Tuesday, March 27, 2007

RUU Penataan Ruang tgl 21 Maret 2007 (2) Penjelasan

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENATAAN RUANG

I. UMUM

1. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang
terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang
terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk
mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, Undang-
Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan bahwa
negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan
wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh
setiap orang.

2. Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat
strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun
internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat
khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang
merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi
bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai sangat
strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan
bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan
bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan
penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara
komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan
efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan
hidup.

3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya
ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-
Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini
harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses
perencanaan tata ruang wilayah.

4. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal
batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional,
serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata,
luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi
menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah,
antarsektor, dan antarpemangku kepentingan. Dalam Undang-
Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif
tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah
provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap
wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut
batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat
sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan
dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang
apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong ke arah
adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta
ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan
penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara
khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya
ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut
besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil,
kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar,
kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan
ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan,
khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang
saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan
dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi,
merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata
ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan
alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan
lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan
ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau
pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada 1 (satu)
atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan
agropolitan.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi
terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna,
dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada setiap
jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh yang
sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan,
keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan
keamanan lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis
nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi,
sosial, budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk
penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang
bersangkutan.

5. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang
satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna
serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan
ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti
akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena
pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem
yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem
wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan
penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem
keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya
suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada
tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan
ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan
rencana tata ruang.

6. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan
wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci
tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai strategis
kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan
substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan
subblok peruntukan. Penyusunan rencana rinci tersebut
dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata
ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut
menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan
ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai
dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata
ruang.

7. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan
ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan
ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang
diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin,
dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana kurungan/penjara,
dan/atau sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif
tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak,
pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur),
pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan
pemberian penghargaan.
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang
tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara lain
dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan
penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan penalti.
Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya
pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai
perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Dalam Undang-Undang ini pengenaan sanksi tidak hanya
diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan
pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, sebagai dasar pengaturan penataan ruang selama ini,
pada dasarnya telah memberikan andil yang cukup besar
dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga hampir semua
pemerintah daerah telah memiliki rencana tata ruang wilayah.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, beberapa pertimbangan yang telah diuraikan
sebelumnya, dan dirasakan adanya penurunan kualitas ruang
pada sebagian besar wilayah menuntut perubahan pengaturan
dalam Undang-Undang tersebut.
Beberapa perkembangan tersebut antara lain (i) situasi
nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan dalam
rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik; (ii)
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan
wewenang yang semakin besar kepada pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga pelaksanaan
kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian
dan keterpaduan antardaerah, serta tidak menimbulkan
kesenjangan antardaerah; dan (iii) kesadaran dan pemahaman
masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang
yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang agar sesuai dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dan untuk
mengantisipasi kompleksitas perkembangan permasalahan
dalam penataan ruang, perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Penataan Ruang yang baru sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

9. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan
ruang tersebut, Undang-Undang ini, antara lain, memuat
ketentuan pokok sebagai berikut:
a. pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk
memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-
masing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
b. pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui
penetapan peraturan perundang-undangan termasuk
pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan
penyelenggaraan penataan ruang;
c. pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan
ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang yang mencakup
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat
pemerintahan;
e. pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan
terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan;
f. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat
dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
g. penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah
maupun antarpemangku kepentingan lain secara
bermartabat;
h. penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai
negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan
yang dilakukan;
i. ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai
dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan
penataan ruang; dan
j. ketentuan peralihan yang mengatur keharusan
penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga)
tahun untuk penyesuaian.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "keterpaduan" adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas
wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan" adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara
struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara
kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara
kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keberlanjutan" adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin
kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan
generasi mendatang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan" adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan
sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin
terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "keterbukaan" adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses
yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kebersamaan dan kemitraan" adalah
bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pelindungan kepentingan umum"
adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "kepastian hukum dan keadilan"
adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta
melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil
dengan jaminan kepastian hukum.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "akuntabilitas" adalah bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan "aman" adalah situasi masyarakat
dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi
dari berbagai ancaman.
Yang dimaksud dengan "nyaman" adalah keadaan masyarakat
dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya
dalam suasana yang tenang dan damai.
Yang dimaksud dengan "produktif" adalah proses produksi dan
distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan
nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat,
sekaligus meningkatkan daya saing.
Yang dimaksud dengan "berkelanjutan" adalah kondisi
kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan
orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya
alam tak terbarukan.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Penataan ruang berdasarkan sistem wilayah merupakan
pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai
jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
Penataan ruang berdasarkan sistem internal perkotaan
merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang
mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan
perkotaan.
Ayat (2)
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
merupakan komponen dalam penataan ruang baik yang
dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan
kawasan, maupun nilai strategis kawasan.
Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:
a. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan
bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
b. kawasan perlindungan setempat, antara lain,
sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;
c. kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain,
kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan
perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau,
taman nasional, taman hutan raya, taman wisata
alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
d. kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan
rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa
bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan
gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan
e. kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar
biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah,
kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.
Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan
peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan
rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan
peruntukan perikanan, kawasan peruntukan
pertambangan, kawasan peruntukan permukiman,
kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan
pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan
pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perkotaan meliputi
tempat permukiman perkotaan serta tempat pemusatan
dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian, seperti
kegiatan pelayanan jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perdesaan meliputi
tempat permukiman perdesaan, kegiatan pertanian,
kegiatan terkait pengelolaan tumbuhan alami, kegiatan
pengelolaan sumber daya alam, kegiatan pemerintahan,
kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Ayat (5)
Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya
berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar
terhadap:
a. tata ruang di wilayah sekitarnya;
b. kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di
bidang lainnya; dan/atau
c. peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jenis kawasan strategis, antara lain, adalah kawasan
strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan
keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya,
pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi, serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan
pertahanan dan keamanan, antara lain, adalah kawasan
perbatasan negara, termasuk pulau kecil terdepan, dan
kawasan latihan militer.
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan
pertumbuhan ekonomi, antara lain, adalah kawasan
metropolitan, kawasan ekonomi khusus, kawasan
pengembangan ekonomi terpadu, kawasan tertinggal, serta
kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan
sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasan adat
tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk
warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, seperti
Kompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi
Prambanan.
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan
pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi, antara lain, adalah kawasan pertambangan minyak
dan gas bumi termasuk pertambangan minyak dan gas
bumi lepas pantai, serta kawasan yang menjadi lokasi
instalasi tenaga nuklir.
Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan
fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain,
adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan
hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan
dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional
Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo.
Nilai strategis kawasan tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota diukur berdasarkan aspek eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud "komplementer" adalah bahwa penataan
ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi,
dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling
melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hak yang dimiliki orang mencakup pula hak yang dimiliki
masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan
negara lain sehingga terdapat aspek hubungan
antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah.
Yang termasuk kerja sama penataan ruang
antarnegara adalah kerja sama penataan ruang di
kawasan perbatasan negara.
Pemberian wewenang kepada Pemerintah dalam
memfasilitasi kerja sama penataan ruang
antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama
penataan ruang memberikan manfaat yang optimal
bagi seluruh provinsi yang bekerja sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan Pemerintah dalam pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
nasional mencakup aspek yang terkait dengan nilai
strategis yang menjadi dasar penetapan kawasan strategis.
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota tetap memiliki kewenangan dalam
penyelenggaraan aspek yang tidak terkait dengan nilai
strategis yang menjadi dasar penetapan kawasan strategis.
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
dekonsentrasi diberikan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah di daerah, sedangkan tugas pembantuan dapat
diberikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pedoman bidang penataan
ruang" adalah mencakup pula norma, standar, dan
manual dalam bidang penataan ruang.
Yang termasuk standar bidang penataan ruang adalah
ketentuan teknis sebagai acuan dalam pelaksanaan
penataan ruang.
Yang termasuk manual bidang penataan ruang adalah
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sebagai acuan
operasional dalam pelaksanaan penataan ruang.
Ayat (6)
Huruf a
Penyebarluasan informasi dilakukan antara lain
melalui media elektronik, media cetak, dan media
komunikasi lain, sebagai bentuk perwujudan asas
keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Huruf b
Standar pelayanan minimal merupakan hak dan
kewajiban penerima dan pemberi layanan yang
disusun sebagai alat Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan
dasar kepada masyarakat secara merata.
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
disusun oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk
seluruh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota untuk menjamin mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata
dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemberian wewenang kepada pemerintah daerah
provinsi dalam memfasilitasi kerja sama penataan
ruang antarkabupaten/kota dimaksudkan agar kerja
sama penataan ruang memberikan manfaat yang
optimal bagi kabupaten/kota yang bekerja sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi mencakup aspek yang terkait
dengan nilai strategis yang menjadi dasar penetapan
kawasan strategis. Pemerintah daerah kabupaten/kota
tetap memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan aspek
yang tidak terkait dengan nilai strategis yang menjadi
dasar penetapan kawasan strategis.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "dapat menyusun petunjuk
pelaksanaan" adalah bahwa penyusunan petunjuk
pelaksanaan oleh pemerintah daerah provinsi disesuaikan
kebutuhan dengan memperhatikan karakteristik daerah.
Petunjuk pelaksanaan dimaksud merupakan penjabaran
dari pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan
oleh Pemerintah.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh jenis pelayanan minimal dalam perencanaan
tata ruang wilayah provinsi antara lain adalah
keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan
rencana tata ruang wilayah provinsi; sedangkan
mutu pelayanannya dinyatakan dengan frekuensi
keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan
tata ruang wilayah provinsi.
Ayat (7)
Langkah penyelesaian yang diambil Pemerintah
mencakup pula pembinaan kepada pemerintah provinsi,
agar mampu memenuhi standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang. Upaya pembinaan tersebut dapat
berupa bantuan teknis untuk memenuhi standar
pelayanan minimal yang tidak dipenuhi pemerintah
daerah provinsi.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh jenis pelayanan dalam perencanaan tata
ruang wilayah kabupaten/kota, antara lain, adalah
keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
sedangkan mutu pelayanannya dinyatakan dengan
frekuensi keikutsertaan masyarakat dalam proses
perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Ayat (6)
Pemerintah daerah provinsi mengambil langkah
penyelesaian dalam bentuk pemenuhan standar
pelayanan minimal apabila setelah melakukan
pembinaan, pemerintah daerah kabupaten/kota belum
juga dapat meningkatkan kinerjanya dalam
penyelenggaraan penataan ruang tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan bidang
otonomi daerah.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
sosialisasi pedoman bidang penataan ruang
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
kepada aparat pemerintah, masyarakat, dan
pemangku kepentingan lainnya, tentang substansi
peraturan perundang-undangan dan pedoman
bidang penataan ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pendidikan dan pelatihan dimaksudkan, antara lain,
untuk meningkatkan kemampuan aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang termasuk upaya pengembangan kesadaran dan
tanggung jawab masyarakat adalah menumbuhkan
dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat, yang diharapkan akan meningkatkan
peran masyarakat dalam penyelenggaran penataan
ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran
rencana umum tata ruang yang dapat berupa
rencana tata ruang kawasan strategis yang
penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana
tata ruang wilayah.
Rencana rinci tata ruang merupakan operasionalisasi
rencana umum tata ruang yang dalam
pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi
masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat
disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan
yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan
zonasi.
Ayat (2)
Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah
administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur
pemanfaatan ruang dibagi sesuai dengan pembagian
administrasi pemerintahan
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Secara administrasi pemerintahan, rencana tata
ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang
wilayah kota memiliki kedudukan yang setara.
Ayat (3)
Huruf a
Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana
tata ruang kawasan strategis nasional merupakan
rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Huruf b
Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi
merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang
wilayah provinsi.
Huruf c
Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan
rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota
merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat
dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman
pengaturan dan skala peta dalam rencana tata
ruang. Perencanaan tata ruang yang mencakup
wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat
ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta
yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam
penerapannya masih diperlukan perencanaan yang
lebih rinci.
Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup
wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan
dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi,
rencana rinci tidak diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 15
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional mencakup pula
rencana pemanfaatan sumber daya alam di zona ekonomi
eksklusif Indonesia.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah
kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan
sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan
maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal
perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan
kegiatan perkotaan.
Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem
jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem
persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber
daya air.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas
daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah
Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang
tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang
bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan
gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi,
sedimentasi, serta kekurangan air.
Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi
daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi,
jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak
sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus
terdistribusi secara merata pada setiap wilayah
administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai.
Ayat (6)
Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan
dan sinergi antarwilayah, yaitu wilayah nasional, wilayah
provinsi, dan wilayah kabupaten/kota.
Keterkaitan antarfungsi kawasan merupakan wujud
keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain,
meliputi keterkaitan antara kawasan lindung dan kawasan
budi daya.
Keterkaitan antarkegiatan kawasan merupakan wujud
keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain,
meliputi keterkaitan antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan.
Ayat (7)
Rencana tata ruang untuk fungsi pertahanan dan
keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan
pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait
dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan
sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan negara.
Rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi
pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana
tata ruang wilayah mengandung pengertian bahwa
penataan ruang kawasan pertahanan dan keamanan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
keseluruhan penataan ruang wilayah.

