Wednesday, December 28, 2005

Raperda Prop. Bengkulu ttg Pengelolaan Pesisir, Laut dan

DRAFT
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROPINSI BENGKULU
NOMOR: TAHUN …

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA
TERPADU DI PROPINSI BENGKULU

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

GUBERNUR BENGKULU


Menimbang:

a. bahwa Propinsi Bengkulu memiliki potensi sumber daya pesisir,
oleh karena itu harus dikelola berdasarkan asas legalitas,
keadilan, demokratis, terpadu, daya guna dan hasil guna, serta
dengan mempertimbangkan kearifan lokal untuk sebesarbesarnya
bagi kesejahteraan masyarakat dan daerah;

b. bahwa tujuan pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu
yaitu agar dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulaupulau
kecil dapat berkelanjutan dan menjamin kelestarian
keanekaragaman hayati serta fungsi-fungsi lingkungan hidup;

c. bahwa sasaran pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b yaitu terselenggaranya prinsip
koordinasi dan mekanisme kerja serta keterpaduan dalam
perencanaan dan pelaksanaan serta pengendalian pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir;

d. bahwa agar dalam pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi
Bengkulu sesuai dengan asas, tujuan dan sasaran sebagaimana
tersebut pada huruf a, b, dan c, maka perlu ditetapkan dengan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut,
dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu di Propinsi Bengkulu.


Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor.
2043).

2. Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1967 Tentang Pembentukan
Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1967 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685).

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2294).

4. Undang-undang Nomor: 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi
Konvensi Hukum Laut Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Nomor 3319).

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
Sumberdaya Alam dan Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3299).

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).

7. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3493).

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 3501).

9. Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1994 Tentang Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3556).

10. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 3647).

11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor
3699).

12. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 3888).

13. Undang-undang Nomor: 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
136).

14. Undang-undang No. 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32).

15. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389).

16. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4433).

17. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 4437).

18. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan
Pemerintahan di Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Tahun
1968 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2854).

19. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Pelestarian Alam ((Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 8132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3776).

20. Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 155, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3816).

21. Peraturan Pemerintah Nomor: 85 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas PP No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

22. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1999 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3838).

23. Peraturan Pemerintah Nomor: 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan
di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3907)..

24. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952).

25. Peraturan Pemerintah Nomor: 141 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Kedua Atas PP No. 15 Tahun 1990 Tentang Usaha
Perikanan.

26. Peraturan Pemerintah Nomor: 82 tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161).

27. Peraturan Pemerintah Nomor: 15 Tahun 2002 Tentang Karantina
Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
36).

28. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Keadaan
Geografis Titik-titik Garis Pangkal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4211).

29. Keputusan Presiden Nomor: 32 Tahun 1990 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.

30. Keputusan Presiden Nomor: 33 Tahun 2002 Tentang
Pengendalian dan pengawasan Pengusahaan Pasir Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 61)

31. Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor: 5 Tahun 2005
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bengkulu.


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BENGKULU
dan
GUBERNUR BENGKULU


MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA TERPADU
DI PROPINSI BENGKULU


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:

1. Daerah adalah Daerah Propinsi Bengkulu.

2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

4. Kepala Daerah adalah Gubernur Bengkulu.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

6. Pengelolaan Wilayah Pesisir secara terpadu adalah proses pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan pulau kecil serta jasa lingkungan yang
mengintegrasikan kegiatan para pemangku kepentingan, perencanaan horizontal
dan vertikal, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen,
sehingga pengelolaan sumberdaya tersebut bekelanjutan dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

7. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan
sumberdaya pesisir melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi
penopang masyarakat setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada
masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya tersebut.

8. Abrasi adalah proses erosi pada material yang masif.

9. Akresi adalah proses penumpukan pasir di daerah pantai akibat dari gerakan arus
dan gelombang yang membawa pasir ke daerah tersebut.

10. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah hasil studi mengenai
dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.

11. ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan) adalah suatu telaah yang dilakukan
secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang
direncanakan.

12. Atol atau pulau karang merupakan suatu rangkaian pulau-pulau karang yang
berbentuk suatu lingkaran mengelilingi laguna dengan kedalaman bervariasi
antara beberapa hingga puluhan meter.

13. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.

14. Budidaya laut adalah cara pemeliharaan hewan dan tumbuhan laut seperti
berbagai jenis ikan laut, udang, kerang dan berbagai jenis rumput laut, di suatu
tempat dan dengan menggunakan metode tertentu;

15. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan secara
geografis tempat saluran air mengalir melalui sistem tertentu, yaitu sungai aliran
air, atau badan air lainnya.

16. Daerah Muara Sungai adalah daerah litoral yang agak tertutup (teluk) di pantai,
tempat sungai bermuara dan air tawar dari sungai bercampur dengan air asin dari
laut, biasanya berkaitan dengan pertemuan perairan sungai dengan perairan laut;

17. Daerah Perlindungan Laut adalah daerah pesisir dan laut yang meliputi terumbu
karang, hutan mangrove, lamun, atau habitat lainnya secara sendiri atau
bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari
kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut yang dikelola oleh masyarakat
setempat serta ditetapkan dalam peraturan desa;

18. Delta adalah bagian dari pantai yang membentuk formasi batuan akibat dari
proses pengendapan di muara sungai.

19. Degradasi adalah kerusakan, penurunan kualitas atau penurunan daya dukung
lingkungan akibat dari aktivitas/kegiatan manusia ataupun alami;

20. Erosi adalah pengikisan pantai, pengurangan daratan atau mundurnya pantai.

21. Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme
lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya,
seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang,
ekosistem padang lamun;

22. Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah
dengan daratan pantai yang dipakai untuk menetapkan titik terluar di pantai
wilayah laut;

23. Garis sempadan pantai adalah garis batas yang diukur dari air laut pasang
tertinggi ke arah daratan mengikuti lekukan pantai dan/atau disesuaikan dengan
topografi setempat;

24. Izin adalah suatu persetujuan dari pejabat yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undang, setelah dipenuhinya persyaratan dan pembatasan
untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan
peraturan perundang-undangan.

25. Jasa lingkungan adalah jasa yang dihasilkan melalui pemanfaatan dengan tidak
mengekstrasi sumberdaya pesisir, tetapi memanfaatkan fungsinya untuk tempat
rekreasi dan pariwisata, sebagai media transportasi, sumber energi gelombang
dan lain-lain;

26. Kawasan adalah bagian dari wilayah pesisir yang batasnya ditentukan
berdasarkan lingkup pengamatan tertentu, dengan fungsi utama yaitu fungsi
lindung dan fungsi budidaya.

27. Kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik, biologi, sosial dan ekonomi
untuk dipertahankan keberadaannya.

28. Kawasan Lindung adalah kawasan pesisir yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

29. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atau dimanfaatkan secara terencana dan terarah atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya
buatan, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi hidup dan
kehidupan manusia.

30. Kawasan Desa Pantai adalah desa yang perkembangan dan pertumbuhannya
dinilai oleh pembentukan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya erat
dengan sumber daya lautan

31. Kawasan konservasi pesisir dan laut adalah kawasan dengan ciri khas tertentu
yang mencakup ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang mempunyai
fungsi konservasi dan fungsi pemanfaatan yang berkelanjutan.

32. Konservasi laut adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati laut yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keaneka
ragaman dan nilainya, serta merehabilitasi sumberdaya alam laut yang rusak;

33. Kepulauan atau pulau-pulau kecil adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian
pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya yang berhubungan satu sama
lainnya, sehingga merupakan satu kesatuan geografis, historis, ekonomi dan
politik.

34. Kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah perubahan sifat fisik dan/atau
hayati yang melampaui kriteria baku kerusakan pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil.

35. Konflik adalah setiap perselisihan yang timbul antara dua pihak atau lebih yang
berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan sumber daya dan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau kecil.

36. Konservasi ekosistem adalah daerah alami di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
yang ditujukan untuk perlindungan kesatuan ekologis dari satu atau lebih
ekosistem untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, melarang kegiatan eksploitasi
dan pendudukan yang bertolak belakang dengan tujuan penunjukkan kawasan
konservasi, dimanfaatkan untuk kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan,
pendidikan, rekreasi dan kunjungan yang kesemuanya bersifat ramah lingkungan
dan sesuai dengan budaya setempat, termasuk Taman Nasional Laut, Taman laut
Propinsi dan Kabupaten/Kota.

37. Lamun adalah sejenis tumbuhan laut berbunga yang tumbuh di dasar laut
berpasir atau bersubstrat halus yang tidak begitu dalam, dan sinar matahari masih
dapat menembus ke dasar sehingga memungkinkan tumbuhan tersebut
berfotosintesis;

38. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek fungsional;

39. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah Lembaga atau organisasi non
pemerintah yang bergerak dan beraktivitas di bidang lingkungan hidup.

40. Forum Koordinasi adalah Forum yang dibentuk untuk menangani mekanisme
koordinasi antara berbagai kepentingan stakeholders atau institusi pemerintah
yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengelolaan wilayah pesisir.

41. Lingkungan adalah suatu satuan ruang yang menggambarkan kesatuan sistem
kehidupan baik bagi aspek sosial, ekonomi maupun pemerintahan.

42. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir, seperti pohon bakau.

43. Masyarakat lokal adalah kelompok orang atau masyarakat yang mendiami desa
pantai dan menjalankan tatanan hukum, sosial dan budaya yang ditetapkan dan
ditaati oleh mereka sendiri secara turun temurun.

44. Pantai adalah luasan tanah termasuk sedimen yang membentang di sepanjang
tepian laut yang merupakan perbatasan pertemuan antara darat dengan laut,
terdiri dari sempadan pantai dan pesisir.

45. Partisipasi masyarakat adalah suatu bentuk peran serta atau keterlibatan
masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

46. Pemintakatan (Zonasi) adalah sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang, untuk menetapkan batas-batas fungsional suatu peruntukkan
(kawasan budidaya dan lindung) sesuai dengan potensi sumber daya, daya
dukung dan proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan
dalam sistem tersebut.

47. Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

48. Pengendalian pencemaran, kerusakan dan bencana pesisir adalah setiap upaya
pencegahan dan/atau mitigasi dan/atau kesiapsiagaan, dan/atau tanggap darurat,
dan/atau pemulihan dan/atau pembangunan di wilayah pesisir.

49. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah proses penyelesaian sengketa
yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.

50. Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
pesisir dan pulau kecil tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

51. Perairan Pantai adalah daerah perairan yang masih dipengaruhi oleh pasang
surut air laut.

52. Peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam
mengembangkan, mengurus dan mengelola secara komperhensif.

53. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.

54. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna sumber daya pesisir yang
mempunyai kepentingan langsung, misalnya nelayan, penyelam, dan pengusaha
perikanan.

55. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi,
mendorong atau membantu agar masyarakat pesisir mampu menentukan yang
terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir
secara lestari.

56. Perairan pesisir adalah perairan laut teritorial yang berada di wilayah Indonesia
yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal,
rawa payau, laguna dan perairan lainnya.

57. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang berada di atas
permukaan air;

58. Pulau kecil adalah kesatuan ekologis pulau dengan luas kurang atau sama
dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan
200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut
dari garis pantai.

59. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri atas
sumberdaya hayati dan nir-hayati. Sumberdaya hayati, antara lain ikan, rumput
laut, padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang, biota perairan;
sedangkan sumberdaya nir-hayati terdiri dari lahan pasir, permukaan air,
sumberdaya di airnya, dan di dasar laut seperti minyak dan gas, pasir, timah, dan
mineral lainnya;

60. Suaka perikanan merupakan kawasan perairan yang berfungsi untuk menjaga
penambahan kelimpahan dan perlindungan kawasan pemijahan ikan. Kawasan
suaka perikanan tersebut diusulkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan oleh
pemerintah.

61. Tanggap darurat adalah upaya darurat untuk mengatasi dampak akibat bencana
terutama untuk penyelamatan jiwa dan harta benda.

62. Terumbu karang adalah koloni hewan dan tumbuhan laut berukuran kecil yang
disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang
keras dan berkelompok membentuk koloni yang menyekrasikan kalsium karbonat
menjadi terumbu;

63. Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud
memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat memikat jenis-jenis
organisme laut untuk hidup dan menetap;

64. Wilayah pesisir Kabupaten/Kota adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas ke darat adalah batas wilayah administrasi
kecamatan dan ke laut sejauh 4 mil dari garis pantai.

