Wednesday, December 21, 2005

(3) Rancangan Peraturan Menhut ttg Pemberdayaan Mas


RANCANGAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

NOMOR ... TAHUN 2005

TENTANG

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT
DI DALAM DAN ATAU DI SEKITAR HUTAN

MENTERI KEHUTANAN,

Menimbang:
a. bahwa berdasarkan pasal 3 huruf d Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan;
b. bahwa pasal 51 Peraturan Pemerintah No. 34/2002 mengamanatkan perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat di dalam dan atau di sekitar hutan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pemberdayaan Masyarakat Di dalam Dan Atau Di Sekitar Hutan;


Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
5. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan;



MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT DI DALAM DAN ATAU DI SEKITAR HUTAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(2) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
(3) Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam memanfaatakan hutan;
(4) Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan;
(5) Kelompok masyarakat adalah masyarakat setempat yang memenuhi kriteria dan ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota untuk diberdayakan;
(6) Pemegang izin atau hak adalah badan hukum yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(7) Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan KPHKm, adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagai areal pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan;
(8) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;
(9) Fasilitasi adalah penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat setempat dengan cara pemberian status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan produksi, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pemberian hak dalam pemanfaatan hutan;
(10) Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang Kehutanan;


Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2
(1) Ruang lingkup pemberdayaan masyarakat di dalam dan atau di sekitar hutan meliputi kegiatan penetapan kelompok masyarakat, pengusulan dan penetapan KPHKm, peningkatan kapasitas, pemberian hak, pengembangan usaha, pengawasan dan pengendalian.
(2) Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam atau di sekitar hutan dilaksanakan di semua kawasan hutan, baik yang telah dibebani hak atau izin maupun yang belum dibebani hak atau izin.

BAB II
LEGALITAS KAWASAN DAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
(1) Kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat adalah semua kawasan hutan kecuali pada Cagar Alam, Zona Inti dan Zona Rimba pada Taman Nasional.
(2) Masyarakat setempat yang perlu diberdayakan adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial, didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang tergantung pada hutan, memiliki sejarah penguasaan atau pengelolaan dan keterikatan tempat tinggal dengan kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai areal KPHKm.
(3) Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan kriteria kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan.


Bagian Kedua
Inventarisasi dan Identifikasi

Pasal 4
(1) Inventarisasi dan identifikasi dimaksudkan untuk menyediakan data dan informasi bagi penentuan areal calon KPHKm dan kelompok masyarakat yang akan diberdayakan.
(2) Inventarisasi dan identifikasi dilakukan baik pada kawasan hutan yang telah dibebani izin atau hak maupun yang belum dibebani izin atau hak.
(3) Inventarisasi dan identifikasi dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4) Inventarisasi dan identifikasi pada kawasan hutan yang dibebani izin atau hak dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan pemegang izin atau hak.
(5) Inventarisasi dan identifikasi dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat setempat.
(6) Inventarisasi dan identifikasi dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan urutan prioritas yang didasarkan kepada tingkat permasalahan sosial, ekonomi serta kerusakan hutan dan lingkungan.
(7) Apabila berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi terdapat areal calon KPHKm dan kelompok masyarakat yang berada pada lintas kabupaten/kota, maka Bupati/Walikota wajib memberikan rekomendasi kepada Gubernur.
(8) Setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Gubernur melakukan koordinasi penetapan kelompok masyarakat dan usulan calon areal KPHKm.


Bagian Ketiga
Penetapan Kelompok Masyarakat dan KPHKm

Pasal 5

(1) Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4, Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan kelompok masyarakat yang akan diberdayakan dengan mengacu kepada kriteria kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang berada di dalam Kawasan hutan baik yang belum dibebani izin atau hak maupun yang sudah dibebani izin atau hak.

