Wednesday, December 21, 2005

(2) Analisis dan Rekomendasi: PERATURAN PELAKSANA MENGENAI

Analisis dan Rekomendasi
PERATURAN PELAKSANA MENGENAI PEMANFAATAN HUTAN DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Pengaturan Mengenai Pemanfaatan Hutan dalam
Rangka Pemberdayaan Masyarakat

Sekalipun tidak begitu jelas dan lengkap, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) telah meletakkan dasar hukum pengaturan mengenai pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Pengaturan mengenai hal tersebut dijumpai pada penjelasan pasal 5 ayat 1 UU Kehutanan. Dikatakan bahwa pemanfaatan hutan negara yang tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat diberi istilah dengan hutan kemasyarakatan. Dengan menggunakan metode interpretasi dapat disimpulkan bahwa di mata UU Kehutanan, Hutan Kemasyarakatan (HKm) harus meletakan pemberdayaan masyarakat sebagai tujuan akhir melalui kegiatan pemanfaatan hutan. Bukan sebaliknya, yakni pemberdayaan masyarakat ditujukan untuk kegiatan pemanfaatan hutan.

Untuk keperluan harmonisasi, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/1998 jo No. 865/1999 tentang Hutan Kemasyarakatan, selanjutnya disempurnakan dan digantikan oleh Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Keputusan ini sudah dianggap sebagai bentuk penyesuaian terhadap UU Kehutanan sekalipun tidak mengikut logika pembagian jenis dan izin pemanfaatan hutan yang dikembangkan oleh UU Kehutanan. Menurut UU Kehutanan jenis pemanfaatan hutan dibagi ke dalam: [1] pemanfaatan kawasan hutan; [2] pemanfaatan jasa lingkungan; [3] pemanfataan hasil hutan; dan [4] pemungutan hasil hutan. Seluruh jenis pemanfaatan di atas dilaksanakan dengan pemberian izin. Karena jenis izin disesuaikan dengan jenis pemanfaatan maka izin yang diperkenalkan oleh UU Kehutanan menjadi: [1] izin pemanfaatan kawasan; [2] izin pemanfaatan jasa lingkungan; [3] izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; [4] izin pemanfaatan hasil hutan kayu; [5] izin pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan [6] izin pemungutan hasil hutan kayu. Sementara SK Menhut No. 31/2001 hanya mengenal satu izin yang dinamakan izin kegiatan hutan kemasyarakatan. Izin ini memberikan hak pengelolaan kepada pemegang izinnya.

Belum sempat Keputusan Menhut No. 31/2001 ditindaklanjuti oleh sejumlah keputusan menteri kehutanan yang lain, pada tahun 2002, pemerintah mengundangkan PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini berkonsentrasi untuk mengatur mengenai pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan. Dikatakan bahwa pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Dalam kalimat lain dikatakan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam pemanfaatan hutan. Selain itu, PP ini juga mengatakan bahwa untuk mewujudkan pemberdayaan dapat dilakukan melalui hutan kemasyarakatan. Ada dua dua hal yang bisa ditangkap dari redaksi pengaturan yang demikian, yakni: Pertama, PP No. 34/2002 meletakkan pemberdayaan sebagai instrumen untuk mewujudkan penguatan kelembagaan, kemandirian dan kemampuan masyarakat setempat. Kedua, hutan kemasyarakatan hanyalah salah satu cara atau skema untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat. Pengaturan yang begini tentu saja membuat PP ini menjadi relatif berbeda dengan UU Kehutanan yang meletakan hutan kemasyarakatan sebagai satu-satunya atau selalu identik dengan pemberdayaan masyarakat. Selain dua hal substansi di atas, dari sisi teknik perancangan perundangan (legal drafting) PP 34/2002, meletakkan pengaturan mengenai pemberdayaan masyarakat setempat dalam Bab yang mengatur mengenai Pemanfaatan Hutan (Bab III).