65. Wilayah pesisir secara ekologis adalah satu kesatuan wilayah antara daratan dan
lautan yang secara ekologis mempunyai hubungan keterkaitan yang di dalamnya
termasuk ekosistem pulau kecil serta perairan di atara satu kesatuan pulau-pulau
kecil dengan batas adminitstratif seperti tersebut di atas.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Peraturan Daerah ini berlaku untuk pengelolaan pesisir dalam Wilayah Propinsi
Bengkulu, sebagaimana kewenangan yang diatur dalam ketentuan perundangundangan,
yang meliputi:

a. Wilayah daratan sampai dengan batas wilayah pesisir Kabupaten Muko-muko,
Kabupaten Bengkulu Utara, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kabupaten
Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur, serta ruang laut sampai sejauh 12
(dua belas) mil laut yang diukur mulai dari garis pantai ke Laut Lepas dan atau
ke arah Perairan Kepulauan; dan

b. Wilayah kepulauan atau pulau-pulau yang berdasarkan Undang-undang
pembentukan Propinsi Bengkulu telah menjadi bagian dari wilayah Propinsi
Bengkulu.

(2) Pengelolaan pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan secara menyeluruh
berdasarkan satu gugusan pulau;

Pasal 3

Pengelolaan wilayah pesisir yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) termasuk
pengelolaan yang dilakukan oleh swasta, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan masyarakat pesisir.


Bab III
ASAS, TUJUAN, DAN MANFAAT, SERTA SASARAN

Bagian Pertama
Asas, Tujuan, dan Manfaat

Pasal 4

Dalam pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu harus berdasarkan asas
legalitas, keadilan, demokrasi, keterpaduan, daya guna dan hasil guna, pelestarian,
dan asas kearifan lokal.

Pasal 5

Tujuan pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu meliputi:

1. Untuk menyusun dan menetapkan kerangka kerja dan prioritas pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu yang berkelanjutan;

2. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi, dan mengendalikan tindakan dari
kegiatan-kegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir;

3. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir
dalam rangka pembangunan di wilayah pesisir yang memperhatikan daya dukung
lingkungan;

4. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu antara masyarakat pesisir, pemerintah, swasta, perguruan tinggi
dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan;

5. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian mengelola sumberdaya
wilayah pesisir secara terpadu di tingkat pedesaan, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

Pasal 6

Manfaat pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu meliputi:

1. Terwujudnya rencana, penetapan dan koordinasi prioritas-prioritas pengelolaan
wilayah pesisir dalam rangka memanfaatkan secara efisien dan konsisten
kapasitas dan sumberdaya wilayah pesisir;

2. Terlindunginya wilayah-wilayah penting dari degradasi akibat pemanfaatan dan
konsumsi yang berlebihan, serta perusakan habitat;

3. Berkembangnya sumberdaya di wilayah pesisir bagi pemanfaatan ekonomi melalui
cara-cara keilmuan yang benar dan adil secara ekonomis dan ekologis;

4. Terwujudnya akuntabilitas dan manajemen dalam pengelolaan pesisir.

Bagian Kedua
Sasaran

Pasal 7

Sasaran pengelolaan wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu untuk:

1. Meningkatkan koordinasi pengambilan keputusan melalui proses antar sektor
dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan
pengelolaan wilayah pesisir;

2. Tercapainya keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya dan pelestarian
fungsi-fungsi ekologis wilayah pesisir;

3. Terakomodasinya aspirasi dan kepentingan-kepentingan masyarakat pesisir
melalui upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
secara berkelanjutan;

4. Memajukan dan mempertahankan sumberdaya perikanan pesisir melalui
pengurangan dan penghapusan kegiatan penangkapan secara merusak;

5. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan dan pelayanan kepada
masyarakat;

6. Terpenuhinya persyaratan normatif dalam sistem dan mekanisme perizinan
usaha/kegiatan pembangunan di wilayah pesisir.

Pasal 8

Untuk menjabarkan asas, melaksanakan tujuan, mencapai manfaat dan mencapai
sasaran, maka masing-masing Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi
Bengkulu menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang
pengelolaan pesisir, laut dan pulau kecil.


Bab IV
KEWENANGAN

Bagian Pertama
Kewenangan Propinsi

Pasal 9

(1) Kewenangan Propinsi dalam pengelolaan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
untuk bidang-bidang tertentu mencakup:

a. Untuk seluruh wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil:

1. Menata, memadukan perencanaan, serta mengkoordinasikan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut;

2. Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu
lingkungan hidup nasional;

3. Penetapan tata ruang Propinsi berdasarkan kesepakatan antara Propinsi
dan Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan atas pelaksanaan tata ruang;

5. Penetapan sempadan pantai baik untuk wilayah perkotaan maupun
wilayah pedesaan.

b. Di wilayah laut Propinsi:

1. Melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut;

2. Melakukan konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi;

3. Melakukan konservasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut termasuk
membuat Daerah Perlindungan Laut dan atau Suaka Sumberdaya
Perikanan;

4. Pelayanan izin usaha budidaya biota laut dan penangkapan ikan pada
perairan laut wilayah Propinsi di luar wilayah laut kewenangan
Kabupaten/Kota;

5. Melakukan koordinasi dan paduserasi perizinan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam wilayah laut Propinsi;

6. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut termasuk
sumberdaya ikan;

7. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut.

c. Yang bersifat lintas Kabupaten/Kota:

1. Pengaturan dan pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota;

2. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas
Kabupaten/Kota;

3. Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi kegiatankegiatan
yang potensial berdampak besar dan penting pada masyarakat
luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas Kabupaten/Kota;

(2) Kewenangan lainnya dari Propinsi berkenaan dengan pengelolaan pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil meliputi:

a. Kewenangan atau bagian tertentu dari kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan
kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi;

b. Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara
tegas menunjuk kewenangan tersebut sebagai kewenangan Propinsi;

c. Kewenangan dalam rangka melaksanakan tugas sebagai wilayah administrasi
dan tugas pembantuan.

(3) Pelaksanaan kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Kewenangan Kabupaten/Kota

Pasal 10

Kewenangan Kabupaten/Kota meliputi:

1. Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pengelolaan pesisir
dengan memperhatikan asas-asas dan pedoman umum dalam Peraturan
Daerah Propinsi ini;

2. Pembuatan peraturan operasional untuk melindungi sumberdaya pesisir, yang
mencakup atol, mangrove, terumbu karang dan terumbu karang buatan;

3. Pengaturan mengenai penggunaan keramba, jaring apung, dan bagan di wilayah
pesisir;

4. Kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi
lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.

Bagian Ketiga
Kewenangan Desa/Kelurahan

Pasal 11

(1) Kewenangan Desa/Kelurahan meliputi:

1. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul Desa/Kelurahan ;

2. Kewenangan pengelolaan pesisir dan laut oleh peraturan perundangperundangan
yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah,;
dan

3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengelolaan pesisir dan laut.