Pasal 18
Ayat (1)
Persetujuan substansi dari Menteri dimaksudkan agar
peraturan daerah tentang rencana tata ruang mengacu
pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci tata ruang
mengacu pada rencana umum tata ruang. Selain itu,
persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin
kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan maupun
dengan pedoman bidang penataan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan penataan ruang wilayah nasional
mencerminkan keterpaduan pembangunan
antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku
kepentingan.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
nasional merupakan landasan bagi pembangunan
nasional yang memanfaatkan ruang.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data
dan informasi, serta pembiayaan pembangunan.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah
nasional, antara lain, dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing nasional dalam
menghadapi tantangan global, serta mewujudkan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Huruf b
Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan
perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki
yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat
kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala
lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan
dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang
tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki
kegiatan dan kebutuhan pelayanan.
Jaringan prasarana utama merupakan sistem primer
yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk
melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi
sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi
dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan
sistem jaringan sumber daya air.
Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang
direncanakan adalah jaringan transportasi untuk
menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan
hukum internasional.
Huruf c
Pola ruang wilayah nasional merupakan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah nasional, baik untuk
pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi
daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau
dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya
guna dan berhasil guna dalam mendukung
pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Kawasan lindung nasional, antara lain, adalah
kawasan lindung yang secara ekologis merupakan
satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah
provinsi, kawasan lindung yang memberikan
pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang
terletak di wilayah provinsi lain, kawasan lindung
yang dimaksudkan untuk melindungi warisan
kebudayaan nasional, kawasan hulu daerah aliran
sungai suatu bendungan atau waduk, dan kawasan-
kawasan lindung lain yang menurut peraturan
perundang-undangan pengelolaannya merupakan
kewenangan Pemerintah.
Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang
tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan
ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan
budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi
dampak dari bencana alam.
Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis
nasional, antara lain, adalah kawasan yang
dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan
dan keamanan nasional, kawasan industri strategis,
kawasan pertambangan sumber daya alam strategis,
kawasan perkotaan metropolitan, dan kawasan-
kawasan budi daya lain yang menurut peraturan
perundang-undangan perizinan dan/atau
pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah.
Huruf d
Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah
kawasan yang menurut peraturan perundang-
undangan ditetapkan sebagai kawasan khusus.
Huruf e
Indikasi program utama merupakan petunjuk yang
memuat usulan program utama, perkiraan
pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana,
dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata
ruang. Indikasi program utama merupakan acuan
utama dalam penyusunan program pemanfaatan
ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian
tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam
menyusun rencana strategis beserta besaran
investasi. Indikasi program utama lima tahunan
disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh)
tahun.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi
instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta
masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan
memanfaatkan ruang dalam menyusun program
pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang.
Ayat (3)
Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang
merupakan matra spasial dari rencana pembangunan
jangka panjang.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata
ruang berakhir, dalam penyusunan rencana tata ruang
yang baru, hak yang telah dimiliki orang yang jangka
waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap
diakui.
Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya
untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan
kebutuhan pembangunan yang memperhatikan
perkembangan lingkungan strategis dan dinamika
internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
a. perlu dilakukan revisi karena ada perubahan
kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan
ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau
keadaan yang bersifat mendasar; atau
b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada
perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi
dan keadaan yang bersifat mendasar.
Ayat (5)
Keadaan yang bersifat mendasar, antara lain, berkaitan
dengan bencana alam skala besar, perkembangan
ekonomi, perubahan batas teritorial negara yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dilakukan bukan untuk pemutihan
penyimpangan pemanfaatan ruang.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan
arahan pewujudan sistem perkotaan dalam wilayah
provinsi dan jaringan prasarana wilayah provinsi
yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah
provinsi selain untuk melayani kegiatan skala
provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi,
sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem
jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber
daya air, termasuk seluruh daerah hulu
bendungan/waduk dari daerah aliran sungai.
Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi
digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah
provinsi dan peletakan jaringan prasarana wilayah
yang menurut peraturan perundang-undangan
pengembangan dan pengelolaannya merupakan
kewenangan pemerintah daerah provinsi dengan
sepenuhnya memperhatikan struktur ruang yang
telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Rencana struktur ruang wilayah provinsi memuat
rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Huruf c
Pola ruang wilayah provinsi merupakan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah provinsi, baik untuk
pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi
daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang
akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
mendukung pencapaian tujuan pembangunan
provinsi apabila dikelola oleh pemerintah daerah
provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan pola
ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung
yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang
terletak lebih dari satu wilayah kabupaten/kota,
kawasan lindung yang memberikan pelindungan
terhadap kawasan bawahannya yang terletak di
wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan
lindung lain yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan pengelolaannya merupakan
kewenangan pemerintah daerah provinsi.
Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis
provinsi merupakan kawasan budi daya yang
dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian
pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan
perundang-undangan perizinan dan/atau
pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah
daerah provinsi.
Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis
provinsi dapat berupa kawasan permukiman,
kawasan kehutanan, kawasan pertanian, kawasan
pertambangan, kawasan perindustrian, dan kawasan
pariwisata.
Rencana pola ruang wilayah Kabupaten memuat
rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Indikasi program utama adalah petunjuk yang
memuat usulan program utama, perkiraan
pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana,
dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata
ruang. Indikasi program utama merupakan acuan
utama dalam penyusunan program pemanfaatan
ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian
tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam
menyusun rencana strategis beserta besaran
investasi. Indikasi program utama lima tahunan
disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh)
tahun.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi
instansi pemerintah daerah serta masyarakat untuk
mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam
menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain
itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan
rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang.
Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana
pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana
pembangunan jangka menengah provinsi merupakan
kebijakan daerah yang saling mengacu.
Ayat (3)
Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang
merupakan matra spasial dari rencana pembangunan
jangka panjang daerah.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata
ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata
ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang
jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata
ruang tetap diakui.
Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya
untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan
kebutuhan pembangunan yang memperhatikan
perkembangan lingkungan strategis dan dinamika
internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah
provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
a. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan
kebijakan dan strategi nasional yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan/atau terjadi
dinamika internal provinsi yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar; atau
b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada
perubahan kebijakan dan strategi nasional dan tidak
terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar.
Dinamika internal provinsi yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar, antara
lain, berkaitan dengan bencana alam skala besar dan
pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari
20 (dua puluh) tahun dilakukan apabila terjadi
perubahan kebijakan nasional dan strategi yang
mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau
dinamika internal provinsi yang tidak mengubah
kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah
nasional.
Peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah
provinsi dilakukan bukan untuk pemutihan
penyimpangan pemanfaatan ruang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daya dukung dan daya tampung wilayah kabupaten
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
bidang lingkungan hidup.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan
gambaran sistem perkotaan wilayah kabupaten dan
jaringan prasarana wilayah kabupaten yang
dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah
kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala
kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi,
sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air,
termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau
waduk dari daerah aliran sungai. Dalam rencana tata
ruang wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat
kegiatan wilayah kabupaten dan perletakan jaringan
prasarana wilayah yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan pengembangan dan
pengelolaannya merupakan kewenangan demerintah
daerah kabupaten.
Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memuat
rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana
tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan
wilayah kabupaten yang bersangkutan.
Huruf c
Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk
pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi
daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi.
Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan
sepenuhnya memperhatikan pola ruang wilayah yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi.
Rencana pola ruang wilayah Kabupaten memuat
rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah
kabupaten yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman
bagi Pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan
pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam
menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus
menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan
pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam
pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah kabupaten.
Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan
bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang
dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang
untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat
berbentuk kawasan agropolitan.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana
pembangunan jangka panjang daerah merupakan
kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan
rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada
rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu
juga sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya
untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan
kebutuhan pembangunan yang memperhatikan
perkembangan lingkungan strategis dan dinamika
internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai
berikut:
a. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan
kebijakan dan strategi nasional dan/atau provinsi
yang mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten dan/atau terjadi dinamika internal
kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang
kabupaten secara mendasar; atau
b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada
perubahan kebijakan dan strategi nasional dan/atau
provinsi dan tidak terjadi dinamika internal
kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang
kabupaten secara mendasar.
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 10
(sepuluh) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan
ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten yang
bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang
mendasar sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional dan/atau rencana tata ruang
wilayah provinsi dan dinamika pembangunan di wilayah
kabupaten yang bersangkutan.
Peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah
kabupaten dilakukan bukan untuk pemutihan
penyimpangan pemanfaatan ruang.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Pemberlakuan secara mutatis-mutandis dimaksudkan bahwa
ketentuan mengenai perencanaan tata ruang wilayah
kabupaten berlaku pula dalam perencanaan tata ruang
wilayah kota.