Perbedaan pemaknaan yang dikembangkan di dalam tubuh Departemen Kehutanan, rupanya begitu mewarnai penyusunan PP No. 34/2002. Satu pemaknaan mengusulkan agar substansi Keputusan Menhut No. 31/2001 diadopsi dalam PP No. 34/2002 dengan menaruhnya dalam Bab tersendiri. Usulan ini didasari oleh pemahaman yang mendudukan HKm sebagai skema yang ditujukan kepada kelompok khusus dalam masyarakat. Kelompok khusus yang dimaksud adalah masyarakat yang memerlukan pemberdayaan dalam pemanfaatan hutan. Kelompok tersebut memerlukan pemberdayaan karena dianggap tidak bisa bersaing dengan perorangan dan kelompok masyarakat yang lain untuk mendapatkan akses memanfaatkan hutan. Perlakuan khusus yang didapatkan oleh kelompok ini bukan hanya dengan mendapatkan pemberdayaan tetapi juga kemudahan dalam mendapatkan izin pemanfaatan hutan. Selain itu, izin yang dianggap cocok dengan masyarakat adalah yang berbentuk utuh, yakni izin pengelolaan. Di dalam izin pengelolaan ini bisa dilakukan berbagai jenis pemanfaatan seperti pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan dan pemungutan hasil hutan.

Pemaknaan di atas disanggah oleh pemaknaan lain. Dalam versi pemaknaan yang satu ini, seluruh izin pemanfaatan hutan harus satu. Tidak boleh ada perbedaan jenis termasuk yang akan diberikan kepada masyarakat setempat. Pendapat ini sekaligus menolak usulan bahwa izin yang sesuai dengan masyarakat setempat adalah izin pengelolaan. Sama dengan pemebang izin yang lain, masyarakat setempat juga harus memilih 6 jenis izin. Selain itu, menurur pemahaman ini, pemberdayaan masyarakat pada akhirnya harus diarahkan pada orientasi pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, kegiatan pemberdayaan hanya sebagai instrumen untuk membantu masyarakat bisa melakukan pemanfaatan hutan. Oleh sebab itu tidak diperlukan kemudahan dalam pemberian izin (izin pemanfaatan hasil hutan kayu) karena pemberdayaan justru dimaksudkan untuk menyiapkan masyarakat setempat untuk punya kemampuan yang sama dengan kelompok masyarakat yang lain.

Pemaknaan yang terakhir ini pada akhirnya lebih mewarnai substansi PP No. 34/2002. Materi pengaturan dalam Keputusan Menhut No. 31/2001 tidak jadi diadopsi dalam PP ini dan klausul mengenai pemberdayaan masyarakat setempat atau HKm tidak diatur dalam Bab tersendiri, melainkan hanya Bagian dalam Bab mengenai Pemanfaatan Hutan.


Dualisme Peraturan Organik

Perbedaan pemaknaan di tubuh Departemen Kehutanan, rupanya tidah berhenti hanya pada saat menyusun PP No. 34/2002. Perbedaan tersebut terus berlanjut pada tahapan penyusunan peraturan pelaksanaan atau peraturan organik.

Sekalipun PP No. 34/2002 dianggap tidak begitu mengadopsi Keputusan Menhut No. 31/2001, Direktorat RLPS tetap menyiapkan Draft Permenhut untuk menindaklanjuti pasal 51 PP No. 34/2002. Awalnya draft Permenhut tersebut berjudul Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam Dan Atau di Sekitar Hutan. Namun belakangan diubah menjadi Pedoman Umum Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan/Atau Sekitar Hutan Dalam Pemanfaatan Hutan dan terakhir menjadi Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan (Social Forestry). Sekalipun dianggap sebagai peraturan pelaksana dari PP No. 34/2002, yang nota bene menganulir asumsi adanya kelompok khusus dalam masyarakat yang memerlukan pemberdayaan, draft yang disusun tersebut tetap berangkat dari asumsi bahwa pemberdayaan diperlukan karena ada kelompok khusus dalam masyarakat. Itu sebabnya, draft ini tetap meletakan pemberdayaan sebagai tujuan, bukan sebagai instrumen. Selain itu, draft tersebut tetap mengemukakan klausul yang memberikan kemudahan kepada kelompok masyarakat setempat untuk mendapatkan izin pemanfaatan hutan melalui permohonan.