(2) Pelaksanaan kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Pasal 12

Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mendapatkan
informasi dan mengawasi usaha dan/atau kegiatan di luar Wilayah Propinsi Bengkulu
yang dapat memiliki dampak berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup dalam wilayah Propinsi Bengkulu.


BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Pasal 13

Pemerintah Daerah mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat terhadap
pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dalam wilayah Kabupaten Bengkulu
Utara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Pasal 14

Masyarakat memiliki hak-hak sebagai berikut:

1 Hak memperoleh nilai ekonomi tertentu atas wilayah pesisir;

2 Hak melindungi dan mempertahankan nilai ekologis tertentu atas sumberdaya
wilayah pesisir;

3 Hak memperoleh dan memberikan informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir;

4 Hak memperoleh pengetahuan berupa pendidikan dan pelatihan untuk
pengelolaan wilayah pesisir;

5 Hak untuk mengetahui dan memberikan pendapat atas setiap usaha atau
kegiatan yang akan dilakukan pihak lain sebelum pemberian izin oleh Pemerintah
Daerah.

Pasal 15

(1) Hak-hak ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 butir 1
didaftarkan menurut ketentuan pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah ini;.

(2) Pelaksanaan hak-hak ekologi sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 butir 2
didaftarkan sebagai program sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 Peraturan
Daerah ini.

Pasal 16

Masyarakat berkewajiban untuk:

1. Menjaga dan mempertahankan obyek-obyek bernilai ekonomis, ekologis dan
historis dari sumberdaya wilayah pesisir;

2. Memberikan informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir;

3. Terlibat secara aktif, partisipatif dan demokratis dalam musyawarah masyarakat
pesisir dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya
pesisir;


BAB VI
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN

Bagian Pertama
Pendaftaran Hak-hak Masyarakat Pesisir

Pasal 17

(1) Pendaftaran hak-hak ekonomi tertentu dari masyarakat pesisir untuk pengelolaan
sumberdaya alam di wilayah pesisir diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;

(2) Pemerintah Desa/Kelurahan berkewajiban menginventarisir dan melaporkan
dalam bentuk tertulis semua data kegiatan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya pesisir kepada Bupati/Walikota melalui Dinas/Instansi terkait;

Bagian Kedua
Perizinan

Pasal 18

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir, baik
oleh perorangan maupun badan hukum, wajib memperoleh izin dari pejabat
yang berwenang.

(2) Izin usaha dan atau kegiatan hanya dapat diberikan setelah dipenuhinya
persyaratan yang telah ditetapkan.

(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dicantumkan
persyaratan dan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang izin.

(4) Bentuk, jenis, dan persyaratan perizinan bagi setiap usaha dan atau kegiatan
baik oleh perorangan maupun badan hukum diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.

Bagin Ketiga
Jaminan dan Perjanjian Lingkungan

Pasal 19

(1) Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir yang akan dilakukan oleh pihak lain
selain masyarakat pesisir, harus memiliki jaminan lingkungan;

(2) Perjanjian dan jaminan lingkungan wajib dilakukan oleh pihak lain setelah
memperoleh persetujuan dari masyarakat dan Pemerintah Desa setempat;

(3) Prosedur perjanjian dan jaminan lingkungan, untuk pengelolaan Sumber Daya di
wilayah pesisir, mengikuti ketentuan dan pedoman yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah bersama Forum Koordinasi Pengelolaan Pesisir Terpadu (FKPPT),
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Daerah ini;


BAB VII
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)

Pasal 20

Lembaga Swadaya Masyarakat berperan untuk:

1. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan peran serta masyarakat pesisir
dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara bertanggung jawab;

2. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat pesisirl dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan;

3. Menumbuhkan keperdulian masyarakat pesisir untuk melakukan pengawasan dan
kontrol sosial terhadap pelaksanaan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

4. Memberikan saran, pendapat dan masukan;

5. Menyampaikan informasi dan/atau laporan yang diperlukan.


B A B VIII
PERAN PERGURUAN TINGGI

Pasal 21

Perguruan Tinggi berperan dalam hal:

1. Memberikan bantuan keilmuan dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir;

2. Membantu dan mendampingi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan sistem
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

3. Melaksanakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir melalui Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat;

4. Membantu pemerintah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan mengenai
lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisisr;

5. Menyelengarakan pendidikan, penelitian dan pelatihan dalam rangka
pengembangan sumberdaya manusia;

6. Memberikan saran, pendapat dan masukan diminta atau tidak diminta kepada
Pemerintah Daerah mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir;

7. Mengembangkan sumber data dan informasi tentang wilayah pesisir serta system
dan mekanismenya agar mudah diakses apabila diperlukan.


B A B IX
FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT TERPADU
(FKPPLT)

Bagian Pertama
Forum Koordinasi Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Propinsi

Pasal 22

(1) Dalam rangka pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu,
Gubernur membentuk Forum Koordinasi Pengelola Pesisir Terpadu, yang
independen atau dapat menunjuk badan atau instansi terkait yang sudah ada
untuk melaksanakan tugas, fungsi dan peran Forum Koordinasi dimaksud;

(2) Keanggotaan Forum yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
terdiri atas perwakilan dari dinas dan instansi terkait, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi;

(3) Struktur organisasi, tugas dan fungsi Forum yang dibentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur;

(4) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini bertanggungjawab kepada
Gubernur;

(5) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini bukan merupakan instansi
pelaksana teknis.

Bagian Kedua
Forum Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu
Kabupaten/Kota

Pasal 23

(4) Di setiap Kabupaten/Kota dibentuk Forum Koordinasi Pengelola Wilayah Pesisir
dan Laut Terpadu Kabupaten/Kota yang menjalankan tugas utama untuk
mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut di masingmasing
Kabupaten/Kota.

(5) Struktur Organisasi, tugas dan fungsi Forum Koordinasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan dan mempertimbangkan serta
memperhatikan struktur organisasi, tugas dan fungsi Forum Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 Peraturan Daerah ini.


BAB X
PENATAAN RUANG PESISIR DAN LAUT

Pasal 24

(1) Penataan ruang pesisir dan laut Daerah Propinsi dilakukan dalam bentuk
pemintakatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) Peraturan Daerah
ini dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi.