Pasal 6
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi, Bupati/Walikota mengusulkan penetapan KPHKm kepada Menteri dengan melampirkan peta areal calon KPHKm dan data mengenai kelompok masyarakat yang akan diberdayakan.
(2) Berdasarkan rekomendasi dari Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (5), Gubernur mengusulkan penetapan areal calon KPHKm yang lintas kabupaten/kota kepada Menteri.
(3) Areal KPHKm yang diusulkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada pada kawasan hutan yang belum dibebani izin atau hak.
(3) Pengusulan areal calon KPHKm disertai dengan lampiran peta areal calon KPHKm dan data mengenai kelompok masyarakat yang akan diberdayakan.
(4) Data mengenai kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi jumlah anggota kelompok, mata pencaharian dan ketergantungan kelompok terhadap hutan dan sejarah pengelolaan dengan areal KPHKm.


Pasal 7
Gubernur dan Bupati/Walikota membuat kesepakatan dengan pemegang izin atau hak mengenai lokasi dan luas areal pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan hutan yang telah dibebani izin atau hak.

Pasal 8
(1) Menteri dapat menerima atau menolak usulan Gubernur dan Bupati/Walikota untuk penetapan areal calon KPHKm, dengan Surat Keputusan.
(2) Keputusan untuk menolak atau menerima usulan Gubernur dan Bupati/Walikota ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak usulan tersebut diterima.

Pasal 9
(1) Dalam hal usulan Gubernur dan Bupati/Walikota diterima, Menteri menetapkan KPHKm untuk pemberdayaan masyarakat dengan Surat Keputusan.
(2) Dalam hal usulan Gubernur dan Bupati/Walikota ditolak, Menteri menyampaikan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan-alasannya.
(3) Alasan-alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. kelompok masyarakat setempat yang diajukan tidak memenuhi kriteria kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan sebagaimana ditentukan oleh Bupati/Walikota;
b. areal yang diusulkan berada di Zona Inti, dan Zona Rimba Taman Nasional serta Cagar Alam;
c. areal yang diusulkan berada di dalam kawasan yang telah dibebani izin atau hak.


BAB III
PENINGKATAN KAPASITAS KELOMPOK MASYARAKAT

Pasal 10
Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat meliputi fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan dan fasilitasi penyusunan rencana pengelolaan.

Pasal 11
Fasilitasi peningkatan kapasitas kelompok masyarakat harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. setara dan non-diskriminatif; dan
b. transparan dan akuntabel;

Pasal 12
Kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas kelompok masyarakat meliputi:
d. pendampingan;
e. pelatihan;
f. penyuluhan;
g. studi banding, dan
h. penyajian informasi;

Pasal 13
(1) Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan diarahkan agar kelompok masyarakat memiliki kemampuan manajerial dalam memanfaatakan hutan.
(2) Fasilitasi penyusunan rencana pengelolaan bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menyusun rencana pengelolaan areal KPHKm.

Pasal 14
Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat menghasilkan:
a. tata batas areal kerja kelompok masyarakat dalam KPHKm;
b. potensi areal kerja kelompok masyarakat dalam KPHKm;
c. organisasi dan aturan internal kelompok yang antara lain berisikan hak dan kewajiban angggota, mekanisme pengambilan keputusan, dan penyelesaian sengketa; dan
d. rencana pengelolaan areal kerja kelompok masyarakat dalam KPHKm yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, rehabilitasi, serta tata usaha hasil hutan;

Pasal 15
(1) Fasilitasi penyusunan rencana pengelolaan harus memperhatikan kemampuan kelompok masyarakat serta potensi lahan dan sumberdaya hutan.
(2) Khusus untuk rencana pengelolaan kayu harus memuat hal-hal mengenai tata usaha yang memungkinkan dilakukannya lacak balak, rencana penebangan yang memperhatikan Jatah Tebangan Tahunan, serta memuat rencana penanaman kembali.