Pasal 29
Ayat (1)
Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka
hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah
kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat
secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik,
antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman
umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan
pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara
lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Ayat (2)
Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran
minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara
bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota.
Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang
terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan
swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas
bangunan gedung miliknya.
Ayat (3)
Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20
(dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah
daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka
hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya
sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas
oleh masyarakat.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Ayat (1)
Pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan
aktivitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan
rencana tata ruang.
Penyusunan program pemanfaatan ruang dilakukan
berdasarkan indikasi program yang tertuang dalam
rencana tata ruang dengan dilengkapi perkiraan
pembiayaan.
Ayat (2)
Pemanfaatan ruang secara vertikal dan pemanfaatan
ruang di dalam bumi dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan ruang dalam menampung kegiatan secara
lebih intensif. Contoh pemanfaatan ruang secara vertikal
misalnya berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah
maupun di dalam bumi. Sementara itu, pemanfaatan
ruang lainnya di dalam bumi, antara lain, untuk jaringan
utilitas (jaringan transmisi listrik, jaringan
telekomunikasi, jaringan pipa air bersih, dan jaringan gas,
dan lain-lain) dan jaringan kereta api maupun jaringan
jalan bawah tanah.
Ayat (3)
Program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh seluruh
pemangku kepentingan yang terkait.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lain, antara lain, adalah
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air,
udara, dan sumber daya alam lain yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber
daya alam lain melalui pengaturan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain
sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil.
Dalam penatagunaan air, dikembangkan pola pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS) yang melibatkan 2 (dua) atau
lebih wilayah administrasi provinsi dan kabupaten/kota
serta untuk menghindari konflik antardaerah hulu dan
hilir.
Ayat (2)
Kegiatan penyusunan neraca penatagunaan tanah,
neraca penatagunaan sumber daya air, neraca
penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber
daya alam lain meliputi:
a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan
pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara, dan
sumber daya alam lain pada rencana tata ruang
wilayah;
b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan
pemanfaatan tanah, sumber daya air, udara, dan
sumber daya alam lain pada rencana tata ruang
wilayah; dan
c. penyajian ketersediaan tanah, sumber daya air,
udara, dan sumber daya alam lain dan penetapan
prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang
wilayah.
Dalam penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca
penatagunaan air, neraca penatagunaan udara, dan
neraca penatagunaan sumber daya alam lain, diperhatikan
faktor yang mempengaruhi ketersediaannya. Hal ini berarti
penyusunan neraca penatagunaan sumber daya air
memperhatikan, antara lain, faktor meteorologi,
klimatologi, geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber
daya air, termasuk sistem jaringan drainase dan
pengendalian banjir.
Ayat (3)
Hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum yang sesuai dengan
rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan proses
pengadaan tanah yang mudah.
Pembangunan bagi kepentingan umum yang
dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah
meliputi:
a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas
tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah
tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan
bangunan pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal;
d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain
bencana;
e. tempat pembuangan sampah;
f. cagar alam dan cagar budaya; dan
g. pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.
Ayat (4)
Hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah dimaksudkan agar pemerintah dapat menguasai
tanah pada ruang yang berfungsi lindung untuk
menjamin bahwa ruang tersebut tetap memiliki fungsi
lindung.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Program sektoral dalam pemanfaatan ruang
mencakup pula program pemulihan kawasan
pertambangan setelah berakhirnya masa
penambangan agar tingkat kesejahteraan
masyarakat dan kondisi lingkungan hidup tidak
mengalami penurunan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk mengendalikan perkembangan kawasan budi daya
yang dikendalikan pengembangannya, diterapkan
mekanisme disinsentif secara ketat, sedangkan untuk
mendorong perkembangan kawasan yang didorong
pengembangannya diterapkan mekanisme insentif.
Ayat (3)
Pengembangan kawasan secara terpadu dilaksanakan,
antara lain, melalui penerapan kawasan siap bangun,
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri, konsolidasi
tanah, serta rehabilitasi dan revitalisasi kawasan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan standar kualitas lingkungan,
antara lain, adalah baku mutu lingkungan dan
ketentuan pemanfaatan ruang yang berkaitan
dengan ambang batas pencemaran udara, ambang
batas pencemaran air, dan ambang batas tingkat
kebisingan.
Agar standar kualitas ruang dapat dipenuhi dalam
pemanfaatan ruang, biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi dampak negatif kegiatan pemanfataan
ruang diperhitungkan sebagai biaya pelaksanaan
kegiatan. Dengan demikian, kegiatan seperti
penambangan sumber daya alam dapat dilaksanakan
sejauh biaya pelaksanaan kegiatan tersebut telah
memperhitungkan biaya untuk mengatasi seluruh
dampak negatif yang ditimbulkan sehingga standar
kualitas lingkungan dapat tetap dipenuhi.
Penerapan kualitas lingkungan disesuaikan dengan
jenis pemanfaatan ruang sehingga standar kualitas
lingkungan di kawasan perumahan akan berbeda
dengan standar kualitas lingkungan di kawasan
industri.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar
pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang.