(2) Penataan ruang pesisir Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam bentuk rencana
pemintakatan dengan memperhatikan penataan ruang wilayah pesisir dan laut
Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan memperhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.


BAB XI
PERENCANAAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN PESISIR

Bagian Pertama
Umum

Pasal 25

Perencanaan dan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir disusun dan dijabarkan oleh
Pemerintah Daerah, dengan memperhatikan masukan dari LSM, Perguruan Tinggi,
Dunia Usaha, masyarakat pesisir atau perorangan.

Bagian Kedua
Perencanaan dan Program Daerah Propinsi

Pasal 26

(1) Pemerintah Propinsi menetapkan rencana dan program pengelolaan wilayah
pesisir yang menjadi kewenangan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah;

(2) Rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini sekaligus
mencakup pengelolaan di bidang ekonomi dan lingkungan hidup.

Pasal 27

(1) Rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 Peraturan Daerah
ini mencakup:

a. Rencana Strategis;

b. Rencana Pemintakatan (Zonasi);

c. Rencana Pengelolaan;

d. Rencana Aksi.

(2) Dalam dokumen rencana dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini diatur antara lain:

a. Pengakuan dan pengaturan hak-hak di bidang ekonomi dan lingkungan hidup
dari masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 berdasarkan
rekomendasi dari Forum Koordinasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22
ayat (1) Peraturan Daerah ini;

b. Penentuan wilayah kawasan Wisata Pantai dan Taman Laut yang ditetapkan
berdasarkan hasil studi kelayakan;

c. Penentuan wilayah kawasan rawan bencana yang ditetapkan berdasarkan
hasil studi kelayakan;

d. Pembentukan kawasan konservasi pesisir dan perlindungan laut di wilayah
kewenangan Daerah yang ditetapkan berdasarkan hasil studi kelayakan;

(3) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Bagian Ketiga
Perencanaan dan Program Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 28

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun rencana dan program Kabupaten/Kota,
dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada di
desa/kelurahan.

(2) Rencana dan program Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini sekaligus mencakup pengelolaan di bidang ekonomi dan lingkungan
hidup.

(3) Rencana dan program Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 29

Perencanaan dan Program dalam bidang lingkungan hidup di wilayah pesisir
kewenangan Daerah yang berasal dari prakarsa LSM, Perguruan Tinggi, masyarakat
pesisir atau perorangan disampaikan kepada Pemerintah Daerah melalui Forum
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Daerah ini.


BAB XII
PERLINDUNGAN BIOTA LAUT LANGKA

Pasal 30

Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah
Desa/kelurahan, masyarakat pesisir, dan semua pemangku kepentingan dengan
sumberdaya wilayah pesisir wajib melindungi semua biota laut langka yang menurut
daftar Pemerintah harus dilindungi, serta dilarang dengan cara dan alasan apapun
untuk menangkap, memelihara, mengurung, dan membunuh biota laut langka
dimaksud.


BAB XIII
KEWAJIBAN DAN JAMINAN LINGKUNGAN

Pasal 31

(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang hendak melakukan usaha di wilayah
pesisir wajib:

a. Menyusun AMDAL bila luasan atau lokasi yang diperlukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan harus memilikinya;

b. Membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) bila luasan atau lokasi yang diperlukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuatnya;

c. Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan masyarakat pesisir yang berdekatan
dengan Lokasi usaha tentang rencana usaha dimaksud;

d. Membuat rencana pemberdayaan masyarakat pesisir setempat;

e. Memperoleh rekomendasi dari instansi yang terkait;

(2) Pemerintah Daerah memberikan perizinan pengusahaan di wilayah pesisir setelah
dipenuhinya kewajiban dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 32

Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan usaha di wilayah pesisir wajib
memperhatikan dan melindungi lingkungan hidup dan melakukan program
pemberdayaan masyarakat lokal.

Pasal 33

(1) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 32
dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masingmasing
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana rehabilitasi lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 32 dibebankan
kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah
pesisir tersebut.


BAB XIV
PENDANAAN

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah ini sesuai dengan
perencanaan dan program yang akan dilakukan pada setiap tahun.

(2) Pendanaan untuk pengelolaan wilayah pesisir diperoleh dari berbagai sumber
antara lain retribusi, dana kompensasi dan sumber lainnya dari sektor kegiatan
dan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.


BAB XV
KERJASAMA

Bagian Pertama
Pemerintah Propinsi

Pasal 35

(1) Pemerintah Propinsi Bengkulu dapat mengadakan kerjasama dengan daerah
lain atau pihak ketiga lainnya untuk kepentingan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir dengan mempertimbangkan efisiensi,
efektivitas, dan saling menguntungkan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.

(2) Bentuk dan tata cara mengadakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.

Bagian Kedua
Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 36

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain
atau pihak ketiga lainnya untuk kepentingan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pesisir dengan mempertimbangkan efisiensi,
efektivitas, dan saling menguntungkan sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
kewenangan kabupaten/kota dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala
Daerah Kabupaten/Kota.


BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 37

(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengelolaan
wilayah pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 17, Pasal 18, Pasal 30, Pasal
31, dan Pasal 32 Peraturan Daerah ini dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah
dan Forum Koordinasi.

(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.


BAB XVII
PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Pasal 38

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak dengan cara
konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau melalui adat
istiadat/kebiasaan/kearifan lokal;

(2) Sengketa yang terjadi dalam pengelolaan di wilayah pesisir yang melibatkan
lebih dari satu Daerah Kabupaten/Kota diselesaikan melalui musyawarah mufakat
antara para pihak;

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Pasal 39

(1) Apabila tidak tercapai musyawarah mufakat dalam sengketa, maka para pihak
dapat meminta penyelesaian melalui badan yang dibentuk untuk itu, boleh
dilakukan dengan melibatkan atau tidak melibatkan pihak pemerintah propinsi;

(2) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Ketiga
GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 40

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke Pengadilan dan/atau
melaporkan kepada pihak yang berwajib mengenai berbagai masalah dalam
pengelolaan wilayah pesisir yang merugikan kepentingan masyarakat.

(2) Jika diketahui masyarakat menderita karena akibat dari pengelolaan wilayah
pesisir yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga mempengaruhi
perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang pengelolaan wilayah pesisir wajib bertindak untuk
kepentingan masyarakat dalam memproses pemberian sanksi terhadap
pelanggar.

Bagian Keempat
Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 41

(1) Penanggungjawab kegiatan yang kegiatannya menimbulkan dampak besar dan
penting berupa pencemaran dan/atau kerusakan terhadap wilayah pesisir, yang
menggunakan dan/atau menghasilkan bahan berbahaya dan beracun
bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir.