Pasal 16
(1) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dilakukan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota, baik yang berada di dalam kawasan yang telah dibebani izin atau hak maupun dalam kawasan yang belum dibebani izin atau hak.
(2) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak lain sepanjang ada kesepakatan dengan kelompok masyarakat yang akan dikembangkan kapasitasnya dan berkoordinasi dengan Gubernur, Bupati/Walikota dan/ atau pemegang izin atau hak.
(3) Pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah:
a. perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat; atau
b. Lembaga Swadaya Masyarakat;


BAB IV
PEMBERIAN HAK PEMANFAATAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 17
(1) Pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dilakukan dengan cara memberikan hak pemanfaatan hutan.
(2) Hak pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini mencakup kegiatan:
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan;
c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu;
(3) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Hak pemanfaatan hutan diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpajang kembali untuk masa 35 tahun.
(5) Hak pemanfaatan hutan bukan merupakan hak pemilikan atas kawasan hutan dan tidak dapat dipindahtangankan atau diagunkan.
(6) Pemberian hak pemanfaatan hutan tidak boleh merubah status dan fungsi hutan.


Bagian Kedua
Pemberian Hak

Pasal 18
(1) Gubernur atau Bupati/Walikota memberikan Hak Pemanfaatan Hutan kepada kelompok masyarakat dalam KPHKm setelah Gubernur atau Bupati/Walikota menyetujui dan mengesahkan kelembagaan kelompok masyarakat dan rencana pengelolaan.
(2) Kelompok masyarakat yang akan diberikan Hak Pemanfaatan Hutan dalam KPHKm harus berbentuk koperasi atau badan hukum.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Surat Keputusan.

Pasal 19

(1) Hak pemanfaatan hutan di dalam kawasan yang telah dibebani izin atau hak disepakati antara pemegang izin atau hak dengan kelompok masyarakat.
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Nota Kesepahaman.
(3) Nota Kesepahaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menempatkan pemegang hak atau ijin dan kelompok masyarakat dalam posisi yang setara.


Bagian Ketiga
Kewajiban

Pasal 20
(1) Pemegang hak pemanfaatan hutan yang melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu wajib membayar Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan.
(2) Pemegang hak pemanfaatan hutan yang hanya melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan dan atau pemanfaatan jasa lingkungan tidak wajib membayar Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan.


BAB V
PENGEMBANGAN USAHA

Pasal 21
Fasilitasi pengembangan usaha kelompok masyarakat meliputi pengembangan teknologi tepat guna dan fasilitasi pemasaran.

Pasal 22
Fasilitasi pengembangan usaha kelompok masyarakat harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. setara dan non-diskriminatif; dan
b. transparan dan akuntabel;

Pasal 23
(1) Fasilitasi pengembangan usaha diarahkan agar kelompok masyarakat mampu dan mandiri dalam mengembangkan usaha pemanfaatan hutan.
(2) Fasilitasi pengembangan usaha kelompok masyarakat harus memperhatikan kemampuan kelompok, serta potensi sumberdaya hutan.

Pasal 24
(1) Pengembangan teknologi tepat guna menghasilkan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(2) Fasilitasi pemasaran menghasilkan akses informasi pasar, akses modal dan atau akses pasar.

Pasal 25
(1) Fasilitasi pengembangan usaha kelompok masyarakat dilakukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur baik pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak maupun yang belum dibebani izin atau hak.
(2) Gubernur atau Bupati/Walikota melakukan fasilitasi pengembangan usaha di kawasan yang telah dibebani izin atau hak bekerjasama dengan pemegang izin atau hak.
(3) Fasilitasi pengembangan usaha kelompok masyarakat dapat dilakukan oleh pihak-pihak lain sepanjang ada kesepakatan dengan kelompok masyarakat.
(4) Pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
a. perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat;
b. lembaga swadaya masyarakat;
c. lembaga keuangan;
d. Koperasi; atau
e. BUMN/BUMD/BUMS;


BAB VI
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 26
(1) Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan merupakan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Dalam rangka membantu pemberdayaan masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk Forum Multi Pihak.


Bagian Kedua
Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 27
(1) Pemerintah berperan:
a. mengendalikan pelaksanaan hak pemanfaatan dengan berpedoman kepada rencana pengelolaan kelompok masyarakat;
b. memfasilitasi terbentuknya Forum Multi Pihak dan melakukan koordinasi dengannya; dan
c. memfasilitasi peningkatan kapasitas Pemda dalam hal sumberdaya manusia dan kemampuan manajerial;
(2) Pemerintah Provinsi berperan:
a. membantu Pemerintah dalam melakukan pengendalian terhadap hak pemanfaatan hutan baik pada aeral KPHKm yang berada di dalam satu kabupaten/kota maupun yang lintas kabupaten kabupaten/kota;
b. terlibat dalam pengembangan kapasitas dan pengembangan usaha kelompok masyarakat di areal KPHKm yang lintas kabupaten/kota; dan
c. memfasilitasi terbentuknya Forum Multi Pihak tingkat provinsi dan melakukan koordinasi dengannya;
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota berperan:
a. terlibat dalam peningkatan kapasitas dan pengembangan usaha kelompok masyarakat baik pada KPHKm yang berada dalam satu kabupaten/kota maupun lintas kabupaten/kota;
b. melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan hak pemanfaatan hutan di KPHKm yang berada dalam satu kabupaten/kota; dan
c. memfasilitasi terbentuknya Forum Multi Pihak di tingkat Kabupaten/Kota dan melakukan koordinasi dengannya;


Bagian Ketiga
Peran Forum Multi Pihak

Pasal 28
(1) Forum Multi Pihak didirikan untuk membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberdayakan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dengan cara memberikan saran dan melakukan pemantauan.
(2) Forum Multi Pihak dibentuk di tingkat nasional dan daerah.
(3) Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Propinsi dan Kabupaten/Kota.
(4) Menteri membentuk Forum Multi Pihak di tingkat nasional, Gubernur membentuk Forum Multi Pihak di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota membentuk Forum Multi Pihak di tingkat kabupaten/kota.
(5) Anggota Forum Multi Pihak di tingkat nasional dan daerah ditunjuk atau dipilih dari kalangan pemerintah, perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
(6) Anggota Forum Multi Pihak bekerja untuk jangka waktu 5 tahun.

Pasal 29
Forum Multi Pihak di tingkat nasional berperan:
a. memberikan saran kepada pemerintah dalam penetapan areal KPHKm;
b. memberikan saran kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan mengenai pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan; atau
c. melakukan pemantauan pelaksanaan hak pemanfaatan hutan secara nasional dan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah dan publik;

Pasal 30
Forum Multi Pihak tingkat daerah berperan:
d. memberikan saran kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dalam hal penetapan kelompok masyarakat yang akan diberdayakan, peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dan dalam hal pengusulan areal calon KPHKm;
e. memberikan saran kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dalam perumusan kebijakan mengenai pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan; atau
f. melakukan pemantauan pelaksanaan hak pemanfaatan hutan di daerah masing-masing dan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah daerah dan publik;


BAB VII
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31
(1) Pengendalian dimaksudkan untuk menjamin penyelenggaraan pemberdayaan kelompok masyarakat dapat terlaksana sesuai dengan tujuan.
(2) Pengendalian dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
a. pengendalian oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan internal pemegang hak; dan
b. pengawasan oleh publik;

Bagian Kedua
Pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 32
Pengendalian pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemerintah melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan pemberian hak pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
b. Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan hak pemanfaatan oleh pemegang hak yang areal KPHKm nya lintas kabupaten/kota; dan
c. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan hak pemanfaatan hutan oleh pemegang hak;
Pasal 33
(1) Pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan hak pemanfaatan hutan berpedoman pada rencana pengelolaan kelompok masyarakat.
(2) Hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini digunakan sebagai bahan untuk memantau kesesuaian antara pelaksanaan hak pemanfaatan hutan dengan rencana pengelolaan.


Bagian Ketiga
Pengendalian Internal oleh Pemegang Hak

Pasal 34
(1) Pengendalian internal dilakukan dengan metode evaluasi partisipatif yang melibatkan seluruh anggota kelompok masyarakat pemegang hak dan masyarakat setempat lainnya.
(3) Kegiatan evaluasi partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi.
(4) Pengendalian internal dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam setiap tahun.


Bagian Keempat
Laporan Berkala Hasil Pengendalian

Pasal 35
(1) Dalam rangka pengendalian pemberdayaan masyarakat setempat perlu diselenggarakan pelaporan secara berkala.
(2) Kelompok Masyarakat Pemegang hak pemanfaatan hutan menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan hak kepada Pemerintah Daerah.
(3) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat lintas kabupaten/kota kepada Menteri.
(4) Pemerintah Kabupaten/kota menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur.
(5) Pemegang izin atau hak menyampaikan laporan kegiatan pemberdayaan kelompok masyarakat di areal kerjanya kepada Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.


Bagian Kelima
Pengawasan oleh Publik

Pasal 36
(1) Apabila pelaksanaan hak pemanfaatan hutan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum dari segi lingkungan hidup, publik dapat melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Apabila gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh pengadilan maka Gubernur dan Bupati/Walikota wajib meninjau kembali kembali hak pemanfaatan hutan atau melakukan perubahan terhadap rencana pengelolaan.


BAB VIII
SANKSI

Pasal 37
(1) Menteri dapat mencabut penetapan areal KPHKm apabila:
a. pemegang hak tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam rencana pengelolaan berdasarkan laporan hasil pengendalian;
b. pemegang hak melanggar ketentuan pasal 16 ayat (5) dan (6).
c. Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan hak pemanfaatan hutan kepada kelompok masyarakat di luar yang dilampirkan dalam usulan penetapan KPHKm.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakibat pada batalnya hak pemanfaatan hutan pada areal KPHKm.
(3) Gubernur dan Bupati/Walikota dapat membatalkan hak pemanfaatan hutan apabila si pemegang hak tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam rencana pengelolaan.
(4) Pembatalan hak pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini tidak dengan sendirinya membatalkan penetapan KPHKm.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38
(1) Dengan berlakunya Peraturan ini, kawasan yang sudah ditetapkan sebagai Areal Kerja Social Forestry (AKSF) dan wilayah pengelolaan Hutan Kemasyarakatan, dapat langsung dinyatakan sebagai areal KPHKm.
(2) Dengan berlakunya peraturan ini maka di kawasan-kawasan yang sudah ada penetapan Areal Kerja Social Forestry (AKSF) akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. penetapan kelompok masyarakat yang telah dikembangkan kapasitasnya dengan Keputusan Bupati;
b. pengusulan permohonan hak oleh kelompok masyarakat yang sudah dikembangkan kapasitasnya yang ditujukan kepada Bupati melalui Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten; dan
c. pemberian hak pemanfaatan hutan oleh Bupati;
(3) Jangka waktu untuk melakukan 3 (tiga) langkah di atas dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak peraturan ini ditetapkan.
(4) Bagi Kabupaten yang sudah pernah mengusulkan penetapan wilayah pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan sudah diverifikasi oleh pemerintah, akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. penetapan wilayah pengelolaan Hutan Kemasyarakatan oleh Menteri; dan
b. pemberian hak pemanfaatan hutan oleh Bupati/Walikota.
(5) Bagi lokasi-lokasi yang sudah pernah mendapatkan izin sementara Hutan Kemasyarakatan langkah akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. pengusulan areal calon KPHKm oleh Bupati kepada Menteri;
b. penetapan kawasan KPHKm oleh Menteri; dan
c. pemberian hak pemanfaatan oleh Bupati.
(6) Waktu yang diberikan untuk melakukan langkah-langkah sebagaimana disebut pada ayat (4) dan (5) paling lama 3 (tiga) bulan sejak peraturan ini ditetapkan.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39
(1) Dengan ditetapkannya peraturan ini maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam dan Atau Di sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry, dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur kemudian dengan Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota.

Pasal 40
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :...2005

MENTERI KEHUTANAN
ttd

M.S. KABAN


Salinan Peraturan ini
Disampaikan kepada Yth. :

1. Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
2. Pejabat Eselon Satu Lingkup Departemen Kehutanan;
3. Gubernur di seluruh Indonesia;
4. Bupati/Walikota di seluruh Indonesia;
5. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi di seluruh Indonesia;
6. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;
7. Kepala Unit Pelaksana Teknis Lingkup Kehutanan Departemen Kehutanan di seluruh Indonesia.