Pasal 36
Ayat (1)
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang
disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan
rencana rinci tata ruang.
Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan
tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang
yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang
(koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan,
koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan
bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Ketentuan lain yang dibutuhkan, antara lain, adalah
ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait dengan
keselamatan penerbangan, pembangunan pemancar alat
komunikasi, dan pembangunan jaringan listrik tegangan
tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang
terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki
sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin dimaksud
adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan
kualitas ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1)
Penerapan insentif atau disinsentif secara terpisah
dilakukan untuk perizinan skala kecil/individual sesuai
dengan peraturan zonasi, sedangkan penerapan insentif
dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk
perizinan skala besar/kawasan karena dalam skala
besar/kawasan dimungkinkan adanya pemanfaatan
ruang yang dikendalikan dan didorong pengembangannya
secara bersamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat
dikenakan untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek
pajak (NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP) sehingga
pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Insentif dapat diberikan antar pemerintah daerah yang
saling berhubungan berupa subsidi silang dari daerah
yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan
dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara
pemerintah dan swasta dalam hal pemerintah
memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan
dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan perkotaan
dengan jumlah penduduk yang dilayani paling sedikit
50.000 (lima puluh ribu) jiwa dan paling banyak 100.000
(seratus ribu) jiwa.
Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan perkotaan
dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih dari
100.000 (seratus ribu) jiwa dan kurang dari 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa.
Kawasan perkotaaan besar adalah perkotaan dengan
jumlah penduduk yang dilayani paling sedikit 500.000
(lima ratus ribu) jiwa.
Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang
terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri
sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan
perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah
penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya
1.000.000 (satu juta) jiwa.
Kawasan metropolitan yang saling memiliki hubungan
fungsional dapat membentuk kawasan megapolitan.
Dengan demikian, kawasan megapolitan mengandung
pengertian kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih
kawasan metropolitan yang memiliki hubungan
fungsional dan membentuk sebuah sistem.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Ayat (1)
Pengertian lintas wilayah mencakup pula dampak
pemanfaatan ruang yang dapat melintasi wilayah
administrasi sehingga harus dikelola secara terkoordinasi
antara wilayah yang menjadi sumber dampak dan wilayah
yang terkena dampak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1)
Rencana tata ruang kawasan metropolitan sebagai alat
koordinasi dimaksud tidak berbentuk sebagai rencana
seperti halnya rencana tata ruang wilayah, tetapi
berbentuk pedoman keterpaduan untuk rencana tata
ruang wilayah administrasi di dalam kawasan.
Ayat (2)
Mengingat setiap daerah administrasi dalam kawasan
metropolitan memiliki kewenangan untuk menyusun
rencana tata ruang wilayahnya, rencana tata ruang
kawasan metropolitan memuat rencana yang bersifat
lintas wilayah dan interdependen.

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi pemanfaatan ruang antarkabupaten/kota
mencakup pula koordinasi dalam penahapan pelaksanaan
pembangunan.

