tempuh normal antara 5-7 jam. Dari lokasi pemukiman transmigrasi (Desa Bulan Jaya) menuju lokasi pemukiman Tau Taa Wana terdekat, ditempuh dengan jalan kaki kurang lebih 1 jam. Selanjutnya dari lokasi pemukiman terdekat menuju ke lokasi pemukiman lainnya, biasanya di tempuh dengan berjalan kaki antara 5 jam s/d 2 hari perjalanan menyusuri sungai dan pegunungan.
25 SubDAS Bongka merupakan SubDAS dengan catcment area terluas di kawasan DAS Bongka-Malik, bahkan di Sulawesi Tengah. Luasnya 327.500 Ha atau 38 % dari total luas DAS Bongka Malik.
26 Data diolah oleh Tim Analisis GIS YMP berdasarkan Peta TGHK Sulteng, Dephut 1998; Peta Penataan Batas Kawasan Hutan Kab. Tojo Una-Una, skala 1:250.000, Dishut Sulteng 2004; Peta Kawasan Hutan dan Perairan Sulawesi Tengah, skala 1:250.000, Dephut 1999; serta Data DAS dan SubDAS, Sub BRLKT Sulteng 1997.
27 Lihat, Ringkasan Rencana Teknis Pembinaan UPT Dataran Bulan II Kab. Poso Propinsi Sulawesi Tengah TA 1999/2000, Deptran dan PPH RI, Kantor Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.
28 Dari 11 satuan pemukiman tersebut, 5 diantaranya relatif telah menetap, yakni Mpoa, Tikore, Vatutana, Lengkasa, dan Ratuvoli. Sedangkan 6 lainnya masih cenderung berpindah karena faktor kepercayaan atas kematian. Jika ada yang meninggal, kampung ditinggalkan, pindah ke lokasi lain atau bergabung dengan satuan pemukiman lainnya. Oleh karenanya, data tentang nama lokasi dan jumlah satuan pemukiman pun biasanya cenderung berganti, bertambah atau berkurang pada beberapa laporan atau publikasi, meskipun subjek komunitas yang dilaporkan/dipublikasikan sama.
29 Lihat, Nasution Camang, Tau Taa Wana Bulang: Bergerak untuk Berdaya, Yayasan Merah Putih Palu dan Regenskogsfondet Indonesia, 2002.
30 Lihat, Sulawesi Tengah dalam Angka 2003, BPS Sulteng, halaman 180.
31 Lihat, Pusat Informasi KAT, Direktorat Pemberdayaan KAT, Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI, dalam http://www.katcenter.info.
32 Hasil pendataan Yayasan Merah Putih terhadap Tau Taa Wana di Kawasan hulu DAS Bongka juga menunjukkan, rata-rata satu Kepala Keluarga Tau Taa Wana terdiri atas 4 s/d 7 jiwa.
33 Nasution Camang, Op. cit., halaman 13.
34 Nasution Camang, Op. cit., halaman 24; Lihat juga Tim PCLP Dinkesos Sulteng, Op. cit, halaman 27.
35 Nasution Camang, Op. cit.
36 Ferdinan Tonnies mendefenisikan "paguyuban" sebagai bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, dan bersifat alamiah serta kekal. Ciri-ciri pokok hubungan itu, antara lain bersifat: intimate (mesra/kerukunan), private (pribadi/kelompok kecil), exclusive (kekitaan). Tipe Paguyuban biasanya terbangun karena ikatan darah atau keturunan (genealogis); kesamaan tempat (territorial); maupun kesamaa jiwa-fikiran (ideologi). Dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi keempat, Rajawali, Jakarta 1990, hlm 143-148.
37 Lihat, Nasution Camang dan Abubakar M. Amin, Potret Sosial Budaya Tau Taa Wana di Kawasan Hulu SubDAS Bongka, (Laporan Hasil Studi, Yayasan Merah Putih , Palu, 2003).
38 Lihat, Nasution Camang, Op. cit., halaman 23
39 Tim PCLP Dinkesos Sulteng, Op. cit., halaman 21
40 Ibid.
41 Untuk lebih jelasnya, lihat Nasution Camang dan Abubakar M. Amin, Op. cit.
42 Suku-suku yang sering berperang dengan Tau Taa Wana, antara lain suku Lage, Kahumamaun, dan Besoa. Sedangkan benteng (bente) pertahanan yang masih teridentifikasi antara lain: Bente Padao, Bungkulas, Rapang Kadang, Tomungku Rembe, Rapambalo, dan Tondo Kaja. Bente rata-rata dihuni paling sedikit 50 KK.
43 Komunitas Tau Taa Wana di dalam Cagar Alam Morowali lebih mengenal istilah Basoli sebagai pemimpin satuan mukim (kelompok), seperti tertulis dalam "Laporan Studi Yayasan Sahabat Morowali", Op. cit., halaman 3.
44 Jenis dan bentuk hukum adat tersebut didasarkan pada hasil inventarisasi yang dilakukan dalam Pogombo Ada Bae (musyawarah adat besar) di Lipu Lengkasa, Oktober 2004. Pogombo Ada Bae dihadiri oleh pemuka-pemuka adat dari sejumlah lipu dan opot yang tersebar di kawasan hulu SubDAS Bongka.
45 Lihat, Nasution Camang dan Abubakar M. Amin, Op. cit; bandingkan juga dengan yayasan Sahabat Morowali, Op. cit. halaman 1
46 Klaim-klaim Tana Ntau Tua, biasanya diartikulasikan dalam bentuk Kayori (pantun) yang dilakukan dalam ritual atau pesta adat. Salah contoh penggalan kayori adalah sebagai berikut: Tana tau tua retu katuvu mami, nempo masiasi re tana mami (terjemahan bebas: tanah leluhur hidup kami, biar hidup sederhana asal di tanah kami). Lihat, Nasution Camang, Op. cit., halaman 38.
47 Lihat, Nasution Camang, Op. cit., halaman 16-17.
48 Patut dicatat, hak milik individual yang dikenal dalam norma-norma tradisional Tau Taa Wana yang berada dalam wilayah hukum adat Untunu Ue dan Ntongo, adalah hak guna tanah/lahan, bukan hak milik tanah/lahan. Tetapi akibat masuknya transmigrasi yang menggunakan alas hukum positif untuk memiliki tanah secara individual, maka mulai tumbuh kecenderungan oleh sebahagian (kecil) Tau Taa Wana menjadikan tanah (hutan) adat sebagai komoditi yang secara diam-diam diperjual belikan kepada warga transmigrasi. Olehnya, sering terjadi konflik kepemilikan antara Tau Taa Wana yang masih mengklaim tanah/lahan tersebut dengan warga transmigrasi yang telah mensertifikasinya.
49 Untuk lebih jelasnya, lihat: Gamarudin, SP., Rahyunita Handayani, S.Hut., St. Sukmawati, SP., Etnobotani Komunitas Tau Taa Wana Bulang: Suatu Penelitian Awal (Laporan Studi), Yayasan Merah Putih Palu dan Rainforest Foundation Norway, 2004.
50 Lihat, Nasution Camang, Op. cit., halaman 30.
<< Home