Sampai sekarang draft Permenhut usulan RLPS masih tertahan di sekretariat jenderal. Dalam perkembanganya, sekretariat jenderal justru memproses draft peraturan pelaksanaan dari pasal 51 PP No. 34/2002, yang diusulkan oleh Pokja Social Forestry sekalipun baru disusun belakangan. Draft yang diusulkan Pokja ini akhirnya menghasilkan Peraturan Menteri Kehutanan No. PS. 01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry (Permenhut SF). Di satu sisi, Permenhut ini memang melanjutkan orientasi pemanfaatan hutan dalam pemberdayaan masyarakat setempat, seperti yang dianut oleh PP No. 34/2002, namun di sisi lain Permenhut ini mengatur hal-hal yang tidak ada atau berbeda dengan PP No. 34/2002. Pertama, Permenhut ini menggunakan istilah social forestry yang sama sekali tidak ada dalam PP 34/2002 dan UU Kehutanan. Kedua, Permenhut ini memposisikan social forestry sebagai acuan bagi seluruh program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan HKm, PHMB dan Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat diposisikan sebagai jenis-jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Pengaturan yang demikian bukan saja makin mengacaukan susunan tapi juga makin mengaburkan kedudukan pemberdaayan masyarakat sebagai target atau tujuan. Selain itu, Permenhut ini sekaligus mendeklarasikan sebuah konsep yang mengatakan bahwa social forestry adalah payung dari seluruh bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun konsep ini masih bisa dipertanyakan karena dalam Permennhut ini, social forestry sendiri dinyatakan sebagai acuan. Sebagai acuan semestinya social forestry tidak disejajarkan dengan kegiatan pemberdayaan yang lain seperti HKm atau PHBM. Dengan kata lain, pensejajaran tersebut dengan kegiatan yang lain menggugurkan kedudukan social forestry sebagai acuan.

Ijin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha jasa lingkungan dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam dan atau hutan tanaman diberikan oleh Bupati dan Walikota untuk kawasan dalam kabupaten/kota dan oleh Gubernur untuk kawasan lintas kabupaten/kota. Sedangkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan atau pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri. Izin diberikan oleh Bupati/walikota dan gubernur melalui permohonan, sedangkan izin diberikan oleh menteri melalui penawaran lelang terbatas. Saat ini, dua buah draft Permenhut telah disusun untuk melengkapi Permenhut SF, yakni Draft Permenhut tentang Tata Cara Penyelenggaraan Sosial Forestry dan Draft Permenhut tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan Dalam Rangka Social Forestry.

Kemandekan di Lapangan

Dualisme peraturan organik UU Kehutanan dan PP 34/2002 mengenai pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemanfaatan hutan bukan saja melahirkan disharmoni peraturan perundangan tapi juga membawa kebingungan di tingkat lapangan. Dua belas areal percontohan HKm yang terletak di 8 kabupaten terpaksa terhenti karena masih menunggu SK Menteri Kehutanan yang menetapkan wilayah pengelolaan HKm yang dimohonkan. Ke delapan kabupaten tersebut adalah Kabupaten Gunung Kidul&Kulon Progo (DIY), OKI, OKU&Lahat (Sumsel), Lampung Tengah&Lampung Timur (Lampung), Sikka dan Kupang (NTT) dan Tanah Toraja (Sulsel). Total wilayah yang dimohonkan untuk 8 kabupaten tersebut adalah 127.901,66 ha. Padahal ke 12 lokasi tersebut telah merampungkan seluruh tahapan penyiapan masyarakat (identifikasi, inventarisasi, legalisasi, pencadangan wilayah).

Kebingungan juga melanda 26 pemegang izin kegiatan HKm. Kedua puluh enam izin tersebut terletak di Propinsi Aceh (13), Jambi (2), Lampung (4), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Tengah (3), Sulawesi Selatan (1), Nusa Tenggara Barat (1) dan Irian Jaya (1). Pada tahan 1999 dan 2000, Menteri Kehutanan menerbitkan ke 26 izin tersebut namun masih berupa izin sementara dengan jangka waktu 5 tahun. Saat ini, kedua puluh enam izin tersebut telah berakhir dan tidak ditingkatkan menjadi izin defenitif. Dari perspektif hukum, kedua puluh enam pemegang izin tersebut, saat ini, tentu saja tidak lagi memiliki izin dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengelolaan. Total areal untuk 26 pemegang izin kegiatan HKm tersebut seluas 82.703,9 ha.