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan pengendalian oleh lembaga pengelolaan
kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota dapat dilakukan secara lebih
efektif apabila lembaga dimaksud diberi wewenang oleh
seluruh pemerintah kabupaten/kota terkait.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk upaya pemberdayaan masyarakat
perdesaan, antara lain, adalah pengembangan
lembaga perekonomian perdesaan untuk
meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi dalam
kawasan perdesaan, termasuk kegiatan pertanian,
kegiatan perikanan, kegiatan perkebunan, dan
kegiatan kehutanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kawasan agropolitan merupakan kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan
oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem
agrobisnis.
Pengembangan kawasan agropolitan dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana
penunjang kegiatan pertanian, baik yang dibutuhkan
sebelum proses produksi, dalam proses produksi,
maupun setelah proses produksi. Upaya tersebut
dilakukan melalui pengaturan lokasi permukiman
penduduk, lokasi kegiatan produksi, lokasi pusat
pelayanan, dan peletakan jaringan prasarana.
Kawasan agropolitan merupakan embrio kawasan
perkotaan yang berorientasi pada pengembangan kegiatan
pertanian, kegiatan penunjang pertanian, dan kegiatan
pengolahan produk pertanian.
Pengembangan kawasan agropolitan merupakan
pendekatan dalam pengembangan kawasan perdesaan.
Pendekatan ini dapat diterapkan pula untuk, antara lain,
pengembangan kegiatan yang berbasis kelautan,
kehutanan, dan pertambangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Struktur ruang kawasan agropolitan merupakan
gambaran sistem pusat kegiatan kawasan dan
jaringan prasarana yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan kawasan selain untuk melayani
kegiatan pertanian dalam arti luas, baik tanaman
pangan, perikanan, perkebunan, kehutanan,
maupun peternakan. Jaringan prasarana pembentuk
struktur ruang kawasan agropolitan meliputi sistem
jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan
sistem jaringan sumber daya air.
Huruf c
Pola ruang kawasan agropolitan merupakan
gambaran pemanfaatan ruang kawasan, baik untuk
pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi
daya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan interdependen antardesa
adalah saling bergantung/saling terkait antara 1
(satu) desa dan desa yang lain.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Ayat (1)
Pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan,
dan pelaksanaan penataan ruang dimaksudkan untuk
menjamin terlaksananya peraturan perundang-undangan,
terselenggaranya upaya pemberdayaan seluruh pemangku
kepentingan, dan terjaminnya pelaksanaan penataan
ruang.
Kegiatan pengawasan termasuk pula pengawasan melekat
dalam unsur-unsur struktural pada setiap tingkatan
wilayah.
Ayat (2)
Tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan terhadap
penyelenggaraan penataan ruang merupakan kegiatan
mengamati dengan cermat, menilai tingkat pencapaian
rencana secara objektif, dan memberikan informasi hasil
evaluasi secara terbuka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah penyelesaian merupakan tindakan nyata pejabat
administrasi, antara lain, berupa tindakan administratif
untuk menghentikan terjadinya penyimpangan.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Ayat (1)
Standar pelayanan minimal merupakan hak dan kewajiban
penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin
masyarakat memperoleh jenis dan mutu pelayanan dasar
secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jenis pelayanan dalam perencanaan tata ruang wilayah
provinsi/kabupaten/kota, antara lain, adalah pelibatan
masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi/kabupaten/kota, sedangkan mutu pelayanannya
dinyatakan dengan frekuensi pelibatan masyarakat.
Ayat (4)
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
provinsi/kabupaten/kota ditetapkan Pemerintah sebagai alat
untuk menjamin jenis dan mutu pelayanan dasar yang
diberikan pemerintah provinsi/kabupaten/kota kepada
masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan
penataan ruang.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Huruf a
Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang melalui
Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman,
dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah.
Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat
diketahui masyarakat, antara lain, adalah dari
pemasangan peta rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan pada tempat umum, kantor kelurahan,
dan/atau kantor yang secara fungsional menangani
rencana tata ruang tersebut.
Huruf b
Pertambahan nilai ruang dapat dilihat dari sudut
pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas
lingkungan yang dapat berupa dampak langsung
terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial,
budaya, dan kualitas lingkungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah
bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak
menurunkan tingkat kesejahteraan orang yang diberi
penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 61
Huruf a
Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan
dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk
memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Huruf b
Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang
untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan
fungsi ruang yang tercantum dalam izin pemanfaatan
ruang.
Huruf c
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan
izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai kewajiban
setiap orang untuk memenuhi ketentuan amplop ruang
dan kualitas ruang.
Huruf d
Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar
masyarakat dapat mencapai kawasan yang dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik
umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila
memenuhi syarat berikut:
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau
b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai
milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir
pantai.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penghentian sementara pelayanan umum dimaksud berupa
pemutusan sambungan listrik, saluran air bersih, saluran
limbah, dan lain-lain yang menunjang suatu kegiatan
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pembongkaran dimaksud dapat dilakukan secara
sukarela oleh yang bersangkutan atau dilakukan oleh
instansi berwenang.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Peran masyarakat sebagai pelaksana pemanfaatan
ruang, baik orang perseorangan maupun korporasi,
antara lain mencakup kegiatan pemanfaatan ruang
yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 66
Ayat (1)
Kerugian akibat penyelenggaraan penataan ruang
mencakup pula kerugian akibat tidak memperoleh
informasi rencana tata ruang yang disebabkan oleh tidak
tersedianya informasi tentang rencana tata ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sengketa penataan ruang adalah
perselisihan antarpemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Upaya penyelesaian sengketa diawali dengan penyelesaian
melalui musyawarah untuk mufakat.
Ayat (2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan disepakati oleh
pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan mencakup
penyelesaian secara musyawarah mufakat dan alternatif
penyelesaian sengketa, antara lain, dengan mediasi,
konsiliasi, dan negosiasi.

Pasal 68
Ayat (1)
Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil dilakukan
dengan memperhatikan kompetensi pegawai seperti
pengalaman serta pengetahuan pegawai dalam bidang
penataan ruang dan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masa transisi selama 3 (tiga) tahun dihitung sejak
penetapan peraturan perundang-undangan tentang
rencana tata ruang dituangkan dalam Lembaran Negara
dan Lembaran Daerah sesuai dengan hierarki rencana
tata ruang.
Selama masa transisi tidak dapat dilakukan penertiban
secara paksa. Penertiban secara paksa dilakukan apabila
masa transisi berakhir dan pemanfaatan ruang tersebut
tidak disesuaikan dengan rencana tata ruang yang baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Batas akhir penyelesaian peraturan presiden paling
lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan mengandung pengertian bahwa Pemerintah
harus segera memulai proses penyusunan peraturan
presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini sehingga
dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sudah ada
peraturan presiden yang ditetapkan. Peraturan presiden
yang disusun dan ditetapkan mencakup pula peraturan
presiden tentang penetapan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ........
-----------------------------------------------------------------
# Djuni Pristiyanto
# Email: belink2006@yahoo.com.sg
# Site Peduli Banjir Jabodetabek (Pengelola): http://jakartabanjir.wordpress.com
# Milis Lingkungan Indonesia (Moderator): http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/
-----------------------------------------------------------------

