Monday, October 02, 2006

Mencermati Kembali Parpol LSM

Mencermati Kembali Parpol LSM

Oleh Melvin P Hutabarat

Tulisan Boni Hargens (SH 13/2) tentang penolakannya terhadap gagasan Ivan Hadar (SH 19/1) tentang pembentukan partai politik (parpol) oleh LSM menarik untuk dicermati. Ivan Hadar melihat keabsenan partai politik (parpol) melindungi rakyat dan mewacanakan pembentukan parpol oleh dua LSM, Walhi dan Bina Desa. Sedang Boni Hargens lebih mengarah kepada ketidaksesuaian LSM menjadi parpol karena kelompok penekan berbeda dengan pencari kekuasaan.

LSM di Indonesia dan mungkin di seluruh dunia memiliki dua karakter berbeda. Di satu sisi bisa membonsai perlawanan rakyat dengan mengatakan gerakan massa sudah tidak relevan lagi dan memilih menjadi agen demokrasi liberal dengan mengkompromikan kepentingan kelas-kelas yang pastinya bersifat antagonistik. Pada sisi yang lain, bisa mengambil karakter perlawanan dengan kampanye negara harus bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat.

Dalam kacamata Antonio Gramsci, LSM dengan karakter perlawanan menganjurkan kombinasi strategi perang manuver dan perang posisi ketika sistem politik semakin kuat dan kompleks. Strategi ini untuk memenangkan banyak ruang pertarungan bukan memisahkan gerakan perlawanan massa yang radikal dengan strategi elektoral (orientasi kekuasaan). Rakyat harus sedekat mungkin dengan kekuasaan itulah logika yang benar tentang demokrasi bukan malah menjauhkan rakyat dari dinamika politik riil.

Peran pemberdayaan masyarakat yang dijalankan LSM muncul karena kegagalan pemerintah dan partai-partai yang telah ada selama ini melakukan pemberdayaan politik. Untuk memberdayakan, rakyat harus dibawa sedekat mungkin dengan kekuasaan. Bukankah hanya kekuasaan yang dapat membuat rakyat semakin berdaulat. Alur berpikir LSM bertransformasi menjadi parpol bukan karena merasa dirinya bersih dan populis tetapi karena kebutuhan dan tantangan yang terus berubah.

Partai berbasis LSM harus kita maknai sebagai alternatif. Apabila sistem politik semuanya sudah rusak dan korup maka pilihan rakyat tentu bukan membuat partai alternatif tetapi melancarkan revolusi sosial. Mumpung belum terjadi frustasi yang massal dan meluas, kita harus mendorong segala alternatif bagi rakyat untuk bertarung melalui kompetisi politik perebutan kekuasaan. Rakyat sudah terlalu sabar memberi kesempatan kepada partai-partai yang sudah ada yang ”isinya” sama saja cuma beda ”merek”.

Berbenturan dengan Politik

Kritikan yang mendasar bagi gerakan politik berbasis LSM adalah keengganan mereka membangun parpol walaupun sedari awal mereka sudah berbenturan dengan politik, atau dalam bahasa Ivan Hadar disebut aktivis ”alergi politik”.

Mereka akan terlihat naïf dengan seolah-olah tidak menyadari kelemahan mereka yang mendasar yakni ketiadaan akses langsung kepada kekuasaan. Mungkin mereka merasa sudah terlalu nyaman menikmati posisi ”aktivis mengambang” yaitu berpolitik tanpa partai politik.
Dari pengalaman Pemilu 1999 dan 2004, ada dua kenyataan besar yang harus disikapi Walhi dan Bina Desa.

Pertama, secara umum mayoritas parpol gagal memperjuangkan kepentingan rakyat yang mendasar seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua, Walhi dan Bina Desa sendiri gagal memberikan alternatif pilihan kepada basis-basis pengorganisasiannya (terutama gerakan petani, lingkungan dan masyarakat adat) yang pada akhirnya memilih tetap mempercayai partai-partai yang ada.

Fakta-fakta tersebut akan membuat Walhi dan Bina Desa dalam posisi yang terjepit antara dua pilihan untuk tetap menjadi LSM yang politis atau bertransformasi menjadi parpol. Apabila Walhi dan Bina Desa memilih berubah menjadi parpol hambatannya kemudian ada pada tiga level, ideologi, program politik dan bangunan organisasi.

Pada level ideologi, Ivan Hadar cukup membingungkan dengan menyatakan ideologi sosial demokrasi dan kerakyatan sudah cukup jelas bagi Walhi dan Bina Desa tetapi meminta keduanya membedakan diri dengan asas kerakyatan yang dianut semua parpol di Indonesia saat ini.

Walhi dan Bina Desa menurut hemat penulis bisa mencantumkan ideologi yang tegas seperti demokrasi partisipatif atau sosialisme partisipatif (anti stalinisme) untuk menunjukan resistensi mereka kepada neoliberalisme.

Kemudian pada level program politik apakah Walhi benar-benar mampu menerapkan segala konsekuensi green politics yang secara tradisional mendukung perjuangan ”pembebasan nasional” dan apakah Bina Desa benar-benar konsisten memperjuangkan program utama partai petani seperti revolusi agraria yang dapat mempertajam konflik kelas di Indonesia.

Di samping itu Walhi dan Bina Desa juga dituntut agar mau mengisi absennya oposisi sejati yang membela kepentingan masyarakat bawah. Menjadi oposisi yang kuat mendorong pemerintah menghormati kedaulatan rakyat

Penulis adalah alumnus FISIP UI