Nasib yang lebih memilukan dialami oleh proyek HKm yang didanai oleh Dana Reboisasi dan Bantuan Luar Negeri (BLN) lewat skema rehabilitasi. Proyek ini telah diawali sejak tahun 1993 dan telah berlangsung di 22 propinsi, termasuk Timor Timur sebelum merdeka. Bantuan luar negeri berasal dari pemerintah German melalui GTZ dan pemerintah Jepang melalui proyek OECF. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah Jerman memfokuskan diri untuk mendukung satu proyek social forestry saja yakni di Kabupaten Sanggau, selama 10 tahun (1992-2002). Proyek rehabilitasi dengan baju HKm tersebut, di 22 propinsi, telah melewati tahapan persiapan masyarakat dan sebagian bahkan telah mencadangkan kawasan. Ironisnya, hingga saat ini, tak satupun yang berujung dengan penetapan kawasan HKm dan pemberian izin kegiatan HKm.

Mandeknya proses penetapan terhadap arel HKm yang dicadangkan dan tidak ditingkatkannya izin sementara menjadi izin defenitif, disebabkan oleh tak kunjung keluarkan 3 Keputusan menteri Kehutanan untuk melengkapi SK Menhut No. 31/2001. Tuga keputusan tersebut sedianya akan mengatur mengenai: [1] tata cara dan prosedur permohonan izin; [2] penyusunan rencana pengelolaan; dan [3] pengendalian HKm. Selain karena faktor di atas, kemandekan pelaksanaan HKm juga disebabkan oleh diluncurkannya program social forestry (SF) sejak tahun 2001. Pada tahun 2004, kebijakan dan program SF mendapat pengabsahan hukum melalui Peraturan Menteri Kahutanan No. PS. 01/2004. Sampai saat ini program SF sendiri dilakukan di 3 wilayah, yakni Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara (64 desa) dan Nusa Tenggara Barat. Anehnya, sekalipun sejak 2001 mendapat dukungan kuat secara formal dari petinggi Departemen Kehutanan, 3 lokasi SF tersebut, sampai sekarang belum juga mendapat penetapan areal kerja social forestry, dari Menteri Kehutanan. Penyebabnya, serupa dengan yang dialami oleh SK Menhut No. 31/2001, yakni belum diundangkannya sejumlah peraturan menteri untuk melengkapi Permenhut No. PS. 01/2004. Kedua Permenhut tersebut adalah Permenhut tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan Dalam Rangka Social Forestry dan Permenhut tentang Tata Cara Penyelenggaraan Social Forestry. Keduanya saat ini masih berstatus sebagai rancangan yang telah disusun oleh Kelompok Kerja Social Forestry.

Situasi di lapangan makin pelik karena sebagian wilayah percontohan HKm dijadikan lokasi penyelenggaraan social forestry. Bagi, masyarakat situasi ini tentu menunda kepastian hak yang sudah hampir di depan mata.. Sedangkan bagi pemerintah daerah, kondisi ini membuat mereka menjadi kehilangan kepastian dasar hukum.

Usulan Rekomendatif

Terhadap kondisi seperti yang digambarkan di atas, saat ini terdapat sejumlah usulan yang mencoba menawarkan penyelesaian. Secara umum usulan-usulan tersebut bisa dikelompokan ke dalam:

Pertama, disharmoni peraturan pelaksana mengenai pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat bisa diselesaikan dengan menggunakan logika yuridis formal. Logika ini menganjurkan bahwa tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menemukan dasar hukum. Dalam konteks ini dasar hukum utama yang paling tepat adalah UU Kehutanan. Dari UU Kehutanan akan diperoleh kejelasan kedudukan pemberdayaan masyarakat dan istilah baku yang dipakai. Selanjutnya, sebagai logika yang formalis-deduktif, usulan ini menganjurkan penyesuaian peraturan perundangan di bawah UU Kehutanan untuk mengharmoniskan diri. Pengharmonisan tersebut bukan hanya pada tingkatan norma atau kaedah tapi juga pada maksud (ratio legis) yang tersimpan di balik teks (norma, kaedah). Bila usulan ini yang digunakan maka baik ketentuan SK Menhut No. 31/2001 maupun Permenhut No. PS 01.2004 harus menyelaraskan diri dengan UU Kehutanan dan PP No. 34/2002 selaku peraturan yang lebih tinggi. Bagi SK No. 31/2001, penyelarasan (harmonisasi) yang perlu dilakukan adalah: [1] pemakaian istilah 'pemberdayaan masyarakat setempat' sebagai istilah generik dan sekaligus mendudukan HKm sebagai salah jenis atau skema pemberdayaan masyarakat setempat; dan [2] menggunakan terma dan konsep izin yang baru dengan mengganti izin kegiatan HKm menjadi izin pemanfaatn hutan.

Adapaun penyelerasan yang perlu dilakukan oleh Permenhut No. PS 01/2004 adalah: [1] mencarikan pengganti untuk istilah social forestry dengan istilah lain yang memang disebutkan di dalam UU Kehutanan dan PP No. 34/2002; [2] menggunakan istilah 'pemberdayaan masyarakat setempat' sebagai istilah generik sekaligus menempatkan social forestry atau istilah penggantinya hanya sebagai salah satu jenis pemberdayaan masyarakat; dan [3] mengikuti tafsiran bahwa pasal 51 PP No. 34/2002 memang merupakan pasal khusus yang diperuntukan bagi masyarakat setempat yang terlebih dahulu perlu diberdayakan sebelum melakukan pemanfaatan hutan.

Kedua, kemelut di atas bisa bisa juga diselesaikan dengan memadukan social forestry dengan HKm. Perpaduan yang dimaksud dalam hal ini bukanlah pada istilah tapi memadukan substansi yang ada dalam draft keputusan menhut mengenai pedoman umum pemberdayaan masyarakat setempat dengan Permenhut SF dengan 2 draft permenhut yang tengah digodok. Untuk memberikan judul pada hasil yang dipadukan tersebut bisa saja menggunakan istilah social forestry atau istilah pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan. Apapun istilah yang digunakan, akan menjadi istilah payung bagi HKm, PHBM, PHBR, dll. Namun dari segi materi pengaturan, usulan ini menghadapi kesulitan karena terdapat perbedaan serius antara keputusan/peraturan dan rancangan peraturan/keputusan yang hendak dipadukan. Sekalipun diantara mereka ada kesamaan namun tidak bisa ditutupi bahwa mereka juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling kentara ada pada argumentasi dan maksud. Pada level norma salah satu perbedaan yang cukup jelas adalah pada tata cara dan persyaratan pemberian izin pemanfaatan hutan serta kelembagaan penyelenggaraan . Bila dalam konsep draft keputusan menhut mengenai pemberdayaan masyarakat setempat, seluruh izin (pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan) diberikan melalui permohonan, sedangkan menurut Permenhut SF dan 2 draft peraturan pelaksanannya, khusus untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu diberikan melalui penawaran lelang terbatas.

Analisa dan rekomendasi di atas masih merupakan pikiran-pikiran awal. Dengan demikian masih diperlukan perbaikan lebih lanjut untuk keperluan mengoreksi dan menyempurnakannya. Berbagai diskusi dan kunjungan lapangan akan berguna untuk menguji kesahihan dan ketetapannya. Analisa dan rekomendasi ini kelak akan menjadi bahan untuk menyusun rancangan peraturan menteri kehutanan mengenai pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Apapun usulan rekomendasi yang dipakai kelak harus segera memberikan jawaban penyelesaian terhadap ratusan kawasan HKm yang tengah menunggu penetapan kawasan dan pemberian izin serta merangsang wilayah-wilayah lain untuk menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat setempat.