(2) Untuk menghitung jenis dan besar ganti rugi dilakukan penelitian yang
komprehensif dengan metode perhitungan secara ilmiah baku.

(3) Penanggungjawab kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan
bahwa pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir tersebut disebabkan
oleh salah satu alasan berikut:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau

b. adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan wilayah pesisir dan laut.

(4) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab membayar ganti
rugi.

Bagian Kelima
Penyelesaian Sengketa Administrasi

Pasal 42

Sengketa antara seseorang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dalam pengelolaan wilayah pesisir dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum acara administrasi dan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
yang berlaku.


BAB XVIII
PERLINDUNGAN HUKUM

Pasal 43

Pemerintah Propinsi melaksanakan perlindungan terhadap sumberdaya alam di
wilayah pesisir terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum
dengan:

a. Menyediakan sarana/prasarana yang diperlukan untuk itu;

b. Melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum sesuai dengan bidang tugas
dan kewenangannya;

c. Melakukan koordinasi dengan propinsi tetangga.

Pasal 44

Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan perlindungan sumberdaya alam setempat
dengan menegakkan sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Kabupaten/Kota yang
dibuat sesuai dengan kewenangan Kabupaten/Kota.


BAB XIX
PENYIDIKAN

Pasal 45

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai tugas melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran Peraturan Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pihak Kepolisian
Republik Indonesia.


BAB XX
KETENTUAN SANKSI

Bagian Pertama
Sanksi Administrasi

Pasal 46

Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pelanggaran hukum yang
bersifat administratif berkenaan dengan lingkungan hidup di wilayah pesisir dikenakan
sanksi berupa:

a. Peringatan secara tertulis;

b. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa;

c. Uang paksa;

d. Penutupan perusahaan atau tempat usaha;

e. Penghentian kegiatan usaha;

f. Pencabutan izin.

Bagian Kedua
Ganti Rugi dan atau Rehabilitasi

Pasal 47

Setiap orang dan/atau badan hukum melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan terhadap sumber daya pesisir yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau ekosistem pesisir mewajibkan kepada
penanggungjawab kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu (rehabilitasi) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana

Pasal 48

(1) Setiap orang dan/atau Badan Hukum yang melakukan tindak pidana sesuai
dengan Peraturan Daerah ini, diberlakukan ketentuan sanksi yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Sanksi yang ditetapkan dalam Peraturan Desa diakui termasuk sanksi adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku


BAB XXI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 49

Semua ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan Peraturan Daerah ini, harus telah
dibuat dan diundangkan dalam lembaran daerah paling lama dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.


BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 50

(1) Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, semua izin yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku izin dimaksud.

(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.


BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 51

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Bengkulu.


Ditetapkan di Bengkulu
pada tanggal

Penjabat Gubernur Bengkulu,
SEMAN WIDJOJO

Diundangkan di Bengkulu
pada tanggal
Plt.Sekretaris Daerah Propinsi Bengkulu,
FAUZAN RAHIM


Lembaran Daerah Propinsi Bengkulu Tahun 2005 Nomor


===========================================================

PENJELASAN
ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI BENGKULU
NOMOR TAHUN

TENTANG

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA
TERPADU DI PROPINSI BENGKULU


I. UMUM

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup
dan sumberdaya alam. Pelaksanaan pengelolaan ini juga terkait erat dengan berbagai
aspek pembangunan yang lebih luas yang disebutkan dalam Ketetapan MPR
No.IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, antara
lain: (1) hukum (dan hak asasi manusia), (2) ekonomi; (3) politik; (4) pendidikan; (5)
sosial dan budaya; (6) pembangunan daerah; (7) sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, dan (8) pertahanan dan keamanan; sehingga permasalahan pengelolaan
pesisir juga merupakan bagian dari permasalahan berbagai aspek pembangunan
tersebut.

Peraturan Daerah ini juga merupakan pelaksanaan pokok-pokok tertentu dari
Program-program Prioritas dalam Program Pembangunan Daerah Propinsi Bengkulu
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bengkulu, yang dimaksudkan sebagai
ketentuan payung untuk peraturan kepala daerah dan peraturan daerah
kabupaten/kota. Beberapa hal pokok dalam Peraturan Daerah ini adalah sebagai
berikut:

1. Sistem Pengelolaan Pesisir di Propinsi Bengkulu dilakukan secara terpadu.
Gagasan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu adalah suatu proses pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan jasa lingkungan yang mengintegrasikan antara
kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan horizontal dan
vertikal, ekosistem darat dan laut, ilmu pengetahuan dan manajemen, sehingga
pengelolaan sumberdaya tersebut bekerlanjutan dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Pesisir Terpadu).

Pengelolaan wilayah Pesisir di Propinsi Bengkulu merupakan suatu proses
pengelolaan sumberdaya pesisir melalui desentralisasi pengelolaan sumberdaya,
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir dalam penggunaan
sumberdaya tersebut.

Tujuan perlindungan lingkungan hidup dari Sistem Pengelolaan Pesisir Terpadu
adalah pemanfaatan sumberdaya alam pesisir secara berkelanjutan, sedangkan
sebagai program yang mendapatkan perhatian khusus adalah pengelolaan pesisir
yang muncul dari kehendak masyarakat pesisir, antara lain dengan menentukan
sendiri Daerah Perlindungan Laut di lokasi mereka.

2. Dari gunung-gunung, hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, daerah-daerah
sekitar dan sepanjang garis pantai sampai menuju ke arah laut lepas, merupakan
satu ekosistem.

Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme
lainnya serta interaksi fungsional antar mereka, maupun dengan lingkungannya,
seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang,
ekosistem padang lamun. Pengelolaan ekosistem daerah-daerah sekitar dan
sepanjang garis pantai semata-mata, tanpa adanya perhatian terhadap gununggunung
hilir sungai, daerah-daerah aliran sungai, laut sampai menuju ke arah laut
lepas, tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Ini karena wilayah pesisir
adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi,
serta saling mempengaruhi. Dengan demikian, semua daerah tersebut
seharusnya dipandang sebagai satu ekosistem dan semuanya perlu
mendapatkan perhatian.