RUU Penataan Ruang tgl 21 Maret 2007 (1) Batang Tubuh

Kawan-kawan,

Ada info dari kawan Andi Oetomo (aoetomo@pl.itb.ac.id) di Milis Lingkungan (http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/) bahwa RUU Penataan Ruang ini akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 27 Maret 2007 (hari ini). Silahkan dicermati dan dikritisi. Semoga berguna.

salam,
djuni
(moderator milis lingkungan)

------------------------------------------------------------------------

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN...
TENTANG
PENATAAN RUANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan negara kepulauan
berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun
sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya
pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna,
dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah
penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi
terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan
sosial sesuai dengan landasan konstitusional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional
dan internasional menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian
hukum, dan keadilan dalam rangka
penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai
dengan landasan idiil Pancasila;
c. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan semakin besar kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang,
maka kewenangan tersebut perlu diatur demi
menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah
dan antara pusat dan daerah agar tidak
menimbulkan kesenjangan antardaerah;
d. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan
pemahaman masyarakat yang berkembang
terhadap pentingnya penataan ruang sehingga
diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang
transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
e. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada pada kawasan rawan bencana
sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan;
f. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan pengaturan penataan ruang sehingga
perlu diganti dengan undang-undang penataan
ruang yang baru;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Penataan Ruang;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan
hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam penataan ruang.
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan
kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan
penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur
ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang
mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang
yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal
perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau
lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem
produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu
yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas
sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem
jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah
penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000
(satu juta) jiwa
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua)
atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan
fungsional dan membentuk sebuah sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan.
30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam
kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam bidang penataan ruang.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang
diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.

Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

BAB III
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG

Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama
kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.

Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan
sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas
kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas
penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi,
dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan
perdesaan.
(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang
kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.

Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi,
dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara
berjenjang dan komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi
dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan.
(4) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ruang laut dan ruang udara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang tersendiri.

BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu
Tugas

Pasal 7
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang
kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah

Pasal 8
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan
kerja sama penataan ruang antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang
nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
(3) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah
berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan
ruang.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pemerintah:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam
rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang
disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah nasional; dan
3) pedoman bidang penataan ruang;
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang.

Pasal 9
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri.
(2) Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam penyelenggaraan penataan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang;
b. pelaksanaan penataan ruang nasional; dan
c. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor,
lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.

Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 10
(1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan
kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
(3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi
melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis provinsi;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi,
pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah
provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam
rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang
disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi; dan
3) petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang.
(7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah
mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 11
(1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan
kawasan strategis kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
(4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu
pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk
pelaksanaannya.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah
kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana
umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang.
(6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat
memenuhi standar pelayana n minimal bidang penataan ruang,
pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB V
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG

Pasal 12
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan
peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk
pedoman bidang penataan ruang.

Pasal 13
(1) Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada
pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota,
dan masyarakat.
(2) Pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi
pedoman bidang penataan ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan
penataan ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan
ruang;
g. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat;
dan
h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
(3) Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota menyelenggarakan pembinaan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut kewenangannya
masing-masing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.


BAB VI
PELAKSANAAN PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Perencanaan Tata Ruang

Paragraf 1
Umum

Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a secara berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang
wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang
kawasan strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata
ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata
ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan huruf b disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam
pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan
yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang
tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana
tata ruang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 15
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah
provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi.

Pasal 16
(1) Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali.
(2) Peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menghasilkan rekomendasi berupa:
a. rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai
dengan masa berlakunya; atau
b. rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
(3) Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan
rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, revisi
rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap menghormati hak
yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara peninjauan
kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 17
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem
jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan
hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran
sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan
antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana
tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan
keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur
dengan peraturan pemerintah.

Pasal 18
(1) Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana
tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih
dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri.
(2) Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata
ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari
Menteri setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur.
(3) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penyusunan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan Menteri.

Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional

Pasal 19
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus
memperhatikan:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil
pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
c. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas
ekonomi;
d. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan
daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
g. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
h. rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota.

Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem
perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan
dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan
lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai
strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program
utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional,
arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah nasional;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian
antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20
(dua puluh) tahun.
(4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara
yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 21
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf a diatur dengan peraturan presiden.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 3
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi

Pasal 22
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus
memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian
implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan
pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan;
g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
h. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pasal 23
(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem
perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan
perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis
provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi,
arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
dalam wilayah provinsi;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian
antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua
puluh) tahun.
(4) Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara
dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan dengan Undang-
Undang, rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali lebih
dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan
daerah provinsi.

Pasal 24
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 4
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 25
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi;
b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus
memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian
implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten.
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan; dan
g. rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten.

Pasal 26
(1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi
sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan
perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan
lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten.
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi,
ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
(3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk
penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi
pertanahan.
(4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20
(dua puluh) tahun.
(5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara,
wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan
dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten
ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(7) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten.

Pasal 27
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 5
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota

Pasal 28
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis
mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan
ketentuan selain rincian pada Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana
jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal,
dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan
fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah.

Pasal 29
(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf
a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau
privat.
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling
sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Pasal 30
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk
dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan
pola ruang.

Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan
ruang
terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan
Menteri.

Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang

Paragraf 1
Umum

Pasal 32
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan ruang
secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.
(3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk jabaran dari indikasi program
utama yang termuat di dalam rencana tata ruang wilayah.
(4) Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan
jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang.
(5) Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan
ruang wilayah administratif sekitarnya.
(6) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan minimal
dalam penyediaan sarana dan prasarana.

Pasal 33
(1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lain.
(2) Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan
penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan
sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca
penatagunaan sumber daya alam lain.
(3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk
pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum
memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah
dari pemegang hak atas tanah.
(4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung,
diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang
hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber
daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2
Pemanfaatan Ruang Wilayah

Pasal 34
(1) Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata
ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
b. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan
struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis;
dan
c. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program
pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi
rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan
strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan
kawasan budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi daya yang
didorong pengembangannya.
(3) Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilaksanakan melalui pengembangan kawasan secara
terpadu.
(4) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan:
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Bagian Ketiga
Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi.

Pasal 36
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun
sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang
untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
(3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem
nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi
sistem provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.

Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan
masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh
dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang
benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dimintakan
penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya
perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti
kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata
cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 38
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif
dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan
perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang,
imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau
pemerintah daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan
perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang
ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi,
dan penalti.
(4) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak
masyarakat.
(5) I nsentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 39
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan
tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang
diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Keempat
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan

Paragraf 1
Umum

Pasal 41
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada:
a. kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada
satu atau lebih wilayah provinsi.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b menurut besarannya dapat berbentuk kawasan
perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan
besar, kawasan metropolitan, atau kawasan megapolitan.
(3) Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut besarannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.

Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan

Pasal 42
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten adalah rencana rinci tata ruang wilayah
kabupaten.
(2) Dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 29, dan Pasal 30.

Pasal 43
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua)
atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah
provinsi merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan
pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
arahan struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah
administratif.

Pasal 44
(1) Rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat
koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah.
(2) Rencana tata ruang kawasan metropolitan dan/atau kawasan
megapolitan berisi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan metropolitan yang meliputi
sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan;
c. rencana pola ruang kawasan metropolitan dan/atau
megapolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan
budi daya;
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan metropolitan dan/atau
megapolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat
interdependen antarwilayah administratif; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi arahan
peraturan zonasi kawasan metropolitan dan/atau megapolitan,
arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan
disinsentif, serta arahan sanksi.

Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pasal 45
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian
dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau
lebih wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan program
pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi
antarwilayah kabupaten/kota terkait.

Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan

Pasal 46
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu
atau lebih wilayah provinsi dilaksanakan oleh setiap
kabupaten/kota.
(3) Untuk kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota yang mempunyai lembaga pengelolaan
tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga
dimaksud.

Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perkotaan

Pasal 47
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau
lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan melalui kerja sama
antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan
perkotaan diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kelima
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan

Paragraf 1
Umum

Pasal 48
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:
a. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
b. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang
didukungnya;
c. konservasi sumber daya alam;
d. pelestarian warisan budaya lokal;
e. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk
ketahanan pangan; dan
f. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap kawasan
lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e diatur dengan Undang-Undang.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada:
a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup
2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah
provinsi.
(4) Kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk kawasan agropolitan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan
agropolitan diatur dengan peraturan pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan
perdesaan diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf`2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan

Pasal 49
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten adalah bagian rencana tata ruang wilayah
kabupaten.

Pasal 50
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten dapat dilakukan pada tingkat wilayah kecamatan atau
beberapa wilayah desa atau nama lain yang disamakan dengan
desa yang merupakan bentuk detail dari penataan ruang wilayah
kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua)
atau lebih wilayah kabupaten merupakan alat koordinasi dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
(3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi
struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah
administratif.

Pasal 51
(1) Rencana tata ruang kawasan agropolitan merupakan rencana rinci
tata ruang 1 (satu) atau beberapa wilayah kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan agropolitan memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan
agropolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan agropolitan yang meliputi
sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan
agropolitan;
c. rencana pola ruang kawasan agropolitan yang meliputi
kawasan lindung dan kawasan budi daya;
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi
indikasi program utama yang bersifat interdependen
antardesa; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
agropolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan
agropolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan

Pasal 52
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian
dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui
penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara
terkoordinasi antarwilayah kabupaten terkait.

Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan

Pasal 53
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan oleh
setiap kabupaten.
(3) Untuk kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten yang mempunyai lembaga kerja sama
antarwilayah kabupaten, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh
lembaga dimaksud.

Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perdesaan

Pasal 54
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau
lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui kerja sama
antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan
perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kawasan
agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan
peraturan daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang
berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten diatur dengan
peraturan daerah provinsi, dan untuk kawasan agropolitan yang
berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinsi diatur dengan
peraturan pemerintah.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan secara
terintegrasi dengan kawasan perkotaan sebagai satu kesatuan
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang kawasan agropolitan diselenggarakan dalam
keterpaduan sistem perkotaan wilayah dan nasional.
(5) Keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup
keterpaduan sistem permukiman, prasarana, sistem ruang terbuka,
baik ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka nonhijau.

BAB VII
PENGAWASAN PENATAAN RUANG

Pasal 55
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan
pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat.
(5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan
kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 56
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (2) dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian
antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam
penyelenggaraan penataan ruang, Menteri, Gubernur, dan
Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur
mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan
Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri
mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan
Gubernur.

Pasal 57
Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), pihak yang melakukan
penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 58
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pula
pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan
penataan ruang dan kinerja pemenuhan standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang.
(2) Dalam rangka peningkatan kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional disusun standar
pelayanan penyelenggaraan penataan ruang untuk tingkat
nasional.
(3) Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pelayanan dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
(4) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
provinsi dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 59
(1) Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap tingkat wilayah
dilakukan dengan menggunakan pedoman bidang penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan pada
pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap
pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang diatur
dengan peraturan Menteri.


BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di
wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 62
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61, dikenai sanksi administratif.

Pasal 63
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.

Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 diatur
dengan peraturan pemerintah.

Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah
dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran
masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 66
(1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang
dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan.
(2) Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tergugat dapat membuktikan bahwa tidak
terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.


BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 67
(1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama
diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh
upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 68
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia,
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan
ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan
ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik
kepolisian negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan,
penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat
penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara
serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 69
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang
mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

Pasal 72
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 73
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku
dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak
dengan hormat dari jabatannya.

Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 75
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan
Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada
pelaku tindak pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 76
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 77
(1) Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus
disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan
penyesuaian pemanfaatan ruang.
(2) Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata ruang
sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk
penyesuaian.
(3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum
penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin
tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada
pemegang izin diberikan penggantian yang layak.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 78
(1) Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini
diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diberlakukan.
(2) Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini
diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diberlakukan.
(3) Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini
diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diberlakukan.
(4) Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan;
b. semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang
wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat
dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan; dan
c. semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan
paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini diberlakukan.

Pasal 79
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3501) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 80
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal .............................

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ...............................
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ...... NOMOR .........

-----------------------------------------------------------------
# Djuni Pristiyanto
# Email: belink2006@yahoo.com.sg
# Site Peduli Banjir Jabodetabek (Pengelola): http://jakartabanjir.wordpress.com
# Milis Lingkungan Indonesia (Moderator): http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/
-----------------------------------------------------------------