Peraturan Derah Propinsi Bengkulu ini memiliki keterbatasan. Pertama, tidak
dapat sekaligus mengatur semua daerah tersebut, dan kedua, keterbatasan
yuridis wilayah berlakunya suatu Peraturan Daerah Propinsi. Keterbatasan
pertama perlu diatasi dengan pembentukan Peraturan Daerah lainnya yang akan
menjadi suatu matarantai peraturan dengan Peraturan Daerah ini, sedangkan
keterbatasan kedua perlu diatasi antara lain dengan mengadakan analogi
terhadap ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan
Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dengan menggunakan analogi terhadap ketentuan tersebut, maka sekalipun
Daerah Propinsi Bengkulu tidak memiliki wewenang pengelolaan terhadap
wilayah di luar wilayah Propinsi Bengkulu tetapi memiliki kewenangan untuk
mengetahui dan mengawasi aktivitas yang dapat memiliki dampak terhadap
Daerah Propinsi Bengkulu.

3. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan ekologi dalam pengambilan
keputusan.

Tiap keputusan pembangunan harus memperhatikan keterpaduan antara
pertimbangan ekonomi dengan ekologi. Pembangunan yang mengabaikan
pertimbangan ekologi hanya mendatangkan manfaat ekonomi jangka pendek tapi
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kerugian ekonomi dalam jangka
panjang, karena biaya pemulihan yang harus ditanggung di masa depan. Di masa
sekarang pun, dalam tiap perhitungan manfaat pembangunan sudah seharusnya
dimasukkan perhitungan akuntansi sumberdaya alam, yang mencakup antara lain
apa dan siapa yang dirugikan, berapa besar kerugian dan rencana rehabilitasi.
Tanpa perhitungan ini maka manfaat ekonomi di masa sekarang sebenarnya
tidak sebesar yang kelihatan karena di dalamnya tersirat kerugian yang harus
ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat di kemudian hari.

Sebaliknya, perlindungan lingkungan hidup tidak berarti menutup pembangunan
ekonomi; kecuali untuk lokasi-lokasi tertentu yang ditetapkan sebagai daerah
perlindungan terakhir. Pembangunan tetap diperlukan oleh negara, daerah dan
masyarakat itu sendiri, dengan memperhatikan adanya syarat-syarat tertentu.
Selain itu pembangunan yang langsung untuk kepentingan dan fasilitas umum
seperti pembangunan pelabuhan penumpang internasional, nasional dan
regional, merupakan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Pemberdayaan masyarakat benar-benar diberikan arti dan konsekuensi praktis.

Pemberdayaan masyarakat hanya akan mencapai hasil yang diharapkan apabila
benar-benar diambil langkah-langkah praktis, yang mencakup antara lain:

a. desentralisasi pengelolaan sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat
setempat, antara lain dengan pemberian hak pengelolaan sumberdaya alam
kepada masyarakat pesisir;

b. adanya pemberian partisipasi aktif pada masyarakat mengenai penggunaan
sumberdaya tersebut, antara lain dengan adanya wakil masyarakat dalam
forum koordinasi pengelolaan pesisir;

c. hak masyarakat pesisir sebagai kesatuan untuk memberikan persetujuan atau
menolak rencana pembangunan di wilayahnya;

d. tanggungjawab sosial pengusaha untuk rencana pemberdayaan masyarakat
pesisir.

5. Kedudukan Peraturan Daerah ini terutama untuk memberikan pedoman dalam
pengelolaan Pesisir secara Terpadu dengan basis utamanya yaitu masyarakat
pesisir. Oleh karena itu Peraturan daerah ini tidak merupakan peraturan yang
menyangkut retribusi, tetapi merupakan Peraturan Daerah Terpadu antar instansi
terkait.

6. Pembentukan Peraturan Daerah ini dilakukan dengan memperhatikan batasbatas
kewenangan Propinsi berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dilakukan oleh swasta, harus
berdasarkan izin dari Pemerintah Daerah. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi hanya dilakukan sejauh menyangkut
kepentingan penelitian. Sedangkan Pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
dilakukan oleh LSM hanya sebagai advisor ataupun membangkitkan kerjasama
antara masyarakat dan pihak terkait.

Pasal 4
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Propinsi Bengkulu harus
berdasarkan asas:

1. Asas Legalitas yaitu bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan dalam rangka
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dapat memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi semua komponen
masyarakat terkait.

2. Asas Keadilan, yaitu bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
bertujuan untuk membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan sehingga
masyarakat memiliki akses yang adil dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Asas demokrasi yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau
kecil harus bersifat partisipatif dan transparan serta mengakomodir
kepentingan arus bawah.

4. Asas Keterpaduan yang meliputi:
a. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan pertimbangan ekologi;
b. Keterpaduan antara ekosistem darat dengan ekosistem laut;
c. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen;
d. Keterpaduan perencanaan sektor secara horizontal, dengan
mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan dari sektor dan instansi
terkait;
e. Keterpaduan perencanaan secara vertikal, dengan mengintegrasikan
kebijakan dan perencanaan dari level pemerintahan yang berbeda, seperti
pusat, propinsi dan kabupaten/kota;
f. Keterpaduan dalam pemanfaatan sumber daya antar pemangku
kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat.;
g. Keterpaduan antar daerah dalam pengelolaan di wilayah pesisir dan laut
yang bertetangga;
h. Keterpaduan dalam pengendalian pemanfaatan sumber daya pada
Wilayah Pesisir dan laut.

5. Asas Daya guna dan hasil guna yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus senantiasa diarahkan pada sasaran yang
tepat dan pemberian kemanfaatan bagi semua pihak.

6. Asas Pelestarian yaitu tiap kegiatan yang dijalankan harus sehingga
pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya mempertimbangkan pelestarian
sumberdaya yang ada;

7. Asas Pelestarian dan Keberlanjutan yaitu bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus memperhatikan pemulihan fungsi
ekosistem, sehingga disamping mampu memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri;

8. Asas Kearifan lokal yaitu pengakuan terhadap kearifan tradisional masyarakat
lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu penerimaan oleh
pemerintah tentang kenyataan adanya ketentuan-ketentuan memelihara
lingkungan alam sekitar oleh kelompok masyarakat yang telah dijalani turuntemurun
dan telah menunjukkan adanya manfaat yang diterima masyarakat
maupun lingkungan dalam pengelolaan sumber daya pesisir.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Kewenangan-kewenangan ini merupakan kewenangan Daerah Propinsi
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berperan untuk memberikan
pedoman berkenaan dengan segi kelembagaan dan asas-asas pengelolaan
bagi kabupaten/kota.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ketentuan ini merupakan analogi dan penjabaran lebih lanjut terhadap
ketentuan Pasal 4 huruf f Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana disebutkan sebagai salah satu
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terlindunginya Negara Kesatuan
Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Butir 1 s.d. 4
Cukup jelas
Butir 5
Dasar sosiologis ketentuan ini adalah karena masyarakat pesisir yang
pertama-tama dan langsung terkena dampak kegiatan di pesisir.
Dasar yuridis ketentuan ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Ordonansi
Gangguan (Hinderordonnantie, Staatsblad 1926 226) yang menentukan
bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditentukan tempat-tempat di mana
dilarang mendirikan tempat bekerja tanpa izin di luar daripada yang sudah
ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Hinderordonnantie.

Pada Pasal 6 ayat (2) angka II Ordonansi Gangguan ditentukan bahwa
keberatan-keberatan yang dapat menyebabkan ditolaknya permintaan izin
untuk mendirikan bangunan adalah keberatan-keberatan yang disebabkan
karena kuatir akan terjadi: (a) bahaya; (b) kerusakan harta milik, perusahaan
atau kesehatan; (c) gangguan yang berat. Untuk jaminan kepastian hukum
yang lebih baik bagi para calon penanam modal, maka dalam Peraturan
Daerah Kabupaten ini diberikan ketentuan bahwa sebelum pemberian izin oleh
pejabat yang berwenang terlebih dahulu harus telah ada persetujuan dari
masyarakat lokal sebagai kesatuan.

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Proses pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1 Sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dalam hal terdapat praktek
dan kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang telah
dilakukan secara turun temurun, harus diberitahukan dan dilaporkan secara
tertulis oleh Pemerintah Desa kepada Bupati/Walikota melalui Dinas Kelautan
dan Perikanan;

2 Proses pengakuan praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
pesisir dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir adalah sebagai
berikut:
a. Pemuka-pemuka adat dari kelompok masyarakat setempat mengumpulkan
dan menyajikan bukti kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan
dan Perikanan bahwa masyarakat senantiasa menjalankan praktek-praktek
tersebut secara teratur dan turun-temurun;
b. Dinas Kelautan dan Perikanan bersama dengan Forum Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu sebagaimana dimaksud pada Bab
VIII Peraturan Daerah ini, melakukan peninjauan atas bukti tersebut untuk
menyusun rancangan Keputusan Kepala Daerah masing-masing;
c. Bupati/Walikota menetapkan Keputusan, setelah melalui proses partisipasi
masyarakat atas rancangan Keputusan Kepala Daerah dimaksud.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Pembentukan Forum Koordinasi dimaksudkan sebagai wadah bagi
pemerintah daerah atau dinas instansi terkait dengan pengelolaan wilayah
pesisir, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, perguruan tinggi, dan
pihak pemangku kepentingan lainnya, agar dalam pengelolaan wilayah pesisir
terutama dalam pemanfaatan sumber daya pesisir tidak menimbulkan dampak
negative bagi sumber daya dan lingkungan hidup wilayah pesisir.
Struktur dan jumlah keanggotaan Forum Koordinasi sesuai dengan keperluan.
Struktur dan keanggotaan Forum Koordinasi Propinsi dan masa keanggotaan
ditetapkan dengan Keputusan Kepala daerah.
LSM yang menjadi Anggota Forum hanya LSM yang mewakili kepentingan
lingkungan hidup. Anggota Forum dari unsur dunia usaha harus dari kalangan
dan mewakili kepentingan dari dunia usaha. Sedangkan anggota Forum dari
kalangan perguruan tinggi harus mewakili berbagai disiplin ilmu (ahli kelautan
dan perikanan, ahli ekonomi pembangunan, hukum lingkungan).
Tugas dan fungsi Forum Kooordinasi diatur dan ditetapkan secara rinci dan
jelas dengan sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya lembaga
dimaksud.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Gubernur menetapkan peraturan mengenai norma , standar, dan pedoman
penyusunan dan penetapan rencana strategis, rencana zonasi, rencana
pengelolaan, dan rencana aksi dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir yang
menjadi kewenangan Propinsi Bengkulu.

Pasal 27
Ayat (1)
Rencana pengelolaan Wilayah Pesisir, laut dan Pulau-pulau Kecil di Propinsi
Bengkulu secara rinci dituangkan dalam dokumen yang terdiri atas
Dokumen Rencana Strategis, Dokumen Rencana Pemintakatan (Zonasi),
Dokumen Rencana Pengelolaan, Dokumen Rencana Aksi.
Butir a
Dalam dokumen Rencana Strategis memuat visi, misi, tujuan, sasaran
dan strategi yang telah disepakati bersama dari segenap pihak terkait
dan memberikan landasan yang konsisten untuk penyusunan rencana
zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi. Selain itu Rencana
Strategis merupakan sarana dalam mencapai tujuan pengelolaan
wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam Program Pembangunan
Daerah (PROPEDA).
Butir b
Dalam dokumen rencana pemintakatan (zonasi) perlu diperhatikan
peraturan tentang zonasi wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan
pengusahaan pasir laut, antara lain Keppres No. 33 Tahun 2002 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut dan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.33/Men/2002
tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Pengusahaan
Pasir Laut.
Selain itu juga harus diperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Bengkulu.
Butir c
Dalam dokumen Rencana Pengelolaan harus memuat prosedur,
tanggungjawab dan koordinasi dalam pengambilan keputusan berbagai
lembaga/instansi pemerintah.
Butir d
Dalam dokumen Rencana Aksi harus memuat masalah-masalah yang
harus ditanggulangi beserta tujuan, sasaran, strategi dan kegiatan yang
akan dilaksanakan, termasuk rencana pendanaan dan sumber
dananya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH
dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, yang
menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan kemungkinan dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Butir a
Untuk perlindungan sumberdaya alam di wilayah laut dari 1 sampai dengan 4
mil laut terhadap eksploitasi dan eksplorasi yang bersifat melawan hukum
seperti pencurian ikan, Pemerintah Daerah perlu menyediakan
sarana/prasarana perlindungan di wilayah laut.
Butir b-c
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
f. Memanggil orang ahli untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. Mendatangkan orang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
Penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik
memberitahukan kepada Penuntut Umum, Tersangka atau keluarganya;
i. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara setiap tindakan dalam hal:
a. Pemeriksaan Tersangka;
b. Memasuki rumah;
c. Penyitaan barang;
d. Pemeriksaan saksi;
e. Pemeriksaan tempat kejadian.

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI BENGKULU